Homili 13 Juli 2022

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XV
Yes. 10:5-7,13-16
Mzm. 94:5-6,7-8,9-10,14-15
Mat. 11:25-27

Hati penuh syukur

Saya selalu mengingat sebuah pertanyaan untuk memeriksa bathin sebelum mengakhiri hari yang perlahan dilewati: Apakah saya memiliki hati penuh syukur atas segala pengalaman hidup sepanjang hari ini? Banyak kali saya melakukan pemeriksaaan bathin dengan pertanyaan acuan ini dan jawabannya adalah tidak semua hari hidupku itu saya lewati dengan hati penuh syukur kepada Tuhan. Meskipun saya sendiri merayakan sakramen Ekaristi, sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus merupakan sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Pertanyaan lainnya adalah berapa kali kita berani mengucapkan kata terima kasih kepada sesama yang berbuat baik kepada kita? Kadang-kadang kita menerima pelayanan atau perbuatan tertentu dan semuanya berlalu begitu saja. Kadang-kadang para suami tidak mengucapkan terima kasih kepada istrinya yang memasak makanan yang enak untuk keluarga, tetapi kepada istri orang atau pemasak di restoran mendapat pujian berkali-kali. Para istri melihat rekening tabungan membengkak setiap tanggal 25 dalam bulan sampai tanggal 5 di awal bulan yang baru tetapi tidak sempat mengucapkan terima kasih karena gajian sudah ditransfer semuanya ke rekening. Begitulah hidup kita yang sering lupa akan kata syukur dan terima kasih.

Saya teringat pada Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM), seorang Negarawan dan penulis berkebangsaan Romawi Kuno Beliau pernah berkata: “Hati yang penuh syukur bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari segala kebajikan yang lain.” Perkataan ini kiranya membangunkan kita dari tidur dan lupa akan hati yang penuh syukur. Hati penush syukur kepada Tuhan adalah sebuah kebajikan yang terbesar dan menjadi induk dari segala kebajikan yang lain. Hati penuh syukur kiranya sejalan dengan kebajikan kerendahan hati yang perlu kita miliki di dalam hidup setiap hari. Hati penuh syukur membuka pintu kebahagiaan bagi kita semua. Denis Waitley, seorang motivator berkebangsaan Amerika mengatakan: “Kebahagiaan adalah pengalaman spiritual dari menikmati setiap detik kehidupan kita dengan penuh rasa cinta, rasa syukur dan terima kasih serta pengabdian kepada Tuhan yang menciptakan kita.”

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok Yesus yang luar biasa. Penginjil Matius menceritakan bahwa Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya sungguh Allah dan sungguh manusia yang bersyukur kepada Bapa di surga. Ia memuji dan memuliakan Bapa di surga dengan hati penuh syukur. Maka Ia menengadah ke langit, mengangkat hati dan pikiran-Nya untuk bersatu dengan Bapa sambil berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” (Mat 11:25-26). Yesus sebagai Anak Allah saja memiliki hati penuh syukur kepada Bapa yang disebut-Nya Tuhan atas langit dan bumi yang diciptakan-Nya. Alasan Tuhan Yesus bersyukur kepada Bapa diungkapkan seperti ini: Segala sesuatu Bapa sembunyikan kepada orang bijak dan orang pandai tetapi Bapa menyatakan-Nya kepada orang kecil. Inilah yang berkenan kepada Bapa.

Tuhan Yesus mengarahkan hati dan pikiran-Nya kepada Bapa dengan hati penuh syukur sebagai seorang anak. Sama seperti di Getzemani (Mrk 14:36), Ia menyapa Allah sebagai Abba, Bapa penuh kasih. Bagi Yesus, Bapa yang adalah Pencipta segala sesuatu. Dialah yang memiliki rencana keselamatan dan menjadi Tuhan atas langit dan bumi. Allah yang berkuasa atas langit dan bumi ini layaklah dipuji dan disembah. Allah Bapa yang satu dan sama itu menyembunyikan segala sesuatu kepada oraang pandai tetapi menunjukkan kepada orang kecil. Siapakah orang bijak yang dimaksudkan Yesus? Mereka adalah para pemimpin Yahudi, para Ahli Taurat dan kaum Farisi yang selalu berpikir bahwa mereka bijak, hebat dibandingkan dengan orang lain. Dan siapakah orang-orang kecil? Mereka adalah para rasul dan kaum miskin (anawim), kaum pinggiran yang mengalami penolakan dari kaum Farisi karena dianggap tidak mengenal Torah. Bapa mengasihi orang kecil karena mereka memiliki hati yang terbuka untuk menerima keselamatan yang diberikan-Nya kepada mereka. Bahkan Tuhan Yesus sendiri menyatakan diri sebagai ‘Yang lemah lembut dan rendah hati’ (Mat 11:29).

Selanjutnya Tuhan Yesus berkata: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:27). Tuhan Yesus tidak hanya memperkenalkan Bapa sebagai tujuan syukur kita, Dia sebagai Allah Putera memiliki persekutuan yang begitu erat. Yesus sendiri berkata ‘Aku dan Bapa adalah satu’ (Yoh 10:30). Ada ikatan kasih dalam Roh yang tidak dipisahkan. Bapa sendiri menyerahkan segalanya kepada-Nya. Segala kuasa ada di tangan Yesus sebagai Anak. Yesus menjadi Raja atas segala raja. Kita mengingat perkataan Yesus ini: “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yoh 6:37-40). Yesus menjadi pemimpin kita kepada kehidupan kekal.

Mari kita memiliki hati penuh syukur dan rendah hati di hadirat Tuhan. Kesombongan hati tidak layak di mata dan hati Tuhan. Kita mengingat kecongkakan Kerajaan Samaria yang berakhir dengan kehancuran mereka di tangan bangsa Asyur. Perkataan ini mengingatkan kita untuk menjadi pribadi yang rendah hati: “Adakah kapak memegahkan diri terhadap orang yang memakainya, atau gergaji membesarkan diri terhadap orang yang mempergunakannya? seolah-olah gada menggerakkan orang yang mengangkatnya, dan seolah-olah tongkat mengangkat orangnya yang bukan kayu! Sebab itu Tuhan, Tuhan semesta alam, akan membuat orang-orangnya yang tegap menjadi kurus kering, dan segala kekayaannya akan dibakar habis, dengan api yang menyala-nyala.” (Yes 10:15-16).

P. John Laba, SDB