Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A – 2020

Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A
Yeh. 18:25-28
Mzm. 25:4bc-5,6-7,8-9
Flp. 2:1-11
Mat. 21:28-32

Saya percaya kepada perubahan

Beberapa tahun yang lalu saya membaca buku Let’s Change!, karya Prof. Rhenald Kasali. Pendidik dan pendiri Rumah Perubahan ini menulis dalam buku karyanya ini, sebuah kalimat inspiratif, bunyinya: “Manusia ingin berubah, tetapi tidak mau diubah”. Saya sepakat dengan perkataan beliau ini. Banyak kali orang bercita-cita setinggi langit untuk berubah tetapi tidak membuka diri kepada perubahan. Saya teringat ketika masih menjadi kepada sekolah di sebuah sekolah milik Yayasan kami. Para guru di sekolah itu meminta kepada saya untuk belajar Bahasa Inggris. Saya menemukan seorang sukarelawan dari Australia, native speaker yang hebat. Saya mengingatkan kepadanya untuk memberi test tertulis dan lisan supaya dapat menentukan level mereka sebelum memulai kursus. Ia pun memberi test tertulis dan lisan kepada mereka semua dan hasilnya adalah hampir semuanya mengikuti kelas pemula. Sebagai kelas pemula mereka harus mulai belajar mengucapkan alfabet dari A-Z. Setelah seminggu mengikuti kursus, sudah ada guru yang bolos dan akhirnya ‘muntaber’ alias mundur tanpa berita dan hanya tiga minggu saja kursus saya tutup karena tidak ada guru yang mau melanjutkannya.

Dalam pertemuan dewan guru, saya bertanya tentang hal ini. Salah seorang mewakili para guru mengatakan: “Pater, kami ini sudah menjadi guru bertahun-tahun. Kami mau berbicara Bahasa Inggris bukan melatih diri untuk melafal Alfabet A-Z seperti anak-anak TKK”. Saya hanya tersenyum mendengar perkataan guru ini, dan memberi komentar singkat: “Bapa dan ibu guru sekalian, untuk Bahasa Inggris, kalian semua memang seperti anak-anak TKK. Hasil test menunjukkan bahwa kalian semua berada di level pemula atau level dasar.” Semuanya diam dan tidak melanjutkan kursus mereka. Orang mau berbicara Bahasa Inggris tetapi tidak mau memulai dari Alfabet, kosa kata dan belajar tata bahasanya. Aneh tetapi nyata. Ada keinginan untuk berubah tetapi tidak mau diubah.

Kisah singkat di atas menggambarkan hidup banyak di antara kita yang mau berubah tetapi tidak mau diubah di hadapan Tuhan dan sesama. Niat untuk berubah itu tidak cukup, kita harus terbuka untuk berubah dan diubah oleh lingkungan di mana kita berubah. Ketika kita tidak mampu membuka diri untuk diubah maka akan menjadi sulit bagi kita semua supaya menjadi pribadi yang matang. Kita semua harus menjadi agen perubahan yang lebih baik dari saat ke saat. Let’s change! Mari kita berubah. Ini adalah perkataan yang tepat untuk mengubah hidup dan komiten kita kepada perubahan.

Sabda Tuhan pada Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A ini mengarahkan kita untuk membangun komitmen peribadi kita kepada perubahan yang lebih baik. Dalam kacamata kristiani, kita menyebutnya sebagai komitmen kepada pertobatan pribadi yang radikal. Nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama, menulis begini: “Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya.” (Yeh 18: 26). Ada kalanya kita menjumpai pribadi-pribadi tertentu yang memiliki keperibadian seperti ini. Mulanya dia boleh masuk kategori orang benar dan lurus. Namun perlahan-lahan dia berubah dengan membuat kecurangan sehingga membuat banyak orang merasa heran karena perubahannya ini. Orang seperti ini layak untuk mati karena kecurangannya ini. Nabi Yehezkiel juga mengatakan: “Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:27-28). Kalau orang berdosa sadar bahwa dia melakukan perbuatan dosa maka ada kehidupan bukan kematian baginya. Perkataan nabi Yehezkiel mengandung nuansa pertobatan yang radikal atau metanoia. Ada nuansa perubahan yang lebih positif bagi kehidupan kita di hadapan Tuhan dan sesama.

Nuansa pertobatan juga merupakan nuansa perubahan. Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus berbicara kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi melalui perumpamaan. Ada seorang yang mempunya dua anak laki-laki. Pekerjaannya adalah sebagai petani. Pada suatu hari ia meminta kepada anak yang sulung dan memintanya untuk pergi dan bekerja di kebun anggurnya hari ini juga. Anak sulung ini mengatakan ‘Ya, baik Bapa’ namun dia tidak pergi bekerja. Sang ayah mengatakan kepada anak yang kedua sama dengan perkataan sebelumnya, dan hasilnya adalah ‘anak kedua tidak mau pergi bekerja’ namun setelah merenung sikapnya ini, dia merasa malu, menyesal dan pergi bekerja di kebun anggur tuannya. Dua sikap yang berbeda ini selalu ada di dalam hidup kita. Kadang-kadang kita mengatakan ‘Ya’ tetapi tidak melakukan kehendak Tuhan. Kita juga sering mengatakan ‘tidak’ kepada Tuhan, sering jatuh ke dalam dosa yang sama tetapi mampu berubah dalam hidup karena ada pertobatan bathin.

Hal lain yang menarik perhatian kita kepada Tuhan adalah pengalaman akan Allah yang tentu berjalan bersama dengan waktu. Pengalaman akan Allah ini menjadi nyata dalam usaha untuk membangun pertobatan yang radikal. Dalam kisah injil ini, Anak kedua tampil beda dari anak pertama. Ia memiliki penyesalan terhadap kesalahan yang sudah dilakukannya dan berniat untuk menjadi baru dengan melakukan kehendak ayahnya. Bagi kita saat ini, ada sebuah persoalan yakni apakah penyesalan dalam diri kita itu bersifat sementara atau berlanjut selamanya. Penyesalan dan pertobatan adalah jalan perubahan dalam hidup manusia.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua menghendaki kita semua untuk berubah. Let’s change! Saya mengingat Lao-Zu. Filsuf dari Tiongkok yang hidupnya sekitar tahun 600 SM, pernah berkata: “Kehidupan adalah perubahan yang alami dan spontan. Jangan menolaknya, karena akan menimbulkan kesedihan. Biarlah sesuai dengan kenyataan. Biarkan mengalir secara natural, berjalan seperti apa adanya.” Kita memang harus berubah. Berkaitan dengan perubahan pribadi yang radikal, St. Paulus menulis: “Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Flp 2:2-4). Kalau kita menghendaki perubahan maka mari kita berubah menjadi lebih baik lagi.

Saya menutup homili ini dengan mengutip Mahatma Gandhi, ketika mengatakan: “Jika kamu ingin dunia berubah, jadilah perubahan itu sendiri.” Kita mengubah dunia karena kita berubah bukan karena dunia berubah. Maka arah hidup kita harusnya dari hidup lama ‘tidak’ menjadi hidup baru ‘menyesal dan ya’. Kalau kita hanya tinggal dalam ‘ya’ tetapi ‘tidak’ melakukan kehendak Tuhan maka kita menipu diri kita sendiri. Maka, mari kita berubah!

PJ-SDB