Food For Thought: Hidup ini sudah jadi berkat!

Hidup ini sudah jadi berkat

Saya mengisi hari Minggu pertama Prapaskah 6 Maret 2022 dengan sebuah pelayanan khusus sebagai seorang imam di Rumah Sakit. Pada hari Mingu siang, saya ditelpon oleh seorang sahabat saya di Tokyo namanya Ronny. Ia memperkenalkan saya dengan teman sekolahnya bernama Nancy supaya bisa mendoakan dan memberikan sakramen perminyakan kepada keluarganya di Rumah Sakit Siloam Semanggi atau yang dikenal dengan nama MRCCC Siloam Hospitals Semanggi. Keluarga yang sedang sakit bernama ibu Santje Lumi Bolang. Ia sedang bergumul di saat-saat akhir hidupnya. Saya menjumpainya di ruangan UGD dan melayaninya di di hadapan suami dan anaknya Michelle. Saya mendoakannya, memberikan sakramen perminyakan dan viaticum atau komuni sebagai bekal terakhir kepadanya. Setelah saya selesai mendoakannya, saya meninggalkan mereka menuju ke Pantai Indah Kapuk (PIK) untuk merayakan misa mengenang seratus hari Ibu Ana Susy sesuai jadwal saya.

Perjalanan dari Siloam ke PIK melewati toll dalam kota di Slipi. Saya membayangkan perjumpaan yang singkat bersama sebuah keluarga yang baru saja saya kenal. Sang bapa menceritakan bahwa bu Santje mengalami kanker payu dara dan sudah dioperasi dua tahun silam. Kini ada dampak lanjutan karena ternyata sel-sel kanker sudah menyebar ke paru-paru sehingga saturasinya menurun. Bapa juga bercerita bahwa ibu Santje berasal dari keluarga katolik di Manado. Konon keluarganyalah yang menyumbang tanah untuk pembangunan gereja dan fasilitasnya di Pineleng. Saya hanya mengangguk karena belum pernah pergi ke Manado. Anak perempuannya Michelle adalah seorang dokter. Dia menjelaskan kepada saya kondisi maminya sebelum saya memberikan minyak suci.

Sambil memikirkan semua peristiwa singkat itu saya membayangkan betapa ibu Santje bergumul untuk bertahan dalam sakit dan penderitaannya hingga saat akhir hidupnya. Ia kelihatan sudah berpasrah kepada Tuhan dan tercermin juga dalam diri anak dan suaminya. Tapi satu hal yang membuat saya terdorong untuk menulis renungan ini adalah keluarganya mau mengundang pastor untuk memberikan sakramen perminyakan dan viaticum. Santo Yakobus berkata: “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” (Yak 5:14). Dan saya melakukannya kepada ibu Santje. Beliau adalah salah satu yang unik bersama orang-orang pilihan yang memiliki kesempatan untuk menerima sakramen perminyakan dan viaticum. Saya sendiri sebagai seorang pastor, apakah pada saat saya meninggal, ada kesempatan untuk menerima sakramen perminyakan dan viaticum? Ini yang sempat terlintas dalam pikiranku.

Usai merayakan misa mengenang seratus hari ibu Ana Susy, Nancy mengirim pesan singkat kepada saya: “Romo John, ibu Santje sudah dipangil Tuhan. Saya sedang menuju ke Rumah Sakit untuk ikut mengurus keberangkatan jenasahnya ke Manado.” Tadi pagi jam 10, jenasah ibu Santje diterbangkan ke Manado. Rasanya singkat sekali cerita ini. Tetapi yang tetap saya kagumi adalah ibu Santje bertahan dalam sakitnya, bergumul melawannya tetapi Tuhan Sang pemberi kehidupan mengatakan, “Tugas perutusannya di atas dunia sudah dianggap cukup.” Ibu Santje berjuang hingga garis akhir dan memperoleh kemenangan dengan sakramen perminyakan dan viaticum. Yah, benar perkataan santo Yakobus: “Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yak 4:14). Hidup hanya seperti asap yang menghilang dalam waktu singkat.

Pengalaman yang indah di hari Minggu Pertama Praspaskah dalam pelayanan saya sebagai imam yang sangat mengesankan. Selamat jalan ibu Santje, saya hanya mengenalmu di saat akhir hidumu, tetapi tetap saya kenang sebagai ‘orang langka’ dalam pelayananku sebagai imam. Ini penggalan lagu yang baik untuk kita renungkan bersama: “Hidup ini adalah kesempatan”: Hidup ini adalah kesempatan, Hidup ini untuk melayani Tuhan. Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri, hidup ini hanya sementara… Oh Tuhan, pakailah hidupku, selagi aku masih kuat. Suatu saat aku tak berdaya, hidup ini sudah jadi berkat.” Mari kita berusaha supaya hidup kita ini benar-benar menjadi berkat bagi semua orang.

P. John Laba, SDB