Food For Thought: Keluarga Numero Uno

Keluarga selalu numero uno!

Pada malam ini saya berdiskusi dengan seorang sahabat tentang keluarga. Dia dikenal sebagai aktivisi di Gereja dan di beberapa Lembaga sosial kemasyarakatan. Ia mengakui sedih karena puteranya semata wayang sudah mulai merokok terang-terangan di depannya, padahal usianya masih sangat muda. Ia berusaha mendampinginya tetapi masih dalam taraf perjuangan. Pada akhirnya ia berefleksi dan menemukan sebuah titik kelemahannya yakni selalu aktif dalam pelayanan di luar rumah dan akhirnya mengurbankan keluarganya sendiri. Sekarang ia perlahan mulai membenahi dirinya dan berusaha untuk selalu ada bersama puteranya.

Saya merasa bahwa ini bukan hanya satu-satunya pengalaman sahabat ini. Banyak keluarga, dalam hal ini suami dan istri serta anak-anak juga mengalami hal yang sama dalam pelayanan. Ada yang sangat dan super komitmen dalam pelayanan sehingga mengabaikan keluarganya sendiri. Sang istri merasa nyaman di luar rumah ‘atas nama pelayanan’ akhirnya mengurbankan keluarga, tidak berada di dekat suami sendiri, tidak dekat dengan anaknya sendiri. Sang suami merasa nyaman berada di luar rumah karena alasan ‘atas nama pelayanan’ maka dengan terang-terangan mengabaikan kehadiran sang istri dan anak. Anak-anak merasa nyaman berada di luar rumah ‘atas nama pelayanan’ maka tidak ada perhatian mereka bagi keluarga. Dampak ‘atas nama pelayanan’ ini sangat luas. Dampak positifnya adalah ada ketekunan dalam melayani sesama, daerah sosialnya menjadi luas, banyak sahabat dan kenalan. Dampak negatifnya adalah ikatan bathin dengan pasangan hidup dan anak-anak menipis. Akibatnya ada PIL dan WIL yang bukan hanya tersembunyi tetapi terang-terangan muncul di depan umum.

Melayani adalah sebuah panggilan. Namun orang harus menyadari makna terdalam dari pelayanan dan menjadi pelayan atau abdi. Tanpa memahami maksud dan tujuan melayani dan menjadi pelayan maka diri sendiri menjadi korban, demikian juga pasangan hidup dan anak-anak menjadi korban. Keluarga dapat menjadi retak dan hancur. Untuk menjadi pelayan sejati maka kembalilah ke rumah masing-masing dan belajarlah untuk saling melayani seperti Yesus Kristus yang datang untuk melayani dan memberi hidup bukan sebaliknya. Kalau kita adalah pelayan sejati di dalam keluarga maka setiap generasi tidak akan alergi terhadap pelayanan dan semangat melayani.

Saya mengakhiri pemikiran ini dengan mengutip Elbert Hubbard (1859-1915). Penulis ini mengatakan: “Apapun yang telah anda lakukan untuk diri anda sendiri atau untuk kemanusiaan, jika anda tidak bisa memberikan cinta dan perhatian terhadap keluarga anda sendiri, lalu apa yang sudah anda lakukan?”

Perkataan ini sangat bagus buat kita semua. Mari kita kembali ke dalam keluarga kita masing-masing untuk saling belajar dalam mengasihi, melayani dan melakukan pekerjaan khusus. Keluarga bahagia, bangsa dan negara bahagia.

Tuhan memberkati kita semua,

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply