Homili 4 Februari 2020

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-IV
2Sam. 18:9-10,14b,24-25a,30-19:3
Mzm. 86:1-2,3-4,5-6
Mrk. 5:21-43

Melakukan Kasih dan Kebaikan

Pada pagi hari ini saya mendapat broadcast dari seorang sahabat, berupa sebuah kutipan ayat Kitab Suci yang indah dan menarik perhatian. Ini kalimat yang dibroadcastnya: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” (Rom 12:9). Saya membayangkan bahwa sekiranya Santu Paulus ada di tengah-tengah kita saat ini, pasti ia memiliki banyak musuh. Santu Paulus pasti melawan arus sebab banyak orang pasti menantangnya. Sebenarnya ini bukan hal yang baru karena sosok Daud dan Tuhan Yesus sebagai Anak Daud pun sudah merasakan kepahitan di dalam hidup mereka. Satu kata penting yaitu ‘’menolak’’ kasih dan kebaikan Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus berbuat baik namun tetap ada kekecewaan dan penolakan bagi diri-Nya. Ada saja yang tidak melihat perbuatan baik Yesus tetapi dengan semangat legalitas mereka mencari-cari kesalahan Yesus dan menertawakannya. Manusia yang tak berdaya menertawakan Tuhannya.

Kita mendengar kisah lanjutan dari Raja Daud dan keluarganya. Absalom selaku putera Daud merencanakan sebuah coup d’é·tat untuk merebut kekuasaan ayahnya Daud. Daud dan bala tentaranya coba menyingkir ke luar kota untuk menghindari coup d’é·tat yang direncanakan Absalom. Tetapi nasib sial bagi Absalon. Ia tewas dibunuh oleh Yoab dengan tiga lembing yang ditikam di dadanya. Kematian tragis Absalom ini menjadi duka bagi seluruh kerajaan. Daud sang ayah, tidak menghitung-hitung kesalahan Absalom. Ia menangisi kematian Absalom dengan berkata: “Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom! Ah, kalau aku mati menggantikan engkau, Absalom, anakku, anakku!” (2Sam 18:33). Duka raja Daud menjadi duka seluruh kerajaan.

Pengalaman keluarga raja Daud ini sangat mendidik kita semua. Di dalam keluarga kita masing-masing ada kalanya hadir Absalom tertentu yang melakukan coup d’é·tat. Banyak keluarga yang relasi di antara mereka tidaklah baik, sebagaimana Yesus sendiri menggambarkannya di dalam Injil: “Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.” (Luk 12:53). Suasana chaos ini sangat beda dengan pengalaman Daud bersama Absalom. Daud tidak menyimpan dendam. Ia bahkan menangisi Absalom anaknya. Bagi saya ini namanya kasih yang benar. Tuhan Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:44).

Bagaimana dengan keluarga-keluarga kita saat ini? Ada saja permusuhan di dalam keluarga karena harta, kekuasaan dan hormat. Tuhan Yesus mengatakan: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:21). Harta dan uang mudah sekali memicu perpecahan di dalam keluarga. Ketika orang tua meninggal dunia maka anak-anak merebut harta warisan orang tuanya. Kalau dirasa tidak adil maka keluarga-keluarga tidak saling berbicara satu sama lain. Ada kecemburuan sosial di antara anak-anak, terutama yang hidupnya berkecukupan dengan yang tidak berkecukupan. Anak-anak tidak memperhatikan kehidupan orang tuanya yang sakit dan lanjut usia. Semua ini adalah gambaran kehidupan keluarga-keluarga yang tidak mencerminkan kasih dan kebaikan dalam hidup bersama. Padahal seharusnya semua anggota keluarga melakukan kasih dan kebaikan di dalam keluarganya masing-masing. Memang masih ada Absalom-Absalom di dalam keluarga tetapi kita butuh Daud yang mengampuni hingga meratapi.

Di dalam bacaan ini kita menjumpai Tuhan Yesus yang melakukan kasih dan kebaikan kepada dua orang yang sakit dan meninggal dunia. Orang pertama yang mengalami kasih dan kebaikan Tuhan Yesus adalah seorang wanita tanpa nama yang mengalami sakit pendarahan selama 12 tahun. Ia sudah beberapa kali mendengar tentang Yesus dan tertarik untuk mendapat kesembuah. Memang dia butuh kesembuhan karena setelah bertahun-tahun para tabib tidak mampu menyembuhkannya. Iman dan kepercayaannya kepada Yesus memang luar biasa. Sebab itu dengan menyentuh ujung jubah Yesus, ada kekuatan yang keluar dari Yesus untuk menyembuhkannya. Kata-kata Yesus ini memiliki kekuatan yang luar biasa: “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!” (Mrk 5:34). Kasih dan kebaikan Yesus meyembuhkan wanita ini.

Orang kedua yang Tuhan Yesus selamatkan adalah anak perempuan Yairus yang berusia 12 tahun. Anak perempuan ini juga tidak disebutkan namanya. Kiranya wanita yang sakit pendarahan dan anak perempuan ini mewakili semua orang. Keselamatan dari Yesus sifatnya universal, baik bagi orang sakit maupun orang yang sudah meninggal dunia. Tuhan Yesus meyakinkan keluarga bahwa anak perempuan itu hanya tidur saja. Ia tidak mati. Maka Ia pun meminta keluarga untuk percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus memegang tangan dan membangunkannya sambil berkata: “Talita kum,” yang berarti: “Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!” (Mrk 5:41). Mukjizat pun terjadi. Kasih dan kebaikan Yesus membangkitkan anak perempuan Yairus yang sudah meninggal dunia dapat hidup kembali.

Kasih dan kebaikan Yesus memang sangat diapresiasi oleh wanita yang sakit pendarahan dan seluruh keluarga Yairus. Tetapi orang-orang lain meremehkan Yesus. Ketika Yesus mengatakan: “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur!” (Mrk 5:39). Reaksi orang lain adalah menertawakan Yesus. Orang-orang ini meremehkan Yesus. Mereka tidak mengakui kuasa Yesus. Lihatlah betapa lemahnya manusia di hadapan Tuhan. Manusia masih meremehkan kuasa Tuhan meskipun mereka menyaksikan mukjizat. Mungkin anda dan saya juga sering meremehkan kuasa Tuhan di dalam hidup ini. Banyak di antara kita yang lebih mengandalkan dirinya, dukun dan kekuatan gaib di bandingkan dengan kuasa, kasih dan kebaikan Tuhan.

Pada hari ini kita belajar untuk tetap melakukan kasih dan kebaikan kepada Tuhan dan sesama kita. Jangan berhenti mengasihi. Jangan lambat berbuat baik.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply