Homili 26 Agustus 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXI
2Tes. 3:6-10,16-18
Mzm. 128:1-2,4-5
Mat. 23:27-32.

Menjadi Panutan dalam Bekerja

Saya pernah memperhatikan seorang ayah yang selalu pergi bersama puteranya ke kebun. Di sana mereka bekerja bersama-sama. Apa yang terjadi saat itu: Ayahnya bekerja, misalnya mulai dengan memegang cangkul dan mulai mencangkul tanah di sekitarnya. Puteranya berdiri sambil melihat dengan saksama dan perlahan-lahan mulai mengikutinya. Lama kelamaan, sang ayah dan anak mengadakan lomba mencangkul tanah hingga ke tempat tertentu atau membersihkan kebun jagung hingga tempat tertentu di dalam kebun mereka. Ini benar-benar menjadi sebuah pemandangan yang indah. Seorang ayah menurunkan karakter kerja kepada anaknya. Hidup bermakna dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Ayah itu telah menunjukkan niliai-nilai luhur dari suatu pekerjaan. Saya merasa yakin bawah anak itu akan memiliki mental kerja di masa depan. Dia akan hidup dari keingatnya sendiri bukan tertawa di atas keringat orang lain. Sosok ayah sebagai pekerja tulen menjadi panutan anak sepanjangan masa.

Saya teringat pada Khalil Gibran yang mengatakan: “Jika kamu tidak bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaanmu.” Saya sepakat dengan Gibran sebab bekerja merupakan sebuah aktivitas yang menunjukkan bahwa kita benar-benar manusia. Bekerja bukan hanya sekedar sebuah aktivitas belaka tetapi bekerja itu sebuah ekspresi dan bukti bahwa kita adalah manusia berakal budi yang ikut terlibat dalam diri Allah sang Pencipta. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” (Yoh 5:17). Dan benar! Tuhan senantiasa mencipta sampai saat ini. Dia mencipta karena cinta. Dia cinta karena Dialah cinta itu sendiri (1Yoh 4:8.16). Dari situ bekerjalah dengan tekun untuk mengkespresikan diri sebagai manusia.

Pada hari ini saya merasa benar-benar disapa oleh perkataaan St. Paulus yang disampaikannya kepaa jemaat di Tesalonika. Ia mengatakan begini: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti. Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:7-10). Paulus menunjukkan diri sebagai panutan bagi jemaat. Dia bersama teman-temannya tidak lalai bekerja dan tidak makan roti orang dengan percuma. Dia menjadi panutan sebab dia bekerja keras, berjerih payah siang dan malam sehingga tidak membebankan jemaat. Keteladanan ini memang penting dan harus kita miliki juga dalam hidup setiap hari.

Saya mengalami sendiri di dalam keluarga saya tentang keluhuran dalam bekerja. Ayah saya mungkin pernah membaca surat Paulus ini sehingga dia menasihati kami anak-anaknya dari kecil: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:10). Ketika kembali dari sekolah kami harus bekerja di kebun, memperhatikan ternak berkaki dua dan empat, mencari kayu api, mengambil air, membersihkan rumah dan belajar. Kalau kami lalai melakukannya maka meskipun ibu menyiapkan makanan dan meletakannya di atas meja, kami tidak akan menyentuh makanan itu karena kami tidak bekerja. Filosofi ini membuat kami bertumbuh dengan mental kerja dan jujur. Kami menjadi kuat dan belajar untuk hidup dari pekerjaan kami sendiri. Saya senang memiliki sosok seorang ayah yang selalu bekerja. Ia pernah berkata kepada saya: “Saya bekerja untumu, di saatnya nanti berikan kepadaku doa dan lilin putih”. Ini adalah sebuah pengalaman yang indah bersama seorang ayahku yang bekerja dengan sukacita.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus melanjutkan kecaman-Nya kepada Para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kali ini ia mengaatakan bahwa mereka munafik sebab mereka itu seperti kubur yang di luarnya dilabur putih tetapi di dalamnya penuh dengan tulang belulang dan kotoran. Orang-orang Yahudi memang memiliki kebiasaan membuat kuburnya seindah mungkin. Di luarnya indah tetapi di dalamnya kotor dan bau. Pada saat ini kita juga memiliki memorial park, atau orang menyebut rumah duka sebagai ‘heaven’. Di sana ada kefanaan tubuh manusia yang menjadi debu di memorial park. Tuhan Yesus menyebut contoh kuburan ini dengan sosok hidup manusia yang di luarnya seolah-olah orang benar tetapi di dalamnya penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

Banyak kelompok kategorial di paroki-paroki yang menjadi sorotan banyak umat. Ketika mereka tergabung dalam suatu kelompok kategorial, mereka cepat lupa bahwa mereka masih berada di dunia bukan di surga, dan belum tentu di surga juga. Tetapi apa yang terjadi? Mereka berpikir bahwa orang-orang diluar komunitasnya itu bukanlah orang yang sempurna sepertinya. Padahal belum tentu juga? Di dalam kelompok-kelompok kategorial juga terselubung dosa: penipuan antar anggota komunitas kalau berhubungan dengan uang, korupsi, perselingkuhan, kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Hal-hal ini terjadi dalam kelompok-kelompok kategorial kita. Maka tampak luar sebagai kelompok kategorial memang hebat, bersih tetapi di dalamnya hanya Tuhan dan mereka yang tahu.

Masih dalam kelompok kategorial dan territorial di dalam gereja katolik. Dalam semangat bekerja sama kelihatan memang baik. Tetapi menjadi panutan seperti yang dikatakan santu Paulus benar-benar masih dalam taraf perjuangan. Paulus berkata: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu.” (2Tes 3:8). Para pengurus memang sedikit mengikuti perkataan Paulus ini, tetapi para anggota kadang sangat mengecewakan karena mereka tidak bekerja, tidak aktif sebagai anggota. Tetapi kalau ada sesuatu yang menyenangkan maka mereka selalu di depan untuk groufie atau wefie setelah itu menghilang lagi. Kalau Paulus masih ada maka dia akan mengulangi perkataan Yesus dalam Injil hari ini: “Dasar munafik!” atau lebih keras lagi “Celakalah!”

Pertanyaan-pertanyaan bagi kita: Apakah hari ini anda juga bekerja? Apakah anda seorang pekerja yang hebat di tempat kerjamu? Bagaimana anda membangun hubungan dengan sesama atau rekan-rekan kerjamu? Apakah anda berlaku adil, penuh belas kasih dan setia di tempat kerjamu? Satu hal yang penting: “Jangan membangun relasi antar pribadi berdasarkan berapa gaji yang diterima, tetapi bahwa dia adalah manusia maka hargailah nilai hidupnya.” Kita bekerja karena kita beriman. Bekerja berarti kita mengungkapkan iman kita pada tempat yang benar.

P. John Laba, SDB