Homili 14 Agustus 2020

Hari Jumat, pekan Biasa ke-XIX
Peringatan Wajib St. Maksimilianus Maria Kolbe
Yeh. 16:59-63
MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6
Mat. 19:3-12

Perkawinan itu sebuah misteri

Pada suatu kesempatan saya berbincang-bincang dengan seorang bapa. Perbincangan kami semakin serius ketika dia bertanya tentang berbagai persoalan yang sedang dialaminya di dalam keluarga. Dia mengatakan: “Romo, saya sudah menikah 35 tahun, namun hingga saat ini saya merasa bahwa saya masih belum mengenal istri saya. Dia seperti seorang pribadi yang penuh dengan misterius”. Mendengar perkataan ini saya begitu kaget sebab setelah 35 tahun menikah mereka juga belum saling mengenal satu sama lain secara sempurna. Saya merasa yakin bahwa banyak keluarga, pasangan suami dan istri yang masih merasa bahwa pasangannya itu penuh dengan misteri atau misterius di depan matanya. Saya teringat pada Tere Liye. Dalam bukunya ‘Tentang kamu’ terbitan 2016, beliau menulis: “Hati manusia persis seperti lautan, penuh misteri. Kita tidak pernah tahu kejadian menyakitkan apa yang telah dilewati oleh seseorang.” Pasangan hidup kiranya memiliki hati laksana lautan yang menyimpan misteri tertentu dalam hidup mereka.

Perkawinan memang sebuah misteri. Bapa yang sudah menikah 35 tahun ini mengakui bahwa istrinya adalah misterius. Saya merasa yakin bahwa banyak istri yang merasa bahwa suaminya juga merupakan pribadi yang misterius. Memang benar bahwa setiap pribadi itu merupakan msiteri kudus, bahkan persekutuan antara dua pribadi sebagai suami dan istri juga merupakan misteri yang besar. Sebagai misteri maka setiap pasangan atau perkawinan itu sendiri harus saling terbuka dan saling menerima dengan berkata satu sama lain: “Saya mau mengenalmu lebih dalam lagi setiap hari”. Tanpa ada usaha untuk menyadari pribadi dan perkawinan sebagai misteri maka perkawinan itu bisa menjadi ‘dingin-dingin saja’ pada saat-saat tertentu dan bisa menjadi dingin selamanya.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus dalam Injil yang sangat menarik perhatian kita. Boleh dikatakan sangat kontekstual. Orang-oranhg Farisi datang kepada Yesus untuk mencobai dia dengan sebuah pertanyaan: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3). Pertanyaan kaum Farisi ini mencerminkan situasi masyarakat saat itu dan memiliki kemiripan dengan situasi saat ini. Banyak suami dan istri yang belum saling mengenal, belum cocok satu sama lain tetapi terburu-buru mengambil keputusan untuk hidup bersama dalam perjalanan bersama sampai saat-saat tertentu perkawinan itu berakhir dengan perceraian. Semua itu terjadi karena ketegaran hati suami dan istri sehingga yang menjadi korban adalah suami dan istri juga anak-anak yang lahir dari perkawinan ini.

Tuhan Yesus menegaskan kepada kaum Farisi akan bukti autentik dalam Taurat bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita. Nah, letak misterinya ada di sini: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6). Perhatikan kata-kata Tuhan Yesus ini: ‘sebab itu laki-laki meninggalkan ayah dan ibu, dan bersatu dengan istrinya sebagai satu daging’. Kalau satu daging maka tidak ada perceraian karena Tuhanlah yang mempersatukan. Dua kata penting dalam perkawinan adalah meninggalkan dan bersatu sebagai satu daging. Ini adalah misteri dalam hal yang nyata. Misteri karena satu daging, ini adalah aspek ilahinya karena merupakan rencana Tuhan dalam kasih dan hal yang nyata karena suami dan istri nyata-nyata hidup bersama.

Mengapa ada perceraian? Ini merupakan trend yang mengecewakan dan menyakitkan. Hampir setiap pastor paroki dan tribunal di setiap keuskupan pusing mengurus ‘anulasi’ perkawinan. Pengadilan juga pusing mengurus perceraian sipil. Mengapa para romo yang tidak menikah pusing mengurus orang yang menikah dan bercerai atau menganulasi perkawinan? Karena hati mereka itu tegar! Ingat dirinya lebih besar sehingga meninggalkan pasangan dan membiarkan anak-anak hidup tanpa sosok ayah dan ibu. Ini dosa!

Tantangan-tantangan masa kini.

Pada masa lalu pernikahan itu masih memiliki nilai yang luhur karena adat dan budaya yang masih kental untuk saling menghormati satu sama lain. Sebab itu dalam suasana yang sulit sekalipun pasangan hidup berusaha untuk bertahan dan menyelamatkan perkawinannya. Pada masa ini sangatlah mudah orang menikah dan bercerai. Mungkin terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah. Mungkin belum mengenal lebih dalam tetapi mau ‘pingin kawin’ dan ‘pingin punya anak’. Ini bisa saja salah pribadi tersebut tetapi juga orang tua yang memaksa anak untuk menikah supaya cepat menggendong cucu. Tantangan lain adalah perkawinan sesama jenis. Di berbagai negara sudah dilegalkan. Meskipun Tuhan menciptakan pria dan wanita, tetapi saat ini terjadi perkawinan sejenis. Ini memang berlawanan dengan kodrat manusia. Lalu bagaimana kita bersikap? Butuh edukasi dalam keluarga supaya orang tahu diri dan menerima diri sebagai pria sejati dan wanita tulen. Maka sebagai manusia kita menghormatinya, tetapi disorientasi seksualnya adalah dosa dan kita tidak setuju. Kita menolaknya sebagai sebuah kejahatan melawan kodrat ciptaan Tuhan.

Lalu apa yang kita butuhkan?

Setiap pribadi perlu menyadari tugas dan taggung jawabnya. Para orang tua menunjukkan tugas pengabdiannya sebagai pendidik pertama bagi anak-anak untuk bertumbuh dan menerima diri sebagai pribadi laki-laki dan perempuan yang sempurna. Ini untuk mencegah disorientasi seksual sedini mungkin. Para orang tua haruslah menjadi panutan. Ketika keluarga diambang kehancuran karena ketegaran hati orang tua maka akan meimbulkan masalah bagi anak-anak di masa depan. Anak-anak akan memilih: menikah lalu bercerai atau tidak usah menikah saja karena pengalaman gelap dalam keluarga sendiri. Di samping itu butuh waktu untuk saling mengenal dan persiapan yang matang pribadi-pribadi untuk menikah. Terburu-buru untuk menikah bukanlah hal yang baik bagi masa depan sebagai suami dan istri dan keluarga. Benar kata Tuhan Yesus: “Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:12).

St. Maximilianus Maria Kolbe adalah sosok yang mengurbankan diri menjadi martir untuk menyelamatkan seorang bapa keluarga. Pikirkanlah, seorang Romo yang tidak menikah, rela mati untuk menyelamatkan seorang bapa keluarga yang menangis karena mengingat keluarganya di camp konsentrasi. Kalau begitu para suami dan istri harus saling berkorban untuk mempertahankan cinta kasih mereka. Gantilah ketegaran hati dengan pengurbanan diri penuh kasih. Keluarga itu misteri tetapi Tuhan sendiri akan membuka misteri ini menjadi kenyataan, kesaksian hidup bagi banyak orang. Saya mendoakan keluarga-keluarga dan anda yang membaca homily saya ini. St. Maximilianus Maria Kolbe, doakankah kami. Amen.

PJ-SDB