Homili 11 Maret 2023

Hari Sabtu Pekan II Prapaskah.
Mi. 7:14-15,18-20
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12
Luk. 15:1-3.11-32

Bapa yang berbelas kasih

Apakah anda juga memiliki wajah belas kasih Allah dalam hidumu? Tentu saja ini merupakan sebuah pertanyaan umum bagi kita semua dalam usaha untuk hidup berdampingan dengan sesama yang lain dan dalam relasi dengan Tuhan. Belas kasih merupakan sebuah kerelaan hati untuk membantu siapapun yang membutuhkan pengampunan atau rekonsiliasi. Belas kasih atau kerahiman Tuhan adalah sebuah pengalaman kasih. Paus Fransiskus pernah mengatakan begini: “Tidaklah mudah untuk mempercayakan diri pada belas kasihan Tuhan, karena itu serupa dengan jurang yang tidak dapat kita pahami. Tapi kita harus berusaha! … “Oh, saya adalah seorang pendosa besar!” “Semua lebih baik! Datanglah kepada Yesus: Dia mau kamu menceritakan hal-hal ini kepadaNya!” Dia siap untuk melupakan, Dia memiliki kemampuan yang sangat istimewa untuk melupakan. Dia lupa, Dia menciummu, Dia memelukmu dan Dia hanya berkata kepadamu: “Aku tidak menghukum engkau, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi” (Yoh. 8:11).

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah untuk tentang Bapa yang berbelas kasih di dalam Injil. Ada seorang Bapa yang memiliki dua orang putera dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Sang Bapa sangat pengertian dengan mereka karena ia mengenal dan mengasihi mereka berdua. Pada suatu kesempatan sang anak bungsu tanpa nama meminta warisannya karena dia ingin hidup bebas jauh dari bapanya, saudara dan keluarganya. Bapa yang baik ini memanggil kedua anaknya dan membagi warisan itu secara adil tiga bagian masing-masing untuk mereka bertiga. Selanjutnya, anak bungsu meninggalkan rumah, ke sebuah tempat yang jauh dan berfoya-foya hingga menghabiskan semua warisannya. Setelah semua harta warisannya habis, ia jatuh melarat seiring dengan malapetaka yang menimpa daerah di mana dia berada. Dalam situasi melarat, ia kembali kepada keyakinan bahwa bapanya adalah orang baik. Dia pasti akan menaruh belas kasihan kepadanya. Ia pun kembali ke rumah sambil menyesal karena telah bersalah melawan surga dan bapanya. Ia bahkan rela melepaskan status sebagai anak menjadi seorang upahan.

Reaksi dari Bapanya adalah dialah yang pertama melihat anak bungsunya kembali ke rumah. Dia menaruh belas kasihan dengan berlari menghampiri anaknya yang dianggapnya sudah mati dan hidup kembali. Dia memeluk dan mencium anaknya. Dia menaruh belas kasih dan pengampunan berlimpah kepada anaknya itu. Bahkan ia mengikat kembali relasi yang terputus dengan anaknya melalui simbol-simbol yang terungkap disini: “Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita.” (Luk 15:22-23). Seorang bapa yang berusaha untuk melupakan kesalahan anaknya sendiri.

Lalu bagaimana dengan anaknya yang sulung? Anak sulung adalah sosok pribadi yang tidak tahu diri dan tidak menghendaki orang lain berubah menjadi baik, bahkan saudaranya sendiri. Dia sangat marah dengan adiknya dan bapanya sendiri. Ia mengeluh dan bersungut-sungut. Dia lalu memilih berada di luar rumah dan tidak mau mengampuni dan berbahagia bersama adiknya. Padahal selama berada di rumah dia menikmati warisan kepunyaan ayahnya sedangkan miliknya itu hanya menjadi tontonan bahwa dia memang memiliki harta dan kekayaan yang banyak. Bapanya berkata: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk 15:31-32).

Dari bacaan Injil ini kita berjumpa dengan tiga sosok yang sedang ada di dalam diri kita. Sosok Bapa yang suka mengampuni, berbelas kasih dan tidak menghitung-hitung kesalahan anak-anaknya. Sosok anak bungsu yang mencintai kebebasan sampai bablas tetapi dia menyadari kesalahannya dan datang kembali dengan penyesalan dan pertobatan. Sosok anak sulung yang berada di zona nyaman, parasite sampai melupakan kasih dan kebaikan bapanya sendiri. Dia juga tidak menyukai pertobatan saudaranya sendiri. Ketiga sosok ini ada di dalam diri kita. Ada yang dominan, ada yang kurang dominan tetapi benar-benar ada di dalam diri kita.

Pada Hari Minggu Kerahiman ilahi, 7 April 2013, Paus Fransiskus memberikan sebuah homili yang bagus tentang Bapa yang berbelas kasih. Inilah sebagian kecil petikan homilinya: “Saya selalu selalu tersentuh ketika membaca kembali perumpamaan tentang Bapa yang penuh belas kasihan. … Bapa, dengan kesabaran, kasih, pengharapan dan belas kasihan, tidak pernah sedetik pun berhenti memikirkan putranya yang bandel, dan segera setelah ia melihat putranya masih jauh, ia berlari keluar untuk menemuinya dan memeluknya dengan kelembutan, kelembutan Allah, tanpa sepatah katapun yang mencela. … Allah juga selalu menanti kita, Dia tidak pernah lelah. Yesus menunjukkan kepada kita kesabaran Allah yang penuh belas kasihan ini sehingga kita dapat memperoleh kembali kepercayaan diri dan pengharapan – selalu!”

Homili Paus Fransiskus ini turut membantu kita untuk memandang sosok Allah sebagai Bapa yang Maharahim kepada semua orang. Dia menunjukkan wajah kerahiman-Nya kepada semua orang melalui Yesus Kristus Putera-Nya. Dia berbagi kepada kita tanpa membuat perhitungan apapun. Dia menerima kembali siapa saja di antara kita yang tahu diri sebagai orang berdosa dan mau bertobat dan kembali kepada-Nya (anak bungsu). Dia juga mendorong anak-anak yang lupa dan menutup diri kepada kerahiman-Nya supaya ikut berbagi kerahiman dengan orang lain (anak sulung). Dalam kisah Injil ini, Bapa selalu menjadi pemenangnya, karena Dialah yang kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. (Mi 7:19).

Masa Prapaskah adalah sebuah kesempatan dan peluang untuk berbenah diri dengan melakukan pertobatan yang radikal. Apa yang harus kita lakukan? Kita setia berpuasa, berdoa dan beramal kasih. Ini adalah jalan pertobatan yang sempurna. Mari kita belajar untuk selalu berbuat baik dan berbelas kasih seperti Bapa, menyadari dosa dan salah kita untuk bertobat seperti si bungsu dan sedapat mungkin menjauhi sikap si sulung yang tidak bersyukur atas kebaikan Bapa dan pertobatan saudaranya.

P. John Laba, SDB