Homili Hari Minggu Biasa ke-XIII/A – 2020

Hari Minggu Biasa ke-XIII
2Raj. 4:8-11.14-16a
Mzm 89:2-3.16-17.18-19
Rm 6:3-4. 8-11
Mat 10:37-42

Belajar bermurah hati

Ada seorang ayah yang selalu menasihati ketiga anaknya untuk saling tolong menolong dalam melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Instruksi sang ayah sangat jelas yakni setelah salah satu di antara mereka selesai maka ia harus membantu saudaranya yang masih bekerja hingga mereka sama-sama selesai dan beristirahat. Sang ayah menjelaskan instruksinya, dan mengobservasi perilaku ketiga anaknya itu. Pada hari-hari pertama, sang ayah itu mengatakan kepada ibu bahwa ketiga anak mereka baru belajar untuk saling menolong dan bekerja sama. Dari situ sangatlah jelas anak-anak mereka yang hanya tiga orang itu memiliki karakter masing-masing yang unik, ada satu yang mau bekerja sendiri-sendiri, ada satu yang mau bekerja sama, ada satu yang selalu siap menolong. Sang ayah butuh waktu yang lama untuk mengingatkan mereka supaya bekerja sama dan saling menolong satu sama lain. Hasil akhirnya memang menggembirakan. Ada transformasi yag besar di mana ketiga anak itu sejak usia dini saling tolong menolong, bekerja sama sebagai satu team, murah hati dan aneka kebaikan lainnya. Semua ini memang harus dipelajari dari rumah. Puji Tuhan karena di dalam keluarga anak-anak belajar bermurah hati berdasarkan teladan dan kebiasaan baik orang tuanya. Orang tua sebagai pendidik nomor satu bagi anak-anak dengan membiasakan mereka bermurah hati.

Pada hari ini Tuhan bertindak sebagai pendidik ulung untuk bermurah hati dan selalu relas menyambut kehadiran sesama manusia. Semua ini kita temukan di dalam bacaan-bacaan Liturgi pada hari Minggu Biasa ke-XIII/A ini. Dalam bacaan pertama kita medengra bagaimana seorang perempuan kaya di Sunem mengundang nabi Elisa untuk makan di rumahnya. Nabi Elisa akhirnya terbiasa singgah ketika melakukan perjalanan untuk makan di rumah itu. Hingga pada suatu hari perempaun kaya itu meminta kepada suaminya untuk menyiapkan sebuah ruang khusus bagi nabi Elisa. Ruangan itu ada tempat tidur, meja, kursi dan kandil. Alasan menyiapkan tempat khusus ini adalah adanya keyakinan bahwa Elisa adalah seorang nabi, utusan Tuhan yang melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Elisa sungguh seorang abdi Allah yang kudus.

Tentu saja Elisa merasa bahagia ketika mengunjungi lagi keluarga ini. Di dalam kamar yang disiapkan khusus baginya, Elisa berpikir tentang apa yang dapat dilakukan bagi keluarga ini. Dia lalu meminta kepada Gehazi sang hamba tentang usaha untuk membalas kasih dan kebaikan hati keluarga ini. Karena keluarga ini sudah memasuki usia senja dan belum dikaruniani anak dari Tuhan maka sang hamba mengusulakan supaya Elisa meminta Tuhan untuk memberikan seorang anak kepada mereka. Nabi Elisa memanggil wanita itu dan mengatakan: “Tahun depan, pada waktu seperti ini juga, engkau akan menggendong seorang anak laki-laki.” (2Raj 4:16a). Setiap kebaikan pasti ada balasan berupa kebaikan, bahkan lebih dari kebaikan yang sudah kita bagikan kepada sesama.

Kemurahan hati itu memang bagian dari panggilan kita. Tuhan Yesus mengambil pengalaman nabi Elisa ini dan menceritakkannya secara baru. Ia mengatakan bahwa barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai seorang nabi, ia menerima upah nabi, dan barang siapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. Perkataan Yesus ini sudah dialami sendiri oleh keluarga yang menerima nabi Elisa di rumahnya. Mereka tidak memiliki anak tetapi mendapat janji bahwa Tuhan akan memberikan seorang anak di dalam keluarga yang pasangan suami dan istri sudah memasuki usia senja. Sekali lagi, setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan bukan kejahatan di dalam hidup.

Tuhan Yesus tidak hanya mengajarkan para murid untuk menyambut nabi dan orang benar. Ia juga mengajar para murid untuk menerima dan melayani Diri-Nya sendiri dan para utusan-Nya. Ia berkata: “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.” (Mat 10:40). Menyambut Yesus dan sesama di dalam hidup tidak bisa hanya setengah hati saja. Orang harus menerima Yesus dan sesama dengan sepenuh hati. Mengapa demikian? Sebab dengan menerima sesama, kita menerima Yesus sendiri dan dengan demikian kita menerima Allah Bapa sendiri yang sudah mengutus Yesus. Maka kemurahan hati bukan hanya tertujuh kepada Tuhan yang lebih dahulu bermurah hati kepada kita tetapi kepada semua orang bahkan yang lebih kecil dan hina. Yesus berkata: “Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat 10: 42). Dengan menerima sesama apa adanya, kita menerima Yesus sendiri.

Belajar untuk menjadi orang yang murah hati tidaklah mudah. Kadang harus melawan arus! Kita melayani dengan tulus tetapi orang lain mengatakan kita mencari muka. Dalam hidup menggereja penilaian yang sempit ini selalu terjadi. Maka melayani juga merupakan tindakan salib dan penderitaan. Kalau melayani Tuhan yang murah hati maka jangan lakukan dengan terpaksi, bersungut-sungut. Lakukanlah dengan sukacita di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus sendiri sudah memberikan warning kepada kita semua dalam karya pelayanan kita: kita tidak layak di hadapan Tuhan kalau kita hanya memperhatikan orang tua kita dan mengabaikan Tuhan. Kita harus mengasihi Tuhan dengan totalitas hidup kita dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tuhan selalu menjadi prioritas kasih dan pelayanan dan dengan demikian akan mudah untuk mengasihi dan melayani sesama. Tuhan tidak kelihatan, sesama kelihatan. Kalau yang tidak kelihatan kita layani dan kasihi dengan totalitas hidup kita apalagi yang kelihatan di depan mata kita. Kasih kepada Tuhan menjadi salib yang kita pikul, bahkan ketika menyerahkan nyawa itu menjadi tuntutannya. Banyak para kudus memilih melayani Tuhan dengan sukacita, memikul salib dengan aneka penderitaannya bahkan kehilangan nyawa demi kasih kepada Kristus. Ini benar-benar hidup Kristiani yang nyata.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua membantu kita untuk terus belajar bermurah hati dari Tuhan Yesus sendiri. Kemurahan hati Yesus ditunjukkan dalam paskah-Nya. Ia berbagi hidup dengan kita melalui menderita, wafat dan bangkit dengan mulia. Kita bangga sebagai pengikut Kristus sebab kita dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis juga dalam kematian Kristus. Kita dibaptis dalam kematian Kristus dan kita juga hidup di dalam hidup baru Kristus yang bangkit. Paulus tentu mengharapkan agar kita benar-benar bersatu dengan Kristus, baik dalam hidup dan kematian serta kebangkitan-Nya. Dia telah wafat dan bangkit satu kali untuk selamanya. Dengan demikian, hidup baru dalam Kristus juga satu kali untuk selama-lamanya.

Dari Tuhan Yesus Kristus kita belajar bermurah hati dengan memberi diri secara total untuk kebahagiaan sesama. Orang yang murah hati akan rela kehilangan dirinya untuk membahagiakan sesamanya. Tuhan Yesus melakukan itu maka kita pun mengikitu jejak-Nya. Inilah kemurahan hati yang benar dan Yesus sungguh-sungguh menampakkan wajah Allah yang murah hati kepada kita. Bermurah hatilah dalam hidupmu dan Tuhan akan membalas kemurahan hatimu.

PJ-SDB