Homili 23 Agustus 2019

Hari Jumad, Pekan Biasa ke-XX
Rut. 1:1,3-6,14b-16,22
Mzm. 146:5-6,7,8-9a,9bc-10
Mat. 22:34-40

Kesetiaan dalam kasih

Mary Roberts Rinehart (1876-1958) adalah seorang penulis dari Amerika Serikat. Ia pernah berkata: “Cinta dapat diumpamakan seperti pohon, tiap hari harus disiram dan diberi pupuk kesetiaan dan pengertian.” Saya merasa yakin bahwa bagi orang yang mengalami cinta dalam hidupnya, ia akan mengatakan cinta itu diumpamakan seperti pohon. Kalau mau menghendaki supaya pohon itu subur dan menghasilkan buah yang berkualitas baik maka tanahnya digemburkan, diberi pupuk dan disirami setiap hari. Cinta dapat menjadi subur kalau ditopang oleh kesetiaan dan pengertian. Para suami dan istri akan merasa benar-benar saling mencintai kalau ada kesetiaan dan saling pengertian. Jauh dari kesetiaan dan saling pengertian maka cinta itu palsu. Para imam, biarawan dan biarawati mengatakan mencintai Tuhan kalau ia setia dan mengerti kehendak Allah dalam hidupnya. Apakah anda setia dalam hidup dan karyamu? Apakah anda berusaha untuk mengerti sesama yang ada disekitarmu? Banyak kali kita sulit menjadi pribadi yang setia dan hanya menutut orang lain untuk setia. Banyak kali kita lebih banyak menuntut orang untuk mengerti diri kita tetapi kita tetap tidak mau mengerti orang lain.

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengarahkan kita untuk menjadi pribadi yang setia dalam kasih kepada sesama dan kepada Tuhan. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah keluarga Elimelekh yang nantinya berkaitan dengan Tuhan Yesus, anak Daud. Pada saat terjadi kelaparan di negerinya yaitu Bethlehem di Yehuda, ia bersama Naomi istrinya beserta kedua puteranya meninggalkan kampung halamannya ini menuju ke daerah Moab dan menetap di sana. Mereka datang sebagai orang asing di negeri baru, paling kurang mereka dapat hidup dari negeri Moab. Elimelekh meninggal dunia sehingga Naomi tinggal sebagai janda di negeri asing. Kedua puteranya menikah, yang satunya memiliki istri bernama Orpa dan yang lainya bernama Rut. Pada akhirnya, kedua putera Naomi juga meninggal dunia. Naomi tinggal di daerah Moab selama sekitar sepuluh tahun.

Setelah menjanda dan kehilangan kedua puteranya maka Naomi memutuskan untuk pulang kampung yaitu di Bethlehem, daerah Yudea. Satu alasan yang penting adalah Naomi mendengar bahwa Tuhan sudah memperhatikan umat-Nya dan memberikan makanan kepada mereka. Menantunya bernama Orpa mendengar situasi ini. Ia mencium Naomi dan meminta diri untuk kembali ke rumahnya. Rut berjanji untuk mengikuti mertuanya Naomi, meskipun Naomi sendiri memintanya untuk kembali ke keluarganya. Ia berkata kepada Naomi: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Naomi dan Rut kembali ke Bethlehem pada permulaan musim panen jelai.

Kisah keluarga Elimelekh sangat indah. Penuh dengan pengurbanan dan kesetiaan dalam kasih. Elimeleh sendiri mau supaya keluarganya dapat bertahan hidup dengan meninggalkan kampung halamannya, ke negeri Moab dan di sana Tuhan menjaga dan memelihara mereka hingga meninggal dunia. Naomi adalah contoh seorang isteri yang setia kepada suami dan kepada Tuhan. Meski kehilangan segalanya yakni, suami dan kedua anaknya namun ia tetap setia dan mengasihi Tuhan Allah. Rut setia dalam kasih kepada Naomi mertuanya. Ia sadar bahwa setelah menikah, ia menjadi bagian dari keluarga Naomi. Sebab itu ia belajar untuk setia selamanya. Sebuah keluarga menjadi kuat dan indah karena ada kesetiaan dalam kasih yang dialami sendiri oleh setiap pribadi dalam keluarga. Semuanya bukan karena rencana manusia tetapi karena kasih Tuhan. Terpujilah nama Tuhan untuk selama-lamanya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar bagaimana kaum Farisi, melalui suara seorang ahli Taurat mencobai Tuhan Yesus dengan sebuah pertanyaan ini: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Mat 22:36). Tuhan Yesus tidak membuat teori baru. Ia mengulangi apa yang sudah ada di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang juga sudah diketahui si Ahli Taurat. Hukum yang pertama adalah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37). Tuhan Yesus mengingatkan Ahli Taurat ini dari apa yang sudah tertulis dalam Kitab Ulangan (Ul 6:4-5). Hukum Tuhan harus menyatukan totalitas hidup manusia yakni hati, jiwa dan pikiran atau akal budi. Dan hukum kedua yang sama dengan hukum pertama berbunyi: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22: 39). Tuhan Yesus mengingatkan si Ahli Taurat akan apa yang sudah dituliskan dalam Kitab Imamat (Im 19:18). Yesus dengan tegas mengatakan: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:40).

Tuhan Yesus mengajar hukum yang pertama dan utama ini dengan hukum cinta kasih. Hukum cinta kasih bukan sebuah teori tetapi sebuah kehidupan yang nyata. Tuhan Yesus memberi perintah baru yakni ‘supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.’ (Yoh 14:34). St. Paulus menguatkan perkataan Tuhan Yesus ini ketika berkata: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm 12:10). Sebuah kesetiaan dalam kasih menjadi nyata dan luhur dalam hidup ketika kita saling mengasihi sebagai saudara.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply