Homili 14 Maret 2023

Hari Selasa Pekan III Prapaskah
Dan. 3:25,34-43
Mzm. 25:4b-5b,6-7c,8-9
Mat. 18:21-35

Memandang Yesus tersalib

Apakah anda mau memiliki semangat untuk mengampuni? Mengampuni itu bisa menjadi indah dalam hidup ini, ketika kita berani mengangkat mata dan memandang Salib Kristus. Mengapa demikian? Karena Tuhan Yesus tersalib adalah teladan pengampunan yang benar. Dia adalah tanda pengampunan Bapa tanpa batas kepada umat manusia. Dia sendiri mengampuni para algojo yang menyakiti-Nya. Dia mengampuni dosa dan salah kita. Dia adalah damai kita dengan Bapa. (Ef 2:14).

Saya mengingat sebuah perkataan Santo Filipus Neri yang sangat menginspirasi kita: “Jika seseorang merasa sangat sulit untuk mengampuni luka-luka, hendaklah ia melihat Salib, dan berpikir bahwa Kristus telah mencurahkan seluruh darah-Nya baginya, dan tidak hanya mengampuni musuh-musuh-Nya, tetapi bahkan berdoa kepada Bapa-Nya di surga untuk mengampuni mereka juga. Biarlah ia ingat bahwa ketika ia mengucapkan doa Bapa Kami, setiap hari, alih-alih memohon pengampunan atas dosa-dosanya, ia justru sedang meminta pembalasan atas dirinya sendiri.” Kita belajar untuk menjadi pribadi yang mampu mengampuni dari Tuhan Yesus sendiri. Dia menderita, maut berada di depan-Nya tetapi Dia masih meluangkan waktu untuk mengampuni tanpa batas.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar bagaimana Santo Petrus datang kepada Yesus seraya bertanya tentang banyaknya pengampunan yang bisa diberikan kepada seorang saudara yang bersalah kepadanya. Apakah hanya sampai tujuh kali? Tuhan Yesus menjawabnya bahwa bukan hanya tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Lihatlah, manusia masih terbiasa menghitung jumlah pengampunannya sedangkan Tuhan tidak biasa menghitungnya. Manusia bersikap demikian sehingga masih mengalami kesulitan untuk mengampuni sesamanya. Kalau saja manusia menggunakan ukuran dari Tuhan yakni mengampuni tanpa batas maka tidak ada seorang pun yang mengalami kesulitan untuk mengampuni saudaranya. Santa Theresia dari Kalkuta mengatakan: “Apapun agama kita, kita tahu bahwa jika kita benar-benar ingin mengasihi, kita harus terlebih dahulu belajar untuk mengampuni sebelum yang lainnya.”

Tuhan Yesus memberi contoh tentang seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Ada seorang hamba yang memiliki hutang begitu banyak yakni sepuluh ribu talenta. Dia memohon pengampunan dan bisa diampuni oleh sang raja. Namun orang ini tidak mampu mengampuni sesama yang berutang kepadanya seratus dinar. Sang raja berbelas kasih kepada hamba yang hutangnya besar tetapi hamba itu sendiri tidak bisa menghapus utang sesama, dia malah menghukumnya. Kisah ini mirip dengan kita yang selalu memohon pengampunan dari Tuhan dan Tuhan mengampuni kita, tetapi kita sendiri tidak mampun atau tidak bersedia mengampuni sesama kita.

Masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar mengasihi dan mengampuni tanpa batas seperti Tuhan mengampuni kita. Mari kita memandang Kristus tersalib dan belajar mengampuni. Percumalah kita mengaku dosa kalau kita belum sepenuh hati mau mengampuni sesama. Kita memohon pengampunan dari Tuhan tetapi kita sendiri belum berniat untuk mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Mindset kita harus berubah.

Pada hari ini kita belajar dari Tuhan Yesus yang walaupun dalam keadaan menderita sekalipun masih memiliki kesempatan untuk mengampuni manusia dan kelemahannya. Kita belajar dari Azarya yang sedang berada di ambang maut yakni di tengah tanur api tetapi masih menunjukkan imannya yang besar kepada Tuhan. Sebagian doa dari Azarya ini sangat menguatkan kita semua: “Kini kami mengikuti Engkau dengan segenap jiwa dan dengan takut kepadaMu, dan wajahMu kami cari. Janganlah kami Kaupermalukan, melainkan perlakukankanlah kami sesuai dengan kemurahanMu dan menurut besarnya belas kasihanMu. Lepaskanlah kami sesuai dengan perbuatanMu yang ajaib, dan nyatakanlah kemuliaan namaMu, ya Tuhan.” (Dan 3:41-43).

Kita semua tentu mengalami kesulitan dalam hidup. Ada penderitaan dan kemalangan. Ada kematian yang kita alami. Kalau saja kita memiliki iman yang kuat maka dalam situasi apapun kita bisa keluar dengan hati yang damai. Kita memiliki Tuhan yang suka mengampuni dan tidak menghitung-hitung kesalahan kita. Mengakhiri homily ini, saya meminjam santo Agustinus yang mengatakan: “Pengampunan adalah pengampunan dosa. Karena dengan inilah apa yang telah hilang dan ditemukan, diselamatkan agar tidak hilang lagi.”

P. John Laba, SDB