Homili Hari Minggu Biasa ke-V/B – 2021

Hari Minggu Biasa V
Ayb. 7:1-4,6-7;
Mzm. 147:1-2,3-4,5-6;
1Kor. 9:16-19,22-23;
Mrk. 1:29-39

Masih ada pandemi dalam hidup kita

Kita sedang berada di bulan Pebruari dan perlahan-lahan kita mengucapkan selamat ulang tahun bayi Corona terkasih. Sang bayi ini sangat spesial karena berhasil membunuh umat manusia zaman ini, menghancurkan ekonomi, sosial dan politik, dan juga mengubah perilaku hidup manusia. Hanya gara-gara bayi Corona maka pemerintah pusing mengurus dan menyelamatkan warganya. Terlepas dari pengalaman kita saat ini, tentu saja ada hikma dibaliknya. Kita putus asa, protes kepada Tuhan sang pencipta tetapi pada akhirnya kita percaya juga bahwa badai pandemi ini akan berlalu. Manusia menjadi sebuah generasi yang kuat dan hebat, tahan terhadap virus yang mematikan ini. Saya teringat pada Robin McLaurin Williams. Aktor comedian Amerika Serikat ini pernah berkata: “Anda akan mengalami masa-masa sulit, tetapi itu akan selalu membangunkan Anda untuk hal-hal baik yang tidak Anda perhatikan.” Perkataan sederhana ini sangat super dan menguatkan kita semua di masa sulit akibat pandemi ini.

Pada hari Minggu Biasa ke-V/B ini, Tuhan mengingatkan kita untuk percaya bahwa Tuhan tidak pernah lupa. Tuhan tidak pernah tidur. Sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya ketika Tuhan berkata: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau. Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku.” (Yes 49:15-16). Saya selalu percaya bahwa Tuhan akan membalikkan keadaan pandemi ini menjadi sebuah keadaan penuh berkat karena Dia tidak lupa dengan kita, nama kita tetap terlukis pada telapak tangan-Nya dan Ia tetap melihat kita.

Dalam bacaan pertama kita bertemu dengan sosok Ayub. Sosok Ayub memang merupakan sosok hebat di dalam Kitab Perjanjian Lama, terutama ketika orang-orang harus bergumul dengan dirinya, penderitaan serta kemalangannya di hadirat Tuhan. Sosok Ayub mencerminkan dirinya seperti ini kepada kita: Ayub adalah sosok yang saleh di hadirat Tuhan. Dia mendoakan anak-anaknya dan melakukan kurban bagi Yahwe. Ayub adalah orang yang hidupnya berkelimpahan pada zamannya. Meskipun dia kehilangan segalanya namun pada akhirnya Ia menerima lebih dari yang ia miliki sebelumnya. Ayub itu orang yang saleh sehingga dipuji oleh Tuhan dihadapan iblis yang menggodanya. Godaan iblis kepada ayub memang sangat berat namun ia tetap percaya kepada kasih dan kemurahan Tuhan. Ia bertahan dalam deritanya meskipun sempat diolok-olok oleh istrinya dan dihakimi oleh sahabat-sahabatnya. Secara manusiawi ia memang sempat protes kepada Tuhan karena penderitaannya namun ia tetap bertekun dan tidak mempersalahkan Tuhan. Pada akhirnya kehidupan Ayub dipulihkan dan ia mengalami perubahan yang jauh lebih baik dari semula.

Gambaran kehidupan Ayub ini tercermin dalam bacaan pertama. Kita membaca: “Seperti kepada seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya, demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan. Bila aku pergi tidur, maka pikirku: Bilakah aku akan bangun? Tetapi malam merentang panjang, dan aku dicekam oleh gelisah sampai dinihari. Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada torak, dan berakhir tanpa harapan. Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas; mataku tidak akan lagi melihat yang baik.” (Ayb 7:2-4.6-7). Pengalaman Ayub adalah sebuah pandemi yangmenyerang hidupnya tetapi pada akhirnya ia mengalami kasih dan kebaikan Tuhan yang berlimpah-limpah. Hal terpenting di sini adalah kepasrahan kepada Tuhan.

Pengalaman Ayub dalam dunia Perjanjian Lama juga mirip dengan pengalaman dalam dunia perjanjian Baru. Pada masanya Tuhan Yesus, banyak orang sakit di Palestian. Ada yang kerasukan setan, buta, tuli, lumpuh, kusta, demam mati sebelah tangannya, epilepsi dan lain sebagainya. Mereka semua datang kepada Yesus dan Yesus menyembuhkan mereka. Roh-roh jahat bahkan mengungkapkan pengenalan mereka kepada Yesus. Orang-orang yang Yesus sembuhkan merasa bersyukur dan siap untuk melayani. Yesus hadir dalam kehidupan manusia yang mengalami masa pandeminya sendiri. Ia menjamah dan menyembuhkan mereka. Ia tetap berkeliling dan berbuat baik. Ia menghadirkan Kerajaan Allah dan dipenuhi-Nya dengan Kabar Sukacita.

Tuhan Yesus adalah tabib yang hebat. Ia menyembuhkan manusia secara jasmani dan rohani. Orang-orang mengalami kesembuhan secara rohani karena Injil sebagai Kabar Sukacita yang menyembuhkan rohani mereka. Kabar sukacita menjadi Injil yang hidup di dalam hati manusia. Tuhan Yesus menyembuhkan fisik orang-orang yang sakit. Penginjil Markus mengisahkan bahwa Yesus sempat berkata kepada para murid-Nya: “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.” Lalu pergilah Ia ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka dan mengusir setan-setan.” (Mrk 1:38-39). Ia tidak kenal lelah menyelamatkan jiwa dan raga manusia. Setelah menyelesaikan pekerjaan-Nya, Yesus juga mengucap syukur kepada Bapa dalam doa. Di sini kita belajar dari Yesus bahwa Dia sebagai Anak Allah juga berdoa dan bekerja. Ia menghayati ora et labora!

Apa yang harus kita lakukan?

Terinspirasi dari bacaan kedua, St. Paulus mengakui semangatnya sebagai rasul: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16). Mewartakan Injil atau menjadikan Injil sungguh-sungguh hidup adalah keharusan baginya. Ia melakukannya dalam perjalanan misionernya sebanya tiga kali. Ia dengan tegas mengatakan: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” (1Kor 9:23). Boleh dikatakan bahwa Paulus mewartakan Injil di masa pandeminya yang sulit. Penganiayaan-penganiayaan dirasakannya di mana-mana namun ia bertahan karena kasihnya kepada Kristus.

Anda dan saya juga memiliki pandemi tersendiri. Maka kita butuh Tuhan untuk mengubah seluruh hidup kita. Kita butuh Tuhan Yesus untuk menyebuhkan jiwa kita dengan Injil-Nya. Kita butuh Tuhan Yesus untuk menyembuhkan sakit dan penyakit kita. Hanya Yesus yang dapat menyembuhkan jiwa dan raga kita sampai tuntas. Terpujilah nama Tuhan Yesus, sekarang dan selamanya.

P. John Laba, SDB