Food For Thought: Epifani di era pandemi

Epifani di era pandemi

Natal segala bangsa, demikian sebutan lain untuk pesta penampakan Tuhan atau pesta Epifani atau pesta Tiga Raja dan menandai berakhirnya masa Natal. Perayaan Natal segala bangsa menjadi sebuah sebutan yang bagus untuk pesta penampakan Tuhan sebab Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya kepada segala bangsa yang diwakili para Majus dari Timur, yang datang untuk menyembah-Nya di Bethlehem, kota Daud. Para majus datang karena mereka melihat Bintang yang terbit di ufuk Timur. Bintang dengan cahayanya yang istimewa telah memandu ketiga Majus itu hingga tiba di Bethlehem. Mereka akhirnya menemukan Bintang Sejati, sang Terang dunia dan menyembah-Nya. Mereka membawa persembahan berupa emas, kemenyan dan mur. Ketiga Majus itu diberi nama sesuai tradisi Gereja yaitu Gaspar, Melkhior dan Baltazar.

Tiga persembahan istimewa memiliki makna yang sangat berarti dan mengafirmasi Yesus sebagai ‘sungguh Allah dan sungguh Manusia’:

Emas menunjukkan Yesus sebagai Raja atas segala raja di atas dunia. Dia seorang Raja yang senantiasa beda. Dia tidak memiliki takhta, safari dan mahkota istimewa. Dia tidak menuntut gaji yang tinggi. Takhta-Nya adalah palungan, tempat makan dan minum hewan. Nantinya takhta-Nya adalah Salib, sebuah kayu yang kasar. Dia tidak memiliki safari, hanya kain lampin tipis, dan nantinya Ia bahkan wafat di kayu salib tanpa busana. Jubahnya hanya satu bahkan menjadi rebutan para algojo. Mahkota-Nya bukan topi yang termahal, tetapi duri yang tajam. Itulah Yesus sang Raja yang menerima emas dari para Majus. Betapa bedanya sang Raja kita dan para raja kini yang gila harta hingga melakukan korupsi berjamaah.

Kemenyan menunjukkan keilahian Yesus. Dia sungguh-sungguh Anak Allah yang patut kita sembah dan muliakan. Saya selalu merasakan pengalaman luar biasa ketika mendupai altar sebelum merayakan Ekaristi. Tuhan yang tersamar hadir dalam Ekaristi, Dialah yang kita sembah dalam hidup dan ibadah kita. Pada Altar kita merasakan kasih Allah yang tiada batasnya. Altar adalah takhta pengurbanan sekaligus meja pengurbanan bagi Sang Allah yang menjadi manusia. Keharuman dupa terasa mengharumi surga di dunia ini.

Mur menunjukkan Yesus sebagai manusia. Ia juga akan wafat seperti manusia dan bangkit pada hari ketiga. Tubuh-Nya yang kudus akan diawetkan dengan mur dan rempah-rempah. Mur menunjukkan kekudusan Tubuh Tuhan Yesus yang kita terima secara nyata dalam komuni kudus. Pada sakramen Mahakudus, Allah yang tersamar hadir dengan nyata sebagai santapan rohani. Kita tidak menerima hosti tetapi Tubuh Kristus supaya kita menjadi tubuh mistik Kristus.

Ketiga persembahan para Majus ini menguatkan kita di era pandemi untuk berani berempati, berbela rasa atau berbagi dengan sesama yang sangat membutuhkan. Sama seperti Tuhan yang rela membagikan diri-Nya dalam komuni kudus, demikian kita juga diingatkan untuk berbagi dengan sesama manusia. Para majus itu tidak mengenal Yesus, hanya melihat bintang tetapi membawa persembahan yang super istimewa. Kita yang mengenal Yesus dan mengikuti-Nya dari dekat masih tidak sempurna dalam memberi kepada Yesus. Banyak kali kita terpaksa untuk berbagi dengan sesama atau untuk mencari nama dan popularitas. Banyak kali kita takut menjadi miskin sehingga tidak berbagi. Ataupun kita berbagi, kita memberikan uang yang kotor dan dilipat. Rasanya sampah untuk Tuhan. Lihat saja kotak-kotak kolekte dan isinya, penuh dengan uang ‘kodi’ kotor dan dilipat.

Natal segala bangsa memanggil kita untuk berbagi dengan murah hati sebagai tanda kepedulian kita. Tuhan memberi dengan gratis, mari kita berbagi tanpa perhitungan tetapi dengan murah hati. Kita menampakkan kasih Tuhan dengan memberi sebagai tanda kepedulian. Inilah makna Epifani di masa pandemi.

Tuhan memberkati dan selamat sore untukmu.

P. John Laba, SDB