Homili 9 Maret 2023

Hari Kamis Pekan II Prapaskah
Yer 17:5-10
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 16:19-31

Mengandalkan Tuhan

Masa Prapaskah merupakan sebuah Retret Agung untuk mendekatkan kita dengan Tuhan. Kita hidup dan semakin berharap kepada Tuhan. Dengan berharap kepada Tuhan berarti kita mengandalkan kasih dan kuasa Tuhan bukan mengandalkan diri kita sendiri. Santo Yohanes dari Salib pernah berkata: “Hiduplah dalam iman dan pengharapan, sekalipun anda berada di dalam kegelapan, karena di dalam kegelapan Allah melindungi jiwamu. Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada Allah, karena kamu adalah milik-Nya dan Dia tidak akan melupakanmu. Janganlah berpikir bahwa Dia akan meninggalkan Anda sendirian, karena itu berarti menduakan Dia.” Ketika kita mengalami masalah kehidupan, kita mudah kehilangan harapan dan mengandalkan diri kita sendiri. Kita lupa sebagai milik Tuhan dan bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita sendirian.

Sabda Tuhan pada hari ini sangat meneguhkan kita semua. Nabi Yeremia membangun rasa optimisme bagi kita semua dengan berkata: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” (Yer 17:7). Orang yang memiliki harapan besar kepada Tuhan akan mengandalkan dan menaruh seluruh harapannya kepada Tuhan. Nabi Yeremia mengatakan: “Orang seperti ini akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. Orang yang menjauh dari Tuhan tentu akan lebih mengandalkan dirinya sendiri.” (Yer 17:8). Dengan sikap seperti ini, nabi Yeremia mengatakan: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (Yer 17:15). Orang yang mengandalkan dirinya sendiri akan merendahkan Tuhan. Sebab itu, “ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk”. (Yes 17:6).

Mari kita melihat diri kita di hadirat Tuhan. Apakah kita memiliki kemampuan untuk mengandalkan Tuhan dengan berbuat baik kepada sesama di dalam hidup kita? Apakah kita selalu menaruh harapan hanya kepada Tuhan? Nabi Yeremia mengatakan: “Tuhan, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.” (Yer 17:10). Perkatan Tuhan melalui nabi Yeremia mengingatkan saya pada perkataan Raja Daud di dalam Kitab Mazmur: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm 139:23-24). Tuhan mengetahui hidup kita secara total dan kita perlu berpasrah dan tunduk kepada-Nya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah Lazarus miskin yang seluruh hidupnya penuh dengan derita dan menaruh harapannya kepada Tuhan. Nama Lazarus dalam Bahasa Ibrani yakni אלעזר, Elʿāzār (Eleazar) yang berarti “Allah telah menolong”. Dikisahkan di dalam Injil bahwa ada seorang kaya tanpa nama yang hidup dalam kelimpahan namun tidak berempati dengan orang miskin yang disapa sebagai Lazarus. Ciri khas Lazarus adalah ‘badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.’ (Luk 16:20-21). Lihatlah seorang miskin yang hidup di hadapan orang kaya yang pelit. Kita yang membaca perikop Injil ini merasa sedih karena ada orang kaya ini tidak memiliki hati nurani dan empati dengan kaum miskin.

Lazarus memang miskin harta namun kaya akan kasih Allah. Dari namanya, berarti Allah telah menolongnya. Di mata manusia dia memang miskin tetapi di mata Allah, dia begitu kaya dan mulia. Ia miskin tetapi mengandalkan Tuhan sepanjang hidupnya. Itu sebabnya pada akhir hidupnya dia langsung bahagia di pangkuan Abraham karena diantar oleh para malaikat. Sementara akhir hidup orang kaya sangat tragis. Dia mengalami penderitaan kekal di api neraka. Mengapa orang kaya ini pada akhirnya mengalami hidup tragis di dalam api yang menyala-nyala? Karena dia tidak melakukan perbuatan kasih kepada sesama, dia juga menutup hatinya pada Tuhan dan Sabda-Nya. Dia lebih mengandalkan dirinya sendiri.

Masa Prapaskah merupakan kesempatan bagi kita untuk mengandalkan Tuhan dan melakukan perbuatan kasih dan kebaikan kepada sesama. Di dalam hidup kita, kita selalu bertemu dengan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Ada yang tanpa nurani menertawakan dan menyengsarakan mereka. Hanya orang yang merasa diri sebagai manusia akan berempati dengan mereka. Mari kita mengandalkan Tuhan, dan berusaha untuk semakin mengasihi, semakin terlibat dan semakin bersaksi.

P. John Laba,SDB