Homili Hari Selasa Pekan Suci 2023

HARI SELASA DALAM PEKAN SUCI
Yes. 49:1-6
Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6b,15,17
Yoh. 13:21-33,36-38

Simon Petrus, Yudas Iskariot dan Kita

Kita berada di hari Selasa Pekan Suci. Ada dua kata yang menghiasi bacaan Injil hari ini yakni kata ‘sangkal’ dan kata ‘khianat’. Kata yang pertama adalah kata sangkal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sangkal berarti bantah; tidak membenarkan. Sosok yang akrab dengan kata sangkal adalah Simon Petrus. Penginjil Yohanes menceritakan janji setia Petrus untuk mengikuti Yesus seperti ini: “Simon Petrus berkata kepada Yesus: “Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” Jawab Yesus: “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.” Kata Petrus kepada-Nya: “Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh 13:36-37). Tentu saja janji setia Simon Petrus kepada Yesus itu baik. Namun Yesus mengetahui siapakah Petrus itu sebenarnya. Maka Yesus berkata kepada Simon: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Yoh 13:38).

Simon Petrus menyangakal Yesus tiga kali. Namun ia menangis setelah menyadari bahwa ia telah menyangkal Yesus. Penginjil Markus bersaksi: “Dan pada saat itu berkokoklah ayam untuk kedua kalinya. Maka teringatlah Petrus, bahwa Yesus telah berkata kepadanya: “Sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Lalu menangislah ia tersedu-sedu.” (Mrk 14:72). Simon Petrus menyangkal Yesus tiga kali, namun dia juga nantinya akan membaharui janji kasih-Nya kepada Yesus. Sebanyak tiga kali dia juga mengatakan bahwa ia mengasihi Yesus lebih dari pada teman-temannya yang lain (Yoh. 21: 15-17). Dan Tuhan Yesus sendiri menguatkannya dengan berkata: “Ikutlah Aku.” (Yoh 21:22). Simon Petrus tetap menjadi wadas bagi Gereja Kristus.

Kata kedua adalah kata khianat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khianat berarti suatu perbuatan tidak setia; tipu daya; perbuatan yang bertentangan dengan janji. Dengan menyebut kata khianat, pikiran kita langsung tertuju pada sosok salah seorang murid Yesus di dalam Injil yakni Yudas Iskariot. Ia mendapat julukan ‘pengkhianat’ karena mengkhianati Yesus sang Gurunya (Mat 10:4). Nama Yudas berarti pujian. Yudas Iskariot sendiri berasal dari Keriot, sebuah kota yang terletak 15 mil di selatan Hebron, Israel. Kata Ibrani Ishkeriyyoth, untuk Iskariot berarti “orang yang berasal dari desa Keriyyoth.” Yudas Iskariot adalah seorang murid pilihan Yesus Kristus. Yesus sangat mempercayainya, sehingga ia diangkat menjadi bendahara komuntas rasuli. Ayahnya bernama Simon. Yudas Iskariot tidak hanya melakukan perjalanan bersama Yesus, ia juga belajar di bawah bimbingan-Nya selama tiga tahun. Ia bukan hanya seorang murid pilihan, ia seorang pewarta Injil, penyembuh orang sakit dan pengusir setan.

Apa yang menjadi titik kelemahan Yudas Iskariot? Ia selalu mencuri uang dari kas mereka untuk keperluan pribadinya. Penginjil Yohanes bersaksi bahwa Yudas Iskariot “adalah seorang pencuri, dan ketika ia memegang kantong uang, ia mengambil apa yang ada di dalamnya” (Yoh 12:6). Yudas menjual Yesus sang Gurunya dengan harga 30 keping perak kepada para imam kepala Yahudi. Yudas melakukan ini karena dua hal yakni keserakahan pribadi dan motivasi politik. Maksud motivasi politik adalah para imam kepala dan para pemimpin Yahudi tidak mau memiliki persaingan dengan Yesus. Ini benar-benar merupakan sebuah perbuatan tak bercela. Meskipun Yudas Iskariot berusaha untuk membatalkan perbuatan yang telah ia lakukan setelah pengkhianatannya, ia tidak pernah memohon ampun dari Tuhan. Ia berpikir bahwa sudah terlambat baginya dan ia mengakhiri hidupnya. Ia membunuh diri dengan cara menggantung diri.

Kisah akhir hidup Yudas Iskariot dapat kita baca dalam Injil Matius: “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Tetapi jawab mereka: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!” Maka iapun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri.” (Mat. 27: 3-5). Santo Lukas dalam Kisah Para Rasul bersaksi: “Yudas ini telah membeli sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah ke luar.” (Kis 1: 18). Inilah akhir hidup Yudas yang tragis.

Apakah Yudas dan Petrus di kasihi oleh Yesus? Ya, tentu saja Yesus sangat mengasihi mereka. Yesus memang mengasihi mereka dan mengoreksi perbuatan mereka. Hanya saja kesadaran dan pemahaman mereka akan koreksi dari Yesus itu berbeda satu sama lain. Tuhan Yesus menyentil Yudas Iskariot: “Celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” (Mat 26: 24). Perkataan Yesus ini turut menggambarkan akhir hidup Yudas Iskariot. Kepada Simon Petrus Yesus berkata: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:23). Perkataan keras dari Yesus bukan berarti Yesus tidak mengasihi mereka.

Yudas Iskariot dan Petrus adalah kita. Kita pun mengakui diri kita dengan bangga sebagai pengikut Kristus namun sikap sebagai pengkhianat dan penyangkal selalu ada di dalam diri kita. Dalam sehari saja kita mengkhianati Yesus berkali-kali. Misalnya, orang boleh mengakui dosa-dosanya namun selalu jatuh ke dalam dosa yang sama. Dalam berelasi dengan sesama manusia, sikap menjadi pengkhianat selalu ada, bahkan berkhianat kepada orang-orang yang kita kasihi. Kita juga menyangkal Yesus berkali-kali. Berapa kali kita dengan terus terang mengakui Yesus sebagai Tuhan kita. Kita minder untuk membuat Tanda Salib di tempat umum. Kita seharusnya bersikap sebagai orang katolik yang terbaik di dunia kerja dalam usaha membangun kesejahteraan bersama. Kita perlu keluar dari zona pengkhianat dan penyangkal ke dalam sebuah bentuk hidup baru. Kita memohon supaya Tuhan menjadikan kita sebagai hamba yang setia kepada-Nya.

P. John Laba, SDB