Homili 28 September 2020

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXVI
Ayb. 1:6-22
Mzm. 17:1,2-3,6-7
Luk. 9:46-50

Belajar berpasrah kepada Tuhan

Saya mengenal sebuah keluarga. Hidup mereka sederhana tetapi kelihatan sangat bahagia. Dalam kekurangan, mereka masih terus berderma kepada sesama yang lain. Saya sendiri sampai bingung dengan keluarga ini sebab mereka juga berkekurangan tetapi masih tetap berbagi dengan sesama. Di masa pandemi ini, saya menyaksikan sendiri, mereka menerima bantuan sembako. Setelah menerimanya, mereka masih menyisihkan bantuan itu untuk tetangganya yakni seorang ibu lansia yang tinggal sendirian. Saya bertanya kepada mereka tentang kebiasaan berbagi ini dalam kunjungan keluarga. Inilah jawaban kepala keluarga itu: “Kami memang orang sederhana, tetapi kami sadar bahwa masih ada orang lain yang lebih sederhana dari pada kami. Maka tugas kami adalah menabur sukacita kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada kami. Dan Tuhan memang sungguh baik, sebab selama masa pandemi ini, kami tidak mengalami kekurangan apapun. Bantuan tetap ada dan selalu tepat pada waktunya. Bebrbagi itu indah, penting dan harus.” Luar biasa kesaksian keluarga ini dan saya boleh mengatakan keluarga katolik hendaknya seperti ini, tidak takut manjadi miskin.

Hidup penuh dengan kepasrahan kepada penyelenggaraan ilahi apapun situasinya itu baik adanya. Satu nilai penting yang harus selalu kita miliki adalah kebajikan kerendahan hati. St. Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah kerendahan hati. Kerendahan hati itu menjadi segalanya bagi orang yang berharap kepada Tuhan. Dalam bacaan Injil Lukas hari ini, kita mendengar dua kisah yang membuka pikiran kita untuk mawas diri supaya berpasrah kepada Tuhan dan selalu rendah hati. Para murid Yesus, yang setiap hari tinggal bersama Yesus masih bertengkar di antara mereka tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Tuhan Yesus hebat, Dia mengambil sosok anak kecil untuk mengedukasi orang-orang dewasa supaya menjadi seperti anak kecil yang polos, tulus dan jujur. Anak kecil itu duduk di samping Yesus dan menunjukkan kerendahan hatinya yang besar di hadapan para murid yang sudah dewasa. Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan: “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.” (Luk 9:48).

Marilah kita memikirkan diri kita sendiri. Berapa kali dalam sehari kita menjadi pribadi yang congkak hati, memiliki nafsu berkuasa sehingga menghalalkan segala cara untuk memuaskan keinginan pribadi. Misalnya, dalam masa menjelang ‘pilkada serentak’ ini, kita menemukan gerakan-gerakan orang atau kelompok untuk memenangkan pilkada. Untuk memenangkan calon kebanggaan mereka, selalu dilakukan kecurangan-kecurangan, misalnya, mengintimidasi para lawan politik, menyebarkan hoaks dan lain sebagainya. Contoh loinnya, kita sedang berada di akhir bulan September maka media sosial dipenuhi kembali oleh kampanye tentang PKI yang sebenarnya tidak ada lagi. Semua ini karena ada nafsu besar untuk berkuasa. Orang mudah menjadi sombong dan lupa diri bahwa pemimpin adalah pelayan bukan penguasa. Mari kita memandang Yesus. Ia adalah Tuhan, namun Ia masih berlutut di depan manusia pendosa yakni para murid-Nya untuk membasuh kaki mereka. Kapan anda dan saya bisa melakukannya kepada sesama lain? Butuh kerendahan hati bukan nafsu untuk berkuasa.

Pada bagian kedua dari Injil, Lukas mengisahkan tentang Yohanes yang datang kepada Yesus dan mengatakan tentang orang lain mengusir setan dalam nama Yesus padahal bukan pengikut Yesus sehingga ia melarang mereka. Yesus mengoreksi murid-murid-Nya dengan berkata: “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.” (Luk 9:50). Yohanes dan para murid lain ternyata tidak jauh berbeda dengan kita. Pikirkanlah perkataan dan perbuatan kita terhadap orang-orang yang tidak seiman. Banyak di antara kita yang cukup sombong mengatakan tentang agama kita sebagai yang terbaik dibandingkan dengan agama lain. Bagi saya, lebih terhormat ketika kita betul-betul toleran terhadap sesama. Prinsip yang penting adalah agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Orang boleh beda agama tetapi kalau mereka menghayati nilai-nilai universal keagamaan seperti kasih, pengampunan dan lainnya.

Hidup dengan berpasrah kepada Tuhan memiliki makna yang sangat indah. Ketika kita bisa rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama, ketika kita bisa menghargai charisma sesama yang berbeda maka dunia kita akan penuh dengan keindahan dan kedamaian. Bahwa ada penderitaan dan kemalangan bukan menjadi halangan bagi kita untuk selalu berbagi sukacita dengan sesama manusia. Sosok inspirator bagi kita hari ini adalah Ayub. Ayub adalah orang saleh dan tahan banting ketika imannya diuji. Ia kehilangan segalanya tetapi tetap tabah kepada Tuhan dan tidak membuat dosa melawan Tuhan. Kata-kata Ayub yang menunjukkan kerendahan hati dan kepasrahannya kepada Tuhan adalah: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayb 1:21). Ayub memang sosok yang luar biasa.

Kapan kita bisa menjadi serupa dengan Ayub? Kelihatannya sulit bagi orang-orang tertentu karena tidak mudah berpasrah kepada Tuhan. Orang mudah mengeluh dan jatuh ke dalam dosa. Kita butuh Ayub untuk menginspirasi dan menguatkan kita semua supaya layak bagi Tuhan. Bersama Ayub kita berani berkata: “Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan.”

PJ-SDB