Homili 26 September 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXV
Pkh 11:9-12:8
Mzm 90: 3-4.5-6.12-13.14.17
Luk 9: 43b-45

Mesias yang menderita

Selama masa pandemi covid-19 ini, banyak umat Katolik yang tidak bisa ke Gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi dan menerima pelayanan sakramen-sakramen lainnya. Untuk perayaan Ekaristi, ada livestreaming sehingga ada kesempatan untuk menerima komuni bathin. Tetapi bagaimana dengan sakramen tobat? Hingga saat ini tidak ada pengakuan dosa online, harus langsung kepada Romo sebagai Bapak pengakuan. Namun belum ada romo manapun yang bersedia menerima pelayanan sakramen tobat, sebab Romo-Romo juga mengikuti peraturan Gereja lokal. Dalam keadaan seperti ini, seorang sahabat mengatakan: “Kita semua merasa dan boleh mengakui bahwa kita sedang menderita karena tidak mendapat pelayanan yang maksimum dari Gereja sebagai akibat dari covid-19. Namun demikian kita juga lupa bahwa Tuhan Yesus lebih menderita akibat dosa-dosa kita. Penderitaan-Nya sebagai Mesias tidak dapat kita pahami dengan akal budi kita.”

Saya sepakat dengan beliau. Banyak kali kita lupa bahwa karena situasi pandemi covid-19, Gereja melupakan kita, Tuhan juga melupakan kita. Padahal justru Gereja peduli dan berusaha melayani dengan cara-cara yang tepat dan pasti. Misalnya Gereja selalu patuh pada protokol kesehatan yang berlaku. Ini merupakan bukti ketaatan kita sebagai Gereja kepada para pemimpin. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis dengan jelas begini: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.” (Ibr 13:7.17).

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang indah tentang Tuhan Yesus yang sebelumnya diakui sebagai Mesias Anak Allah. Yesus bukanlah sebagai Mesias yang jaya melainkan Mesias yang menderita. Kita tahu bahwa Tuhan Yesus melakukan banyak tanda heran. Dia juga mengajar dengan kuasa dan wibawa melebih para nabi. Hal ini membuat semua orang merasa heran akan semua karya dan tanda yang dilakukan Yesus di depan mata mereka. Tentu saja semua yang dilakukan Yesus sangat berarti bagi mereka. Namun Ia juga berkata kepada mereka: “Dengarkan dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tanga manusia.” Para murid masih bereuforia karena pengakuan iman bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah. Maka ketika Yesus mengatakan berita tentang penderitaan-Nya, tidak ada di antara mereka yang mengerti dengan perkataan-Nya sebab masih tersembunyi bagi mereka. Roh Kudus belum membuka pikiran mereka untuk memahami perkataan Yesus, terutama rencana keselamatan dari Allah Bapa. Para murid juga tidak berani menanyakan makna perkataan-Nya karena pikiran mereka tetap berpatok pada tanda-tanda yang dilakukan Yesus, sangat nyata dan meyakinkan, lagi pula Dia sudah dikenal sebagai Mesias.

Suasana komunitas Yesus ini juga merupakan suasana bathin kita semua. Kalau seandainya kita hidup pada masa Yesus, pasti situasinya juga sama. Tuhan Yesus boleh berkata tentang penderitaan-Nya, tetapi kita masih bereuforia dengan diri-Nya sebagai Mesias Anak Allah. Kita lupa bahwa Mesias harus menderita untuk keselamatan kita. Mesias kita itu menderita bukan Mesias yang jaya. Dia harus menderita karena diserahkan ke dalam tangan manusia yang berdosa. Tuhan Allah Bapa sendiri tidak menghentikannya. Dia tetap menyerahkan Anak-Nya yang tunggal karena kasih (Yoh 3:16). Penebusan berlimpah yang kita alami berasal dari kasih Bapa melalui Yesus Kristus. Semua ini kita dapat memahaminya melalui karya Roh Kudus di dalam hidup kita.

Apa yang harus kita lakukan?

Kita semua mengikuti Yesus Kristus. Dia menderita akibat perbuatan tangan manusia yang berdosa. Dia wafat dan bangkit dengan mulai untuk menebus dosa-dosa kita. Ini adalah sebuah warta yang penuh sukacita dan penuh dengan nuansa optimisme. Nada-nada optimisme harus kita miliki, bukan berarti kita tertawa di atas penderitaan Yesus, tetapi bahwa kita begitu bernilai di mata Tuhan sehingga Ia mau menderita dan menebus kita.

Dalam bacaan pertama kita mendengar ungkapan-ungkapan bernada optimisme dari Kitab Pengkhotbah. Kaum muda dinasihati untuk memiliki jiwa yang penuh sukacita selagi masih muda. Kaum muda diharapkan untuk membuang kesedihan dari hatinya, menjauhkan penderitaan dari tubuhnya karena masa muda dan fajar hidup adalah kesia-siaan. Hal terpenting adalah kaum muda selalu mengingat Allah sang Pencipta pada masa mudanya, sebelum debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah.

Pesan pewartaan dari Kitab Pengkhotbah adalah tentang pertobatan. Mudah sekali kita bergembira hingga lupa diri dan melupakan Tuhan. Di saat-saat bahagia, siapa yang masih bersyukur kepada Tuhan? Ternyata tidak semuanya bersyukur kepada Tuhan. Ketika ada kesulitan barulah orang mendekatkan diri kepada Tuhan. Itulah hidup manusia tertentu di hadirat Tuhan. Mari kita berubah. Mari kita berusaha untuk mengikuti dan bersatu dengan Mesias yang menderita yaitu Yesus Kristus Tuhan kita.

PJ-SDB