Homili 5 September 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXII
St. Theresia dari Kalkuta
1Kor. 4:6b-15
Mzm. 145:17-18,19-20,21
Luk. 6:1-5

Kasih dan kebaikan itu penting!

Pada hari ini Gereja Katolik mengenang Santa Theresia dari Kalkuta. Orang kudus modern ini sangatlah inspiratif, melalui hidup dan karyanya. Ia pernah berkata: “Kita perlu menemukan Tuhan, dan dia tidak dapat ditemukan dalam kebisingan dan kegelisahan. Tuhan adalah teman kesunyian. Lihatlah bagaimana alam – pohon, bunga, rumput tumbuh dalam keheningan; melihat bintang-bintang, bulan dan matahari, bagaimana mereka bergerak dalam keheningan … Kita perlu keheningan untuk dapat menyentuh jiwa.” Saya merasa yakin bahwa perkataannya ini bukanlah sebuah teori, tetapi sebuah kenyataan yang dialaminya sendiri selama menjadi rasul bagi kaum papa miskin di Kalkuta. Dalam suasana kebisingan dan kemiskinan kota Kalkuta, beliau mengalami sebuah kesunyian yang luar biasa, yang tidak dapat menghalanginya untuk melayani orang-orang miskin, hingga wafat bersama orang-orang miskin. Allah hadir dalam kesunyian, dalam angin sepoi yang menyejukkan dan mendamaikan. Perkataan kedua yang inspiratif bagi saya hari ini adalah: “Sebarkan cinta ke mana pun Anda pergi. Jangan biarkan ada yang datang kepadamu, dan pergi tanpa merasa lebih bahagia.” Kasih adalah segalanya dan kita harus berani membuka diri sehingga orang dapat mengakses kasih di dalam hidup kita. Orang yang datang harus merasa bahwa mereka di kasihi dan ketika pergi, mereka membawa kasih bagi hidup mereka.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus dalam Injil. Hari sebelumnya, kaum Farisi mempertanyakan Yesus tentang kebiasaan berpuasa. Tuhan Yesus dengan tepat mengatakan bahwa para sahabat mempelai tidak harus berpuasa selagi sang mempelai masih ada. Puasa hanya akan terjadi ketika sang mempelai diambil dari tengah-tengah para sahabatnya. Sang mempelai adalah Yesus, sedangkan para sahabat adalah murid-murid-Nya atau Gereja saat ini. Tinggal bersama Yesus berarti mengalami sukacita abadi. Namun demikian setiap pribadi harus bersuaha untuk mengosongkan diri, menyangkal diri dan memikul salib dalam hidupnya setiap hari. Selanjutnya, perikop Injil kita hari ini mengisahkan tentang bagaimana orang harus berpegang teguh pada adat istiadat Yahudi, khususnya tentang Sabat dan puasa.

Dikisahkan oleh Penginjil Lukas bahwa Yesus dan para murid-Nya sedang berjalan-jalan pada hari Sabat. Ketika menjelang siang, mereka kelaparan sehingga mereka memetic bulir gandum, menggisarnya dengan tangan dan memakannya. Kaum Farisi merasa terganggu karena para murid Yesus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Hal ini juga menjadi alasan bagi Yesus untuk menjelaskan makna Hari Sabat bagi mereka. Yesus mulai dengan mengutip Kitab Pertama Samuel yang mengisahkan tentang kedatangan Daud dan pasukannya ke rumah Allah dan memakan semua roti sajian yang hanya dapat disantap oleh para imam. Kitab baca dalam Kitab Pertama Samuel: “Lalu imam itu memberikan kepadanya roti kudus itu, karena tidak ada roti di sana kecuali roti sajian; roti itu sudah diangkat dari hadapan Tuhan, supaya bisa meletakkan roti segar sebagai gantinya pada hari roti itu diangkat.” (1Sam 21:6). Terhadap situasi ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat (Luk 6:5).

Santu Gregorius Agung menangkap ide ‘Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat’ dan mengatakan: “Bagi kita, Yesus adalah hari Sabat yang benar, Dialah penebus kita.” Tuhan Yesus sebagai tuan atas Hari Sabat memungkinkan kita untuk menguduskan hari istimewa itu bagi Tuhan. St. Yohanes Paulus II mengatakan: “Kita perlu mengungkapkan rasa sukacita kita karena Hari Sabat pertama diperuntukan bagi manusia, sekarang ini Hari Sabat diungkapkan dengan gembira karena Kristus sungguh bangkit dan menampakkan diri kepada para murid-Nya. Pada saat itu Ia menganugerakan damai-Nya dan karunia Roh Kudus (Yoh 20:23). Dalam cahaya misteri ini, perintah Perjanjian Lama mengenai Hari Sabat ditemukan ulang, disempurnakan, dan diwahyukan dalam kemuliaan, yang bersinar pada wajah Kristus (Dies Domini, 18).

Banyak kali kita menemukan sosok-sosok yang sangat legalis. Orang-orang Yahudi memiliki 613 hukum dan ketetapan (mitzvot) yang bernilai positif dan negatif, dan harus dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Ini adalah hukum dan ketetapan yang harus dilakukan oleh kaum Yahudi. Maka ketika melihat orang tidak berpuasa atau tidak membasuh diri, mereka akan marah dan membully sesama yang lain. Bagi saya hal terpenting adalah orang harus hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan.

Apa yang harus kita lakukan?

Supaya orang dapat hidup dalam kasih dan kebaikan maka sesuai nasihat santu Paulus (1Kor 4: 6b-15), tidak ada seorang pun berhak untuk memegahkan diri dan merasa penting dalam hidup bersama sebagai jemaat. Hal terpenting adalah mengutamakan sesama bukan mengutamakan diri sendiri sebagaimana diteladani Apolos dan Paulus. Kata-kata Paulus sangat mengesankan kita: “Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. Kamu mulia, tetapi kami hina. Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini.” (1Kor 4:10-13).

Pada hari ini mari kita belajar untuk mengasihi dengan kasih Tuhan sebagaimana diteladani santa Theresia dari Kalkuta. Kita membuang sikap Farisi yang selalu merasuki hidup kita, dengan hanya mengobservasi hukum dan ketetapan tetapi tidak melakukannya dalam hidup sehari-hari. Hidup kita bermakna ketika kita memperjuangkan kasih dan keadilan bagi semua orang.

PJ-SDB