Homili 9 November 2020 – Pesta Pemberkatan Basilika St. Yohanes Lateran

Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran
Yeh. 47:1-2,8-9,12
Mzm. 46:2-3,5-6,8-9
1Kor. 3:9b-11,16-17
Yoh. 2:13-22

Memelihara Kekudusan Tubuh kita

Adalah St. Yohanes Paulus II. Ketika masih hidup dan menjadi Paus Yohanes Paulus II, ia sangat concern dengan nilai tubuh manusia. Dalam suatu adiensi bersama ribuan peziarah di lapangan santu Petrus, pada tanggal 20 Februari 1980, beliau mengatakan: “Sesungguhnya tubuh manusia (kita) dan hanya tubuh kitalah yang dapat menunjukkan apa yang tidak terlihat oleh mata kita yaitu hal yang bersifat rohani dan yang ilahi”. Perkataan ini mengisyaratkan bahwa tubuh manusia adalah tanda yang menghadirkan dan menjelaskan keberadaan dan kehidupan Allah sendiri. Perkataan orang kudus modern ini tentu memiliki landasan yang kuat yang kita temukan di dalam Kitab Suci. Tuhan menciptakan manusia pria dan wanita sesuai dengan wajah-Nya sendiri (Kej 1:26-27). Ini menandakan bahwa Allah hadir dalam diri manusia dan karenanya, manusia harus menghargai nilai tubuhnya di hadapan Tuhan. Bahkan pria dan wanita yang menjadi pasangan hidup ini memiliki ikatan yang menunjukkan relasi nyata Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5:21-33). Dan santu Paulus mengharapkan juga agar kita menguduskan tubuh kita. Ia berkata: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20).

Pada hari ini kita merayakan pesta Pemberkatan Gereja St. Yohanes Lateran. Basilika St. Yohanes Lateran ini dibangun pada tahun 324 oleh kaisar Konstantinus Agung, putera dari Santa Helena. Basilika ini merupakan sebuah basilik agung pertama sebagai lambang kemerdekaan dan perdamaian di dalam Gereja setelah tiga-abad lebih mengalami penganiayaandari para kaisar Romawi yang kafir. Hari ini menjadi sebuah tanda kemerdekaan dan perdamaian antara Gereja dan negara. Basilika agung ini terletak di atas bukit Goelius dan menyatu dengan istana kekaisaran, Lateran. Basilika ini diberkati dengan agung dan meriah pada tahun 324 oleh Sri Paus Silvester I (314-335). Tentu saja kita semua tidak diarahkan untuk melihat bangunan yang terbuat dari batu ini dan mengaguminya. Kita justru menunjukkan rasa bangga ini dengan hidup baik-baik sebagai orang yang dibaptis. Kita bangga karena memiliki pemimpin Gereja yang selalu menjadi gembala baik.

Saya teringat pada nabi Yesaya. Inilah nubuat Tuhan melalui nabi Yesaya: “Mereka akan Kubawa ke gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku. Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes 56:7). Nabi Yesaya tidak hanya mengarahkan kita untuk melihat rumah Tuhan sebagai rumah doa bagi segala bangsa di Yerusalem tetapi pikiran kita juga terarah pada tubuh kita sebagai tanda kehadiran Allah. Kita semua sudah dikuduskan oleh Tuhan melalui sakramen pembaptisan, sebab itu kita perlu berusaha untuk menguduskan diri kita supaya layak menjadi tempat kudus bagi Tuhan. Artinya orang melihat kehadiran Tuhan di dalam diri kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci mengarahkan kita pada pikiran yang sama. Bahwa kita merayakan pesta pemberkatan Basilika St. Yohanes Lateran sebagai kenangan akan kehadiran Allah dalam diri para gembala di dalam Gereja. Lebih dari itu, pesta ini juga mengarahkan kita pada Tubuh nyata Yesus Kristus dan juga Tubuh Mistik Kristus sendiri yatu Gereja. Gereja adalah kita sebagai pribadi yang dibaptis. Jadi pikiran kita bukan hanya tertuju pada sebuah Gedung saja yang kelihatan. Dalam bacaan pertama nabi Yehezkiel menceritakan penglihatannya tentang air yang keluar dari dalam bait Allah, dari jumlah yang sedikit dan lama kelamaan menjadi sebuah sungai yang meluap hingga laut mati. Sungai yang memberi kehidupan kepada tumbuhan dan hewan-hewan. Laut asin saja menjadi tawar sehingga hewan-hewannya hidup. Dan Yehezkiel berkata: “Pada kedua tepi sungai itu tumbuh bermacam-macam pohon buah-buahan, yang daunnya tidak layu dan buahnya tidak habis-habis; tiap bulan ada lagi buahnya yang baru, sebab pohon-pohon itu mendapat air dari tempat kudus itu. Buahnya menjadi makanan dan daunnya menjadi obat.” (Yeh 47:12).

Air yang keluar dari Bait Allah bukanlah air dalam arti yang sebenarnya. Air adalah simbol Roh Kudus, dan kita semua percaya bahwa Roh Kudus itulah yang memberi kehidupan. St. Paulus berkata: “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Rm 8:11). Roh Kudus membangkitkan Yesus Kristus, Roh Kudus menghidupkan tubuh kita yang fana, Roh Kudus yang sama laksana air yang keluar dari dalam Bait Allah sehingga air asin menjadi tawar dan memneri hidup, demikian juga pepohonan yang ada di sekitar sungai yang mengalir.

Di bagian lain St. Paulus menyadarkan kita sebagai Bait Allah yang hidup. Ia berkata: “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.” (1Kor 3:16-17). Apakah kita pernah sadar dan merasa bahwa tubuh kita adalah Bait Allah sebagaimana dikatakan Paulus? Kita sering lalai dalam menguduskan tubuh kita sebagai Bait Allah yang hidup. Kita juga sering lalai menguduskan tubuh sesama kita.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, kita menguduskan tubuh kita di hadirat Tuhan dan sesama. Kesadaran untuk menguduskannya datang dari sikap menghargai nilai tubuh kita, bahwa Allah sungguh hadir secara nyata di dalam tubuh kita. Tubuh kita itu menunjukkan Allah yang tersamar di dalamnya maka hargailah bukan nikmatilah.

Kedua, kita disadarkan untuk menguduskan rumah Tuhan. Penginjil Yohanes mengisahkan tentang Yesus yang nenguduskan Bait Allah karena orang-orang Yahudi menajiskannya. Gereja menjadi tempat berdagang. Pada saat ini Gereja juga masih menjadi tempat yang mirip supermarket. Lihat saja orang katolik yang ke Gereja. Berapa persen yang sangat menghargai Gereja sebagai rumah Tuhan? Sangat sedikit dan menyedihkan! Kita orang katolik kalah dengan teman-teman dari Gereja sebelah dan teman-teman Muslim atau agama lain yang mengenakkann pakaian terbaik ke rumah ibadahnya. Kalau Tuhan Yesus ada di dalam Gereja, Dia akan menangis melihat pengikut-Nya mengenakan pakaian seperti ke supermarket atau gowes.

Ketiga, Memang sangat ironis. Ketika membangun Gereja, kita mencari dana dan sangat cepat kita membangun gereja. Gereja lalu menjadi simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Masalahnya adalah umat-Nya yang tidak bisa menghargai kesakralan Gereja. Ada yang mencuri uang kolekte dalam kotak kolekte, ada yang matanya jelalatan disertai pikiran kotor dan lain sebagainya. Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini. Mari kita keluar dari ironi ini.

Kita bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan bagi kita untuk berubah. Semoga kita semakin mencintai Gereja dan para gembala yang membimbing kita untuk berjalan bersama menuju kepada Tuhan sang Pencipta kita.

PJ-SDB