Homili 7 September 2020

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXIII/A
1Kor 5:1-8
Mzm 5:5-6.7.12
Luk 6:6-11

Masih ada yang bangga karena berbuat dosa

Apakah Anda pernah mendengar seseorang yang bangga setelah berbuat dosa? Mungkin saja Anda menikmati cerita tentang perbuatan dosanya itu, padahal ceritanya itu juga menyesatkan atau menjatuhkanmu ke dalam dosa. Banyak kali kita memang tidak sadar untuk mengikuti saja alur-alur cerita dosa pribadi orang tersebut padahal saat itu kita juga jatuh dalam dosa melalui pikiran dan perkataan. Sebagai contoh: sebagai orang dewasa, kadang-kadang ketika bepergian bersama dalam kendaraan, para bapa bercerita tentang pengalamannya dengan pasangannya atau dengan wanita lain.Para ibu bercerita tentang pengalamannya bersama pasangannya atau dengan laki lain. Umumnya mereka semua tertawa seakan-akan sama-sama menikmati cerita-cerita tersebut. Orang yang berbuat dosa menjatuhkan sesamanya ke dalam dosa. Ada orang yang setelah merampok atau menjambret masih bercerita dengan bangga karena sudah melakukannyaa. Orang yang melakukan kekerasan fisik dan verbal masih berbangga dengan perbuatannya itu di hadapan orang lain. Masih banyak contoh-contoh lain yang selalu terjadi di antara kita. Ada orang yang menyesal setelah ikut terlibat dalam cerita-cerita ini, ada yang lain merasa semuanya biasa saja. Tak ada perasaan bersalah dalam dirinya.

Saya merasa yakin bahwa pengalaman-pengalaman ini selalu terjadi dalam hidup kita. Kita semua adalah manusia bukan robot dan tentu mengalaminya dalam hidup kita. Hal terpenting adalah memiliki kemampuan untuk sadar diri bahwa semua tindakan kita dalam pikiran, perkataan dan perbuatan serta kelalaian dalam hidup kita adalah dosa.Kalau ada kesadaran seperti ini maka kita juga akan berusaha untuk meminimalisir kejatuhan kita atas dosa yang kita lakukan bagi diri kita dan menjatuhkan orang lain ke dalam dosa.Kita mesti berusaha untuk menjauhi anggapan bahwa persahabatan itu menjadi akrab kalau ada bumbu-bumbu dosa yang membuat kita tertawa bersama teman-teman dan lain sebagainya.

Pada hari ini kita semua dicubit oleh Santu Paulus. Dalam bacaan pertama yang diambil dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengungkapkan perasaan kecewanya kepada jemaat yang melakukan dosa percabulan. Percabulan yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah tetapi masih dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengenal Allah dan Injil Suci. Dosa percabulan yang dimaksudkan adalah ada orang yang hidup dengan istri ayahnya. Orang-orang yang hidupnya demikian masih sombong dan bangga karena hidup demikian. Paulus mengatakan, seharusnya berdukacita menyingkirkan atau menjauhi orang yang seperti itu. Memang ini adalah perbuatan yang aneh tetapi masih sering terjadi dalam masyarakat kita. Ada kalanya pelecehan seksual itu dilakukan oleh orang-orang terdekat, ibarat pagar makan tanaman. Misalnya, seorang ayah dengan anaknya atau ibu dengan anaknya. Sorang anak laki-laki dengan ibu kandung atau ibu tirinya seperti terjadi di Korintus. Bagi Paulus, hal-hal seperti ini harus disingkirkan, dijauhi bukan dibanggakan. Orang yang bangga dengan dosa-dosa seperti ini tidak memiliki hati nurani.

Paulus adalah seorang pemimpin sejati. Meskipun ia merasa jauh secara fisik namun tetap dekat dan hadir secara rohani. Ia memiliki tanggung jawab moral terhadap jemaat yang sudah menerima pewartaan Injil melalui pewartaannya. Maka ia mengajak jemaat yang masih berhati nurani untuk berkumpul bersama-sama dalam Roh dan percaya kepada Tuhan Yesus untuk menjauhi orang yang melakukan dosa-dosa percabulan, bahkan tak tanggung-tanggung Paulus mengajak mereka untuk menyerahkan orang seperti itu kepada iblis dalam nama Tuhan Yesus supaya binasa secara fisik tetapi rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.

St. Paulus menghendaki supaya orang jangan sombong ketika melakukan dosa-dosa tertentu. Hal terpenting adalah meningglkaan hidup lama yang penuh dosa dengan hidup baru di dalam Kristus. Hidup lama itu ibadat hidup dengan ragi yang lama, berupa keburukan dan kejahatan, artinya hidup penuh dosa yang merasuki hati dan jiwa kita. Seharusnya kita masing-masing berusaha untuk menjadi adonan baru karena kita tidak beragi. Tuhan Yesus sang Anak Domba sudah mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan kita semua. Sebab itu janganlah bangga kalau barusan berbuat dosa atau menjatuhkan orang lain ke dalam dosa.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar kisah Yesus yang membuat sebuah mukjizat pada hari Sabat. Ia menyembuhkan seorang yang sakit sebelah tangannya. Ia menunjukkan belas kasihan kepada orang yang sangat menderita sehingga Ia meminta supaya orang sakit itu mengulurkan tangannya supaya disembuhkannya. Mukjizat pun terjadi, orang sakit tangan itu menjadi sembuh. Ini adalah sebuah perbuatan baik yang sebenarnya harus disyukuri. Namun ada lawan-lawan Yesus yakni para ahli Taurat dan orang-orang Faris yang bangga dalam zona nyaman mereka dan mencari kesalahan Yesus yang berbuat baik. Sikap-sikap mereka yang tidak harus kita ikuti karena menunjukkan kesombongan mereka adalah: ‘mengamat-amati Yesus kalau-kalau’. Ini selalu mereka lakukan padahal Yesus berbuat baik. Banyak kali kita juga mengamat-amati hidup sesama dengan pikiran yang bukan-bukan. Kita merasa lebih baik dari orang lain yang berbuat baik padahal tidaklah demikian. Tuhan Yesus mengenal dan mengetahui pikiran kita. Sikap lain adalah rencana busuk dan amarah mereka untuk membunuh Yesus karena Yesus berbuat baik.

Hidup kita selalu dihiasi oleh aneka macam sikap hidup. Banyak kali kita juga bangga karena melakukan perbuatan dosa. Mungkin kalimat ini bisa mengoreksi kita, “Buat dosa kog bangga, mana hati nuranimu?” Banyak kali kita juga tidak menysukuri orang lain yang berbuat baik. Kita malah mencari-cari kesalahannya dan mau menjatuhkan pamornya. Kita sering bangga karena menjatuhkan pamor orang yang berbuat baik. Seharusnya kita mengapresiasi perbuatan-perbuatan baik. Maka mari kita meninggalkan ragi yang lama supaya dapat menjadi adonan baru yang bagus, indah dan berkenan bagi Tuhan dan sesama.

PJ-SDB