Homili 4 September 2020

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor 4:1-5
Mzm 37:3-4.5-6.27-28.39-40
Luk 5:33-39

Bahagia sebagai sahabat Yesus

Pagi ini saya mendapat sebuah pesan singkat dari seorang sahabat, berupa kutipan kata dari Albert Einstein: “Keindahan persahabatan adalah bahwa kamu tahu kepada siapa kamu dapat mempercayakan rahasia.” Saya senang dengan kutipan perkataan sang jenius ini.Persahabatan itu indah sebab kita selalu memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman bahkan sampai hal-hal yang bersifat rahasia pribadi kepadanya. Kunci persahabatan adalah kesetiaan. Sahabat akan tertawa saat kita tertawa dan menangis saat kita menangis. Bagi saya persahabat itu seperti laut dan pasir. Laut dan pasir itu selalu siap untuk menghadapi pecahan ombak dan keduanya bersama-sama merasakan teriknya sang surya. Bahwa laut dan pasir berbeda memang sebuah realitas tetapi keduanya sama-sama berbagi pengalaman menghadapi pecahan ombak. Saya teringat pada Ralph Waldo Emerson, seorang Filsuf berkebangsaan Amerika Serikat pernah berkata: “Kemuliaan persahabatan bukanlah uluran tangan, bukan senyuman ramah, maupun sukacita persahabatan, itu adalah inspirasi spiritual yang datang ketika kamu menemukan orang lain yang percaya padamu dan bersedia untuk mempercayaimu dalam persahabatan.”

Tuhan Yesus di dalam Injil menunjukkan sesuatu yang sangat luhur bagi kita. Dia adalah Anak Allah tetapi memanggil manusia yang berdosa sebagai sahabat-sahabat-Nya. Ia berkata: “Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu” (Yoh 15:14). Tuhan Yesus sendiri tidak menyebut kita sebagai hamba tetapi sahabat (Yoh 15:15), seorang sahabat yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13). Perkataan Yesus ini sungguh luar biasa. Kita hanya manusia yang berdosa tetapi Tuhan masih menyapa dan menganggap kita sebagai sahabat-sahabat-Nya. Sapaan Yesus membuat kita yang masih memiliki rasa malu harus merasa malu karena banyak kali kita tidak berlaku sebagai sahabat dan saudara. Kalau saja suami dan istri bukanlah sahabat maka relasi mereka juga dangkal, tidak berakar sama sekali. Relasi persaudaraan yang ada di antara para saudara dan saudari juga sifatnya dangkal, penuh perhitungan untung dan rugi. Tuhan saja menjadi sahabat yang tulus, mengapa manusia begitu sulit menjadi sahabat yang tulus?

Tuhan Yesus menyapa kita sebagai sahabat bukan hamba, kita juga disebutnya sebagai sahabat-sahabat mempelai yang hidupnya penuh dengan sukacita bukan kesedihan. Penginjil Lukas melaporkan bahwa pada suatu kesempatan, ada orang farisi dan ahli-ahli Taurat yang mengatakan kepada Yesus tentang hal berpuasa. Bahwa murid-murid Yohanes berpuasa, murid-murid orang Farisi juga berpuasa sedangkan murid-murid Yesus tidak berpuasa melainkan tetap makan dan minum seperti biasa. Yesus menyimak semua perkataan lawan-lawan-Nya ini. Dia menjawab mereka: “Dapatkah sahabat mempelai disuruh berpuasa, selagi mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang saatnya mempelai diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”Perkataan Yesus ini sangatlah jelas. Dia tidak hanya menyapa kita sebagai sahabat saja, tetapi kita benar-benar sahabat sejati Yesus sang mempelai sejati. Tinggal bersama Yesus sebagai sahabat selalu diwarnai sukacita sama dengan sukacita perkawinan. Namun ketika Yesus memasuki paskah-Nya, dalam hal ini menderita, sengsara dan wafat maka saat itu para sahabat mempelai bersedih. Ini saat untuk berpuasa.

Banyak kali orang-orang bersifat legalis. Mereka hanya mengobservasi hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan Tuhan tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Mereka hanya pandai menilai orang lain tetapi hidup mereka sendiri jauh dari yang diharapkan. Itu sebabnya Yesus menghimbau para murid-Nya untuk melakukan apa yang diajarkan bukan apa yang dilakukan para pemimpin Yahudi (Mat. 23:3). Demikian juga dalam hidup kita sehari-hari, kita selalu menemukan orang yang berdandan agamis tetapi hidup mereka jauh dari Tuhan. Trend masa kini adalah munculnya nabi-nabi palsu yang suka membual untuk mendapat sesuap nasih dan seteguk air. Di media sosial seperti Youtube kita menemukan para mualaf yang membual di mana-mana, mengumpulkan banyak orang untuk menghina kekristenan. Memang aneh tapi nyata.

Apa yang harus kita lakukan?

Kita sebagai Gereja perlu membuat revolusi mental. Sebuah revolusi yang menunjukkan tranformasi radikal dalam hidup setiap pribadi. Sebab itu yang dibutuhkan adalah pertobatan radikal, sebuah perubahan untuk menjadi manusia baru dalam Kristus. St. Paulus meminta jemaat di Korintus untuk memiliki semangat sebagai hamba atau abdi Kristus dan pengurus rahasia Allah. Sebab itu ia mengharapkan supaya kita juga berusaha untuk mengimani-Nya. Mengapa? Karena hanya Tuhan saja yang mampu menerangi juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan. Dialah pula yang memperlihatkan apa yang direncanakan dalam hati.

Pada hari ini marilah kita berusaha untuk menjadi manusia baru, yang bersahabat dengan Yesus. Apakah Anda menyadari diri sebagai seorang sahabat Yesus? Menjadi sahabat Yesus berarti menjadi serupa dengan Dia dalam segala hal. Semoga Ia menguatkan kita semua.

PJ-SDB