Homili 9 Juli 2019

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 32:22-32
Mzm. 17:1,2-3,6-7,8b,15
Mat. 9:32-38

Aku telah Melihat Allah!

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah) menulis begini: “Ketika hati mengasihi Allah dan sesama (Mat 22:36-40), ketika ini adalah niatnya yang tulus dan bukan hanya kata-kata hampa, maka itulah hati yang suci dan dapat melihat Allah. Dalam kidung kasihnya, Santu Paulus mengatakan bahwa ‘sekarang kita melihat dalam cermin, suatu gambaran yang samar-samar’ (1Kor 13:12), namun sejauh kebenaran dan kasih benar-benar menguasai, kita akan sanggup melihat dari ‘muka ke muka’. Yesus menjanjikan bahwa mereka yang suci hatinya ‘akan melihat Allah’” (GE, 86). Perkataan Sri Paus ini mengarahkan kita untuk tetap memiliki kemurnian hati, ketulusan hati di hadapan Tuhan dan sesama. Hati yang murni adalah hati yang niatnya tulus, hati yang benar-benar dikuasai oleh kebenaran dan kasih. Kita masing-masing boleh melihat suasana hati kita apakah ada kebenaran dan kasih juga ketulusan?

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan dari sisi kehidupan Yakub. Setelah ia bermimpi melihat tangga yang menghubungkan langit dan bumi, ia mengambil seluruh keluarganya untuk menyeberangi sungai Yabok. Ia menyeberangkan kedua istrinya, kedua budak perempuan dan kesebelas anaknya serta semua harta bendanya. Selanjutnya Yakub tinggal seorang diri. Ia lalu mengalami sebuah pergulatan atau pergumulan dengan seorang lelaki hingga fajar menyingsing. Yakub adalah sosok yang sulit dikalahkan dalam pergulatan ini. Sebab itu lelaki tak dikenal itu memukul pangkal paha Yakub hingga sendinya terpelecok. Dengan sisa kekuatan yang ada, Yakub tidak membiarkan lelaki itu pergi, tetapi memohon supaya dirinya diberkati.

Selanjutnya Yakub mendapat sebuah transformasi diri yang luar biasa. Namanya Yakub berubah menjadi Israel, sesuai perkataan lelaki itu: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kej 32:28). Yakub dalam bahasa Ibrani: יַעֲקֹב menjadi Israel dalam bahasa Ibrani: יִשְׂרָאֵל Yakub merasakan pergulatan itu sebagai tanda pergumulannya di depan Tuhan dan sesamanya. Sebab itu ia mengakui: “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (Kej 32:30). Ia juga menamakan tempat pergumulan itu Pniel.

Pengalaman pergumulan Yakub adalah sebuah kenyataan dalam peradaban manusia. Orang-orang Yahudi zaman dahulu memiliki keyakinan bahwa di dalam air juga terdapat roh-roh tertentu. Ada roh yang baik dan ada roh yang tidak baik yang dapat bergumul dengan kehidupan manusia. Yakub membantu kita untuk merenungkan bahwa dalam hidup ini, kita senantiasa bergumul dengan diri sendiri dan bergumul di hadapan Tuhan. Yakub sebenarnya sedang bergumul dengan dirinya sendiri ketika terlibat penipuan untuk mendapat hak kesulungan dari kakaknya Esau di hadapan Ishak ayahnya. Ia juga bergumul di hadapan Tuhan untuk menemukan jati dirinya sebagai sebuah ciptaan. Maka di hadapan Tuhan ia diubah menjadi baru. Dari Yakub menjadi Israel karena ia memenangkan pergumulan di hadapan Allah dan manusia.

Hal yang lebih menarik perhatian kita adalah pengalaman akan Allah di dalam diri Yakub. Tuhan Allah tidak henti-hentinya mendampingi Yakub, mengubah dan menguduskannya. Proses transformasi bathinnya sejalan dengan perubahan namanya menjadi Israel adalah tanda kemurnian hatinya sehingga ia dapat melihat Allah dan bergumul di hadapannya. Hal ini sejalan dengan pengalaman rohani Raja Daud di kemudian hari ketika ia berkata: “Dalam kebenaran aku akan memandang wajah-Mu, ya Tuhan” (Mzm 17: 15a).

Saya merasa yakin bahwa masing-masing kita juga mengalami pergumulan-pergumulan hidup di hadapan Tuhan dan sesama. Keluarga-keluarga memiliki pergumulan tersendiri. Para suami dan istri memiliki pergumulan di hadapan Tuhan dan di hadapan pasangannya terutama kesetiaan dan komitmen perkawinan mereka. Anak-anak dan remaja memiliki pergumulan di hadapan Tuhan dan sesama dalam menyonsong masa depan yang lebih baik. Gereja juga bergumul di hadapan Tuhan. Banyak kasus yang mencoreng kekudusan Gereja seperti skandal pelecehan seksual, korupsi dan lain sebagainya. Semua ini adalah tantangan sekaligus kesempatan untuk berbenah menjadi lebih baik lagi dan lebih kudus lagi di hadapan Tuhan. Banyak orang berdosa di dalam Gereja namun Gereja tetaplah kudus karena di dirikan oleh Tuhan Yesus sendiri. Dialah Allah yang kudus.

Tuhan Yesus sendiri tidak menghitung-hitung dosa manusia. Ia melihat iman dan kemurnian hati mereka. Sebab itu Ia membuat tanda-tanda heran dengan menyembuhkan seorang bisu dan kerasukan setan. Orang itu sembuh dan dapat mewartakan Sabda Tuhan. Meskipun mengalami penolakan dan ketidakpercayaan dari orang-orang pada zaman-Nya, namun Yesus tetap bergerak, berkeliling dan berbuat baik. Ia tetap memiliki hati yang penuh dengan belas kasih sehingga Ia melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Sikap belas kasih Tuhan Yesus harus menjadi nyata dalam hidup kita dengan memperhatikan orang-orang papa dan miskin.

Apakah anda memiliki pergumulan dalam hidupmu saat ini? Anda dan saya sedang bergumul di hadapan Tuhan dan sesama kita. Pergumulan kita mencapai kemenangan kalau kita selalu percaya kepada Tuhan, dan rendah hati untuk selalu memohon berkat Tuhan. Pergumulan hidup kita gagal ketika kita lebih mengandalkan diri di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus mengalami pergumulan ketika ditolak atau dianggap orang Farisi sebagai penghulu setan. Ia tidak berhenti tetapi terus berkarya sebab kebenaranlah yang akan memerdekakan bukan ketakutan manusiawi. Kuatlah dan bertahanlah dalam pergumulan hidupmu di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan cara demikian kita pun dapat melihat Allah.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply