Homili 4 Mei 2022 – dari bacaan pertama

Hari Rabu, Pekan Paskah III
Kis. 8:1b-8

Memaknai sebuah penderitaan

Bagi orang yang memiliki kebiasaan meminum anggur, mereka pasti selalu memiliki komentar-komentar tertentu tentang air anggur dan kualitasnya. Misalnya mereka berkomentar tentang kualitas air anggur berdasarkan tahun pembuatannya, asal negara pembuat anggur, rasa air anggur dan manfaatnya bagi hidup manusia. Namun apakah orang pernah memperbincangkan tentang proses pembuatan air anggur dari pemetikan buahnya hingga air anggur itu diisi di dalam botolnya? Mungkin sangat jarang orang memperbincangkannya dan kalau pun diperbincangkan, sangat hanya terbatas pada peminat-peminat khusus saja atau orang yang ingin tahunya besar saja.

Pada zaman dahulu orang mengumpulkan buah-buah anggur dari daerah pegunungan. Mereka membawanya ke tempat pemerasan buah anggur. Biasanya berupa dua lubang besar yang dibuat dari batu kapur, yang dihubungkan oleh saluran kecil. Wadah yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya. Saat anggur dihancurkan di wadah yang lebih tinggi, sarinya mengalir ke wadah yang lebih rendah. Buah anggur itu harus dihancurkan sampai tinggal ampasnya saja, dan ampas itu dibuang sedangkan sari anggurnya akan diproses lebih lanjut hingga menjadi minuman anggur. Kita melihat bahwa buah anggur itu rela diperas dan diperas dan ampasnya dibuang, tetapi sarinya dipertahankan dan diproses lebih lanjut menjadi air anggur. Buah anggur merelakan sarinya, jati diri terdalamnya sedangkan ampasnya dibuang. Sungguh sebuah penderitaan dan pengurbanan yang membuat manusia yang meminum anggur merasa puas dan ada yang mabuk.

Tidak ada sebuah kebahagiaan yang dicapai tanpa penderitaan dan pengorbanan hidup. Seorang ibu rela mengalami operasi sesar. Operasi sesar atau bedah sesar atau disebut juga dengan seksio sesarea merupakan proses persalinan dengan melalui pembedahan di mana irisan dilakukan di perut ibu dan rahim untuk mengeluarkan bayi. Sang ibu tentu mengalami kesakitan yang luar biasa tetapi akan nampak senyum manisnya ketika melihat bayi di sampingnya sehat dan membayangkan tumbuh kembangnya yang membahagiakan. Semua rahasia tentang penderitaan seorang ibu hanya dirasakan dan dialami oleh ibu itu. Anak sendiri mungkin tidak sempat membayangkan pengurbanan ibunya.

Pada hari ini kita mendengar kisah yang menarik tentang Diakon Stefanus, sang martir pertama. Dia terpilih sebagai salah seorang diakon yang bertugas untuk melayani jemaat gereja perdana. Ketika dihadapan Mahkamah Agama Yahudi, ia bersaksi: “Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu. Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan tentang kedatangan Orang Benar, yang sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh. Kamu telah menerima hukum Taurat yang disampaikan oleh malaikat-malaikat, akan tetapi kamu tidak menurutinya.” (Kis 7:51-53). Perkataan ini menimbulkan amarah yang luar biasa di pihak mereka kepada Stefanus.

Sosok santo Stefanus digambarkan sebagai pribadi yang penuh dengan Roh Kudus. Dalam situasi yang sulit sekalipun ia masih mengandalkan Tuhan. Batu demi batu dilemparkan kepadanya. Dia lalu menyerahkan nyawanya kepada Tuhan: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” Dia pun masih mengampuni para algojunya dengan berkata: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Roh Kudus sungguh bekerja di dalam diri Stefanus sehingga dia mengandalkan Tuhan dan mengampuni sesama yang bersalah. Sikap Stefanus haruslah menjadi bagian di dalam hidup kita.

Tertulianus adalah seorang bapa Gereja. Ia pernah berkata: “Il sangue (dei martiri) è il seme dei cristiani.” (Darah para martir adalah benih yang baik bagi iman Kristiani). Perkataan ini sangat tepat karena Gereja tetap berdiri kokoh karena ada darah para martir. Yesus adalah seorang martir agung yang menumpahkan darahnya di atas kayu salib. Para rasul adalah para martir yang menjadi pilar bagi kekuatan gereja. Stefanus adalah martir pertama yang mengalami penganiayaan hingga wafat karena kasihnya kepada Kristus. Sejak kemartirannya ini maka mengalirlah darah-darah segar di Yerusalem karena pengaruh besar dari Saulus sehingga para murid Yesus mulai berdiaspora. Saulus benar-benar sosok yang kejam dan menakutkan jemaat perdana di Yerusalem.

Para murid Yesus mulai bergerak ke diaspora untuk mewartakan Injil. Salah seorang rekan Stefanus Bernama Filipus pergi ke Samaria untuk memberitakan Mesias kepada orang-orang Samaria. Ia mengajar dan melakukan tanda-tanda yang menggugah hati orang-orang Samaria untuk percaya kepada Kristus. Lukas menceritakan begini: “Sebab dari banyak orang yang kerasukan roh jahat keluarlah roh-roh itu sambil berseru dengan suara keras, dan banyak juga orang lumpuh dan orang timpang yang disembuhkan. Maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu.” (Kis 8:7-8).

Sekali lagi satu hal yang penting di sini adalah para murid Yesus menunjukkan kesetiaan, pengorbanan dirinya dengan tulus hati untuk mewartakan Injil dari Yerusalem sampai ke diaspora. Mereka tidak takut dengan penderitaan, mereka justru menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami sangatlah bermakna. Semuanya karena kasih yang total kepada Kristus, sang Roti Hidup. Kasih Kristus sudah menyelamatkan dan memberikan hidup abadi maka jawaban yang diberikan kepada Kristus adalah kasih yang total. Tentu saja butuh iman yang kuat kepada Kristus.

P. John Laba, SDB