Homili 27 Agustus 2020

Hari Kamis,Pekan Biasa ke-XXI
Peringatan St. Monika
1Kor. 1:1-9
Mzm. 145:2-3,4-5,6-7
Mat. 24:42-51

Masih ada Monika zaman now

Pada hari ini kita mengenang kembali St. Monika. Beliau adalah sosok wanita kudus yang hebat. Darinya kita belajar makna pengorbanan diri sebagai seorang ibu dalam keluarga. Darinya kita belajar bahwa doa itu mengubah segala sesuatu. Darinya kita belajar bahwa untuk menjadi kudus itu butuh pengorbanan diri dan kesabaran yang besar. Memang dia berdoa tiada hentinya, dan dengan bercucuran air mata, turut membuka pintu surga bagi pertobatan anaknya St. Agustinus. Semua doa dan pengurbanan juga sebuah penantian yang panjang selama sekitar sepuluh tahun akhirnya membuahkan hasil, yakni Tuhan mengabulkan doa permohonannya. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia masih berucap kepada Agustinus: “Anakku, bagiku ini tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Kristen Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah terkabulkan berlebihan dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”

Pada saat ini masih banyak Monika yang berada di sekitar kita. Ada banyak ibu rumah tangga yang sedang mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan pasangan hidupnya. Mungkin sebagai ibu rumah tangga, ada yang belum mendapat ‘bulanan’ dari suami. Dalam masa covid ini mungkin juga ‘bulanan’ semakin menurun. Ada ibu yang tidak dihargai suami dan anak-anaknya. Hal ini tentu membuatnya tidak betah tetapi dia tetap berjuang untuk mempertahankan keluarga. Ada ibu yang dilecehkan secara verbal dan fisik tetapi dia memilih diam dan menyimpannya di dalam hati. Ada ibu yang dilarang suami supaya aktif dalam menggereja. Ada ibu yang mengalami penganiayaan oleh suami (KDRT). Pengalaman-pengalaman yang kiranya mirip dengan pengalaman santa Monika sendiri.

Sosok Monika benar-benar menginspirasi banyak orang. Saya sebagai seorang imam juga merasa bahwa ada keluarga dan kerabatku yang mengalami hidup seperti santa Monika saat ini. Mungkin saja mereka mengalami kekerasan fisik dan verbal, ketika dikaitkan dengan belis berupa gading atau jumlah hewan dan kain adat yang diberikan kepada keluarganya. Banyak kali sebagai seorang imam dan biarawan bisa lupa dengan keadaan keluarga. Pengalaman-pengalaman nyata dalam keluarga sebenarnya memiliki nilai edukasi yang tinggi. Ketabahan, kesetiaan, tahan banting, ketekunan dalam doa meski disertai air mata merupakan pengalaman yang sangat mendidik kita. Di sinilah wujud nyata kekudusan dalam hidup ini.

Kehidupan Santa Monika dan sabda Tuhan pada hari ini memang sangat inspiratif bagi kehidupan rohani kita. St. Paulus dalam tulisannya kepada jemaat di Korintus mengatakan bahwa kita dipanggil untuk menjadi kudus. Bagi Paulus: “Kita semua dipanggil untuk dikuduskan dalam Kristus Yesus dan mereka yang dipanggil untuk menjadi kudus.” Artinya bahwa kekudusan itu sifatnya universal dan bukan monopoli kelompok tertentu. Kekudusan itu merupakan kasih karunia dari Tuhan yang oleh Paulus dikatakan ‘menyertai’ kita semua. Sebagai seorang pemimpin, Paulus juga tetap mendukung panggilan kekudusan jemaat. Ia berkata: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu.” (1Kor 1:4-6).

Dari perkataan Paulus ini, kita boleh bertanya dalam hati: apakah kita merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi kudus? Untuk menjadi kudus tidak lah mudah, pintu sempit selalu menunggu. St. Monika mengalami pintu yang sempit dan dia berhasil melewatinya. Ia bercucuran air mata, mengalami tekanan bathin karena perilaku suami dan anaknya. Namun pintu sempit berubah menjadi pintu yang terbuka lebar bagi kekudusan. Patrisius suaminya dan Agustinus anaknya dibaptis. Sepuluh tahun berjuang dan membuakan kesuksesan. St. Paulus dalam perikop kita hari ini juga berkata: “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.” (1Kor 1:8-9). Tuhan itu setia menguduskan kita. Kesetiaan Tuhan terlaksana hingga keabadian.

Apa yang dapat kita lakukan?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan warning kepada kita supaya berjaga-jaga dalam menantikan kedatangan Tuhan. Diumpamakan dengan tuan rumah yang bijak akan selalu siap menjaga rumahnya dari gangguan para pencuri. Demikian juga anak-anak Tuhan akan selalu siap menantikan kedatangan Tuhan dalam hidupnya. Setiap orang harus selalu berpikir bahwa ini adalah hari terakhir dalam hidupnya makai a harus selalu siap. Selain sikap berjaga-jaga, kita juga diingatkan supaya menjadi hamba yang tekun dalam hidup dan selalu berbuat baik bukan jahat. Sikap berjaga-jaga menjadi salah satu kekuatan kita berjalan dalam jalan kekudusan.

Kita bersyukur karena Tuhan memberikan kepada kita sosok orang kudus yang menginsprasi hidup kita. Baiklah kita mendoakan para ibu dan saudari kita supaya tetap hidup dalam rahmat dan dikuatkan oleh teladan kekudusan santa Monika.

PJ-SDB