Homili 3 Maret 2021 – dari Bacaan pertama

Hari Rabu Pekan II Prapaskah
Yer. 18:18-20;
Mzm. 31:5-6,14,15-16;
Mat. 20:17-28

Merenung Penderitaan Kita

Politikus dari India yakni Mahatma Gandhi (1869-1948), pernah berkata: “Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta, disitu ada kehidupan. Berbeda dengan kebencian yang membawa kepada kemusnahan.” Bagi saya kutipan perkataan Gandhi ini ‘super’ sekali. Cinta menjadi segalanya bagi manusia, dan memang benar, manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Kita semua merasakannya dalam hidup setiap hari. Kalau kita memandang wajah ibu yang melahirkan kita, kita akan mengerti bahwa cinta itu membawa penderitaan namun tidak pernah berdendam dan membalas dendam. Hanya amarah dan rasa benci yang dapat memusnahkan hidup kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita akan dua kata ini benci yang membawa kepada penderitaan dan cinta yang membawa kepada keselamatan. Sosok nabi Yeremia dan Tuhan Yesus Kristus sudah mengalaminya dan membagikan kepada kita untuk menghadapi hidup ini dengan penuh harapan kepada Tuhan. Mari kita memandang nabi Yeremia. Kalau kita membaca Kitab nabi Yeremia, kita akan menemukan hal-hal penting berikut ini: (1) Kitab nabi Yeremia merupakan kitab terpanjang kedua dalam Alkitab, berisi lebih banyak kata (bukan pasal) daripada kitab lainnya selain Mazmur. (2) Kita mendapat gambaran tentang kehidupan dan pergumulan pribadi Yeremia selaku nabi diungkapkan dengan lebih mendalam dan terinci dibandingkan nabi Perjanjian Lama lainnya. (3) Kitab ini sarat dengan kesedihan, sakit hati, dan ratapan dari “nabi peratap” itu karena pemberontakan Yehuda. Kendatipun berita Yeremia itu keras, ia menderita kesedihan dan hancur hati yang mendalam karena umat Allah; namun kesetiaannya adalah terutama kepada Allah, dan ia merasa kesedihan yang paling dalam karena hati Allah terluka. (4) Salah satu kata kunci ialah “murtad,” (dipergunakan 8 kali) dan “tidak setia” (dipakai 9 kali), dan tema yang muncul terus ialah hukuman Allah yang tidak terelakkan lagi atas pemberontakan dan kemurtadan. (5) Satu-satunya penyataan teologis yang terbesar di kitab ini ialah konsep “perjanjian baru” yang akan ditetapkan Allah dengan umat-Nya yang setia pada saat pemulihan kelak (Yer 31:31-34). (6) Syairnya mengesankan dan penuh perasaan seperti syair Alkitab lainnya, dengan kelimpahan metafora, ungkapan-ungkapan yang hidup dan bagian-bagian patut diingat. (7) Rujukan terhadap Babel di dalam nubuat Yeremia (164) lebih banyak daripada di semua bagian lain di Alkitab.

Ketujuh hal yang disebutkan di atas dapat membantu kita untuk memahami perikop kita pada hari ini. Para lawan nabi Yeremia bersekongkol dengan berkata: “Marilah kita mengadakan persepakatan terhadap Yeremia, sebab imam tidak akan kehabisan pengajaran, orang bijaksana tidak akan kehabisan nasihat dan nabi tidak akan kehabisan firman. Marilah kita memukul dia dengan bahasanya sendiri dan jangan memperhatikan setiap perkataannya!” (Yer 18:18). Nabi Yeremia sangat vocal dalam memperjuangkan kebaikan dan keadilan Tuhan. Tentu saja tujuannya adalah kebaikan tetapi tidak diapresiasi oleh orang-orang saat itu. Maka terjadilah persekongkolan untuk mengambil nyawa Yeremia. Tentu saja ia mengalami penderitaan. Orang yang berbuat baik pasti mengalami banyak penderitaan.

Dalam situasi menderita, Yeremia tetap menggantungkan seluruh harapannya kepada Tuhan. Ia berkata: “Perhatikanlah aku, ya Tuhan, dan dengarkanlah suara pengaduanku! Akan dibalaskah kebaikan dengan kejahatan? Namun mereka telah menggali pelubang untuk aku! Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu, dan telah berbicara membela mereka, supaya amarah-Mu disurutkan dari mereka.” (Yer 18:19-20). Yeremia tetap berharap kepada Tuhan bahkan ia masih memohon kepada Tuhan supaya menampuni mereka. Apakah kita dapat menjadi serupa dengan Yeremia? Apakah di saat kita mengalami penderitaan dan kemalangan, kita masih berharap kepada Tuhan? Apakah kita masih sempat memohon supaya Tuhan mengampuni dosa dan salah yang orang lakukan kepada kita? Yeremia mengajar kita dengan hidupnya sendiri bukan kata-kata saja.

Dalam bacaan Injil, kita berjumpa dengan sosok Yesus yang memberitahukan untuk ketiga kalinya penderitaan-Nya. Ini adalah pemberitahuan-Nya yang ketiga maka Ia memanggil para murid untuk menyepi sebentar, lalu Ia berkata kepada mereka secara terus terang: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” (Mat 20:18-19). Yesus menderita karena kita orang berdosa.

Kita juga memiliki banyak penderitaan dalam merajut hidup bersama. Di dalam keluarga sendiri kita juga mengalami penderitaan. Para orang tua menderita demi anak-anak atau sebaliknya. Pengalaman-pengalaman ini mengedukasi kita untuk menjadi matang dalam menghadapi kenyataan hidup kita. Tuhan saja menderita maka kita seharusnya tidak perlu takut. Ia akan tetap menjaga dan melindungi kita. Masa prapaskah menjadi saat penting untuk berbenah diri supaya menjadi lebih dekat lagi dengan Tuhan.

PJ-SDB