Food For Thought: Hidup dalam kelimpahan

Hidup dalam kelimpahan

Gunung Lewotolok di Pulau Lembata, NTT barusan erupsi sehingga mengakibatkan banyak saudari dan saudara yang mengungsi ke kota Lewoleba. Hal yang menarik perhatian adalah banyak orang yang rela menjadi relawan untuk menolong saudari dan saudara yang terkena musibah ini. Masyarakat yang tidak kena dampak erupsi ini bahu membahu menolong sesama yang menderita dengan mambawa makanan lokal seperti singkong, pisang, pepaya, kelapa muda dan lainnya ke posko-posko penampungan untuk menolong. Saudari-saudara lain dari berbagai tempat di Indonesia juga menolong dengan cara mereka sendiri, bahkan mereka yang sedang dalam kesulitan sekalipun masih mau menolong. Dompet peduli korban Gunung Lewotolok pun dibuka supaya orang menunjukkan kepedulian dan kasih kepada saudari dan saudara di sana. Sesungguhnya ini adalah hal yang luar biasa. Para penyumbang masih merasa sebagai manusia yang menjadi sesama manusia bagi manusia yang lain. Ketika orang menyumbang dengan tulus hati maka ia akan hidup dalam kelimpahan.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang indah dan menarik untuk kita renungkan bersama. Banyak orang sakit mengalami hidup yang berkelimpahan rahmat karena mengalami mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus Kristus. Penginjil Matius melaporkan bahwa orang lumpuh, orang timpang, orang buta, orang bisu, dan banyak lagi yang lain mengalami hidup dalam kelimpahan karena mukjizat penyembuhan yang dibuat oleh Tuhan Yesus. Hidup yang berkelimpahan juga dialami orang-orang yang lapar. Mereka sudah mengikuti Yesus selama tiga hari, dan barusan disembuhkan Yesus. Namun mereka juga membutuhkan makanan jasmani. Tuhan Yesus menggandakan roti untuk mengingatkan mereka akan pengalaman nenek moyang mereka yang mendapat mana di padang gurun (Kel 16:4.15; Mzm 78:24-25). Namun pada saat yang sama Tuhan Yesus memuaskan mereka yang datang ke padang gurun untuk mengalami penyembuhan dan kekenyangan. Peristiwa ini menunjukkan kasih dan kerahiman Allah bagi banyak orang.

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah perasaan manusiawi yang ditunjukkan oleh para murid. Mereka berkata kepada Yesus: “Bagaimana di tempat sunyi ini kita mendapat roti untuk mengenyangkan orang banyak yang begitu besar jumlahnya?”(Mat 15:33). Tuhan Yesus memahami situasi ini dan berkata kepada mereka: “Berapa roti ada padamu?” dan mereka menjawab: “Tujuh,” dan “ada lagi beberapa ikan kecil.” (Mat 15:34). Jumlah yang mereka miliki sangatlah sedikit. Para murid juga membutuhkan makan. Tetapi Tuhan Yesus mengingatkan mereka supaya berbagi dari sedikit yang mereka miliki dari situ mereka akan hidup dalam kelimpahan. Perhatikan lanjutan laporan Penginjil Matius ini: “Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya pula kepada orang banyak. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, tujuh bakul penuh.” (Mat 15:36-37).

Sikap para murid di hadapan Yesus adalah sikap hidup kita juga. Banyak kali kita sulit berbagi karena merasa hanya sedikit saja yang kita miliki. Mungkin saja kita merasa rugi ketika berbagi. Pernakah kita memperhatikan air minun di dalam gelas? Gelas itu memang tetap penuh tetapi tidak berguna. Gelas akan berguna kalau airnya diminum dan diisikan air baru untuk diminum lagi. Maka semangat berbagi bukan memiskinkan kita tetapi membuat kita hidup dalam kelimpahan. Tuhan menambah rejeki hidup kita, dan kita membahagiakan sesama. Dalam masa adventus dan juga selama masa pandemi covid-19 ini kita berusaha untuk berbagi sehingga mengalami hidup yang berkelimpahan. Nabi Yesaya sendiri memberi jaminan bahwa pada akhirnya hidup berkelimpahan itu kita alami sendiri di surga, di mana Tuhan akan menghidangkan suatu jamuan dan menghapuskan air mata dari wajah semua orang. Ini benar-benar khabar sukacita bagi kita semua.

Tuhan memberkati kita semua.

PJ-SDB