Homili 14 Januari 2023 – Berani Meninggalkan

Hari Sabtu, Pekan Biasa I
Ibr 4:12-16
Mzm 19:8.9.10.15
Mrk 2:13-17

Berani melepaskan

Kisah Yesus dalam Injil Markus berlanjut. Kali ini Dia pergi lagi ke pantai Danau Galilea. Semua orang yang melihat-Nya langsung datang kepada-Nya. Mereka sudah mendengar dan mengalami sendiri kahadiran Yesus yang mengajar dengan kuasa dan wibawa tidak seperti para ahli Taurat. Mereka juga melihat sendiri tanda-tanda yang dilakukan Yesus di depan mata mereka. Tentu semua ini sangat menakjubkan, lagi pula merupakan hal yang baru. Kita mengingat beberapa ekspresi mereka: “Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahatpun diperintah-Nya dan mereka taat kepada-Nya.” (Mrk 1:27). Ketika semua orang datang kepada Yesus, Ia tetap terbuka, menerima mereka apa adanya. Ia sendiri mengajar mereka dengan kuasa dan wibawa.

Yesus tidak hanya mengajar dan membuat tanda-tanda heran. Ia juga membutuhkan kerja sama dengan manusia untuk meneruskan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan Bapa kepada-Nya. Sebab itu Ia memanggil murid-murid-Nya. Simon, Andreas, Yohanes dan Yakobus sudah dipanggil untuk menjadi penjala manusia. Mereka telah berani meninggalkan segalanya: orang tua, pekerjaan, hal-hal yang menyenangkan untuk mengikuti Yesus. Kini Yesus tetap bergerak menyusur pantai Danau Galilea dan menemukan sosok lain yaitu Lewi anak Alfeus. Pekerjaannya adalah sebagai pemungut cukai. Sebab itu dia juga duduk di rumah cukai. Begitu melihatnya, Yesus memanggilnya: “Ikutlah Aku!” Lewi sang pemungut cukai itu tidak banyak berbicara. Ia bangun, meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti Yesus.

Pemungut cukai dikenal juga dengan sebutan lain ‘publicanus’. Ini adalah sebuah profesi dimana mereka mengumpulkan pajak-pajak dari masyarakat Yahudi kemudian diserahkan kepada pemerintah Romawi di Palestina. Pemungut cukai atau petugas pajak ini menjadi objek kebencian kaum Yahudi saat itu. Mengapa mereka dibenci saat itu? Karena pajak yang ditarik saat itu merupakan beban bagi rakyat kecil, dna tentu sangat memberatkan mereka. Pemungut cukai menarik pajak untuk pemerintahan Romawi yang sebetulnya menjadi musuh rakyat saat itu. Para pemungut cukai menggunakan cara yang kejam dan menyengsarakan rakyat, juga tidak berlaku adil. Hal-hal yang disebutkan di atas menjadi alasan mengapa para pemungut cukai dinyatakan setara dengan kaum pendosa. Kita mengenal dua sosok penting dalam Kitab Suci yaitu Lewi dan Zakheus. Kedua orang ini membuat revolusi mental dengan berani meninggalkan segalanya dan hanya berpasrah kepada Tuhan saja.

Apa yang dilakukan Lewi setelah mendapat panggilan yang luhur dari Tuhan Yesus? Dia bersyukur kepada Tuhan yang memanggilnya. Rasa syukur ditunjukkan dengan menyiapkan perjamuan bersama Tuhan. Dia pun menjamu Yesus dan para murid-Nya. Hadir dalam perjamuan ini, para pemungut cukai dan kaum pendosa. Tentu saja peristiwa ini membuat kaum Farisi mencari cela untuk melawan Yesus. Mereka bahkan bertanya kepada para murid Yesus: “Mengapa Gurumu makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa? Tuhan Yesus mendengar pertanyaan ini dan ia pun berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib melainkan orang sakit yang memerlukannya. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melakinkan orang berdosa.”

Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?

Pertama, kita berusaha untuk selalu fokus pada Tuhan Yesus Kristus apa pun situasinya dan bagaimana cara ia memanggil kita. Dia yang selalu memiliki inisiatif pertama dalam memanggil kita sesuai situasi hidup kita yang nyata. Untuk itu sikap batin yang harus dibentuk adalah terbuka kepada Tuhan dan berani meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus.

Kedua, Kekuatan Sabda Tuhan yang dapat mengubah seluruh hidup kita. Kita membacanya pagi ini: “Saudara-saudari, Sabda Allah itu hidup dan kuat, lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun.” (Ibr 4:11). Sabda Allah mengoreks hidup kita untuk semakin sepadan dengan-Nya dalam segala hal.

Ketiga, Penulis surat kepada umat Ibrani mengajak kita untuk hidup sesuai dengan keteladanan Tuhan Yesus Kristus sang Imam Agung kita. Seorang imam Agung yang berempati dengan orang-orang kecil, menderita dan tersingkirkan.

Keempat, kita berani meninggalkan hidup yang lama dan menerima hidup baru. Ini merupakan ajakan yang indah untuk kita semua: “Marilah kita menghampiri takhta kerahiman Allah dengan penuh keberanian.” Berani meninggalkan hal-halk duniawi dan maju menerima kasih karunia Allah.

Pada hari ini kita semua mendapat kekuatan baru untuk bertumbuh sebagai murid-murid Yesus yang berani untuk meninggalkan segalanya. Kita meninggalkan segalanya tetapi akan menerima seratus kali lipat.

P. John Laba, SDB