Homili 16 Januari 2023

Hari Senin, Pekan Biasa ke-II
Ibr. 5:1-10
Mzm. 110:1,2,3,4
Mrk. 2:18-22

Suka cita bersama Tuhan

Setiap pagi saya selalu mendapat kiriman ayat-ayat Kitab Suci dari seorang sahabat di WAG. Pagi ini saya mendapat sebuah ayat Kitab Suci yang sangat inspiratif, bunyinya: “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.” (Mzm 16:11). Mazmur 16 atau mengikuti penomoran dalam Kitab Septuaginta adalah Mazmur 15 dikenal dengan nama Mikhtam dari raja Daud. Kata Mihktam berarti Mazmur Emas. Maksud dari Mazmur Emas adalah suatu nyanyian doa untuk kemurnian jiwa dari dosa. Pemberian judul dalam terjemahan Bahasa Indonesia: “Bahagia orang saleh”. Hal yang menarik perhatian saya adalah Raja Daud mengatakan kepada Tuhan bahwa Tuhanlah yang menunjukkan jalan kehidupan. Dan bahwa hanya di hadirat Tuhan saja ada sukacita dan di tangan kanan ada nikmat senantiasa. Tangan kanan Tuhan menunjukkan kuasa Tuhan yang tiada bandingnya bagi manusia. Kalimat doa yang penting bagi saya adalah bahwa di hadapan Tuhan selalu ada sukacita yang berlimpah-limpah.

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang indah. Dikisahkan bahwa pada waktu itu para murid Yohanes Pembaptis dan kaum Farisi sedang berpuasa sedangkan para murid Yesus tidak melakukan puasa. Kata puasa menjadi kata yang penting di sini. Perhatikanlah bahwa di dalam Kitab Perjanjian Lama khususnya di dalam Kitab Imamat, kita mengenal sebuah hari penting bangsa yahudi yakni Hari Pendamaian, Hari Penebusan atau Yom Kippur (Imamat 23:27-28). Yom Kippur (יום כיפור yom kippūr) adalah hari yang dianggap paling suci dalam agama Yahudi. Ini merupakan hari raya bangsa Israel yang bernuansa paling khidmat di antara hari raya lainnya, yang berlangsung setiap tahun pada hari kesepuluh Tishri, bulan ketujuh dalam kalender Ibrani. Yom Kippur adalah perayaan paling khidmat dilakukan puasa selama 25 jam, dihitung dari terbenamnya matahari sampai hari berikutnya. Pada hari itu, imam besar akan melakukan ritual untuk melakukan penebusan bagi dosa bangsa itu. Ritual penebusan yang digambarkan dalam Imamat 16:1-34 dimulai oleh Harun, atau imam besar Israel lainnya, yang memasuki Ruang Paling Kudus.

Dengan memahami makna Yom Kippur ini kita bisa mengerti bahwa berpuasa itu adalah suatu hal yang suci dan luhur dalam agama Yahudi. Namun amat mengherankan ketikan para murid Yesus ternyata tidak berpuasa. Mereka semua adalah orang yang masih berpegang teguh pada adat istiadat Yahudi, namun ketika mulai mengikuti Yesus mereka berubah. Ini tentu mengherankan banyak orang yang berada di luar komunitas Yesus. Maka wajarlah ada orang yang bertanya kepada Yesus: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Reaksi Yesus atas pertanyaan ini membingungkan sang penanya: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mrk 2:19-20).

Perkataan Yesus ini membuka wawasan kita untuk mengerti hubungan antara Tuhan Yesus dan Gereja-Nya yang diwakili oleh para murid-Nya. Tuhan Yesus menyatakan diri sebagai mempelai dan Gereja sebagai sahabat-sahabat sang mempelai. Ketika Tuhan Yesus masih berada di tengah-tengah para murid-Nya maka mereka harus memiliki sukacita. Bersama Yesus ada sukacita yang abadi. Para murid Yesus sebagai gambaran Gereja akan berpuasa ketika Yesus diambil dari tengah-tengah mereka untuk memulai paskah-Nya. Di saat seperti itulah para murid mulai berpuasa. Kita kembali kepada makna puasa di hari Yom Kippur. Ini adalah hari istimewa karena umat Yahudi mengalami rekonsiliasi dengan Tuhan. Peristiwa ini menyadarkan kita sebagai oengikut Kristus saat ini bahwa setiap kali kita berekonsiliasi dengan Tuhan dalam sakramen tobat, kita juga mengalami sukacita yang indah bersama Tuhan.

Tuhan Yesus datang untuk membaharui segala sesuatu (Why 21:5). Dengan perintah kasih, Dia membaharui kita semua di dalam diri-Nya. Dia juga yang mendamaikan kita dengan Bapa. Santo Paulus menulis: “Sebab Kristus sendiri adalah damai sejahtera kita yang telah membuat kedua belah pihak menjadi satu dan yang telah menghancurkan tembok permusuhan yang memisahkan.” (Ef 2:14). Yesuslah yang memulihkan hubungan kita dengan Bapa dengan perintah kasih sebagai perintah baru. Dengan demikian perumpamaan tentang kain yang belum susut tidak bisa ditambal pada baju yang tua karena kain penambal akan mencabik baju yang tua dan koyakannya makin besar. Anggur baru tidak bisa diisi di dalam kantong yang tua karena ketika berfermentasi akan mengoyakan kantong anggur yang sudah tua. Anggur baru hanya cocok dengan kantong yang baru sebagai wadah penyimpanannya.

Bacaan injil mengahdirkan sosok Yesus sebagai mempelai dan kitalah sahabat-sahabat mempelai yang bersukacita bersama-Nya. Bersama Tuhan Yesus selalu ada sukacita, sebuah sukacita yang berlimpah (Mzm 16:11). Tuhan Yesus membawa perintah baru yang hanya bisa membaharui orang-orang yang siap untuk diperbaharui. Orang-orang yang merasa diri status quo tidak akan merasa dan membutuhkan pembaharuan. Yesuslah yang berencana untuk membaharui hidup kita.

Apa yang dapat kita pelajari dari Yesus dan semangat pembaharuan-Nya? Perhatikan perkataan penulis surat kepada umat Ibrani dalam bacaan pertama: “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.” (Ibr 5:7-10). Ketaatan dan pengurbanan Yesus membaharui hidup kita dan memberi sukacita yang besar bagi kita.

P. John Laba, SDB