Homili 14 November 2023

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXXII
Keb. 2:23-3:9
Mzm. 34:2-3,16-17,18-19
Luk. 17:7-10

Manusia begitu bernilai

Salah satu warisan pengetahuan yang penting dari Yohanes Paulus II adalah Theology of Body (TOB) atau Teologi Tubuh. Dalam pengajarannya ini, beliau menekankan bahwa tubuh adalah bagian integral dari martabat manusia karena tubuh adalah bagian integral dari pribadi; tubuh mengungkapkan pribadi manusia itu sendiri. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa pribadi manusia adalah sebuah tubuh, dan tidak hanya memiliki tubuh, “Manusia, yang dibentuk dengan cara demikian, adalah milik dunia yang kelihatan; ia adalah tubuh di antara tubuh-tubuh.” (TOB, 152). Kita adalah manusia yang bertubuh, roh-roh yang diwujudkan, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang adalah Kasih. Perkataan Yohanes Paulus II ini menjadi refleksi mendalam dari ajaran Kitab Suci yakni bahwa manusia diciptakan Allah sesuai dengan wajah-Nya sendiri.

Manusia begitu bernilai karena merupakan mahkota dari segala ciptaan Tuhan. Manusia tidak hanya diciptakan sebagai penutup dari segala ciptaan yang baik adanya, tetapi lebih dari itu manusia diciptakan menurut wajah dan rupa Allah. Kita Kebijaksanaan menambahkan: “Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya sendiri.” (Keb 2:23). Di sini muncuk dua hal yang penting yakni pertama, manusia begitu bernilai karena diciptakan atau dijadikan sesuai dengan gambar hakekat-Nya sendiri dan kedua, manusia juga diberikan kebakaan atau keabadian. Di dalam Kitab Mazmur kita membaca tentang betapa bernilainya manusia: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mzm 8: 5-6).

Orang benar selalu mulia di mata Tuhan bahkan tidak ada siksaan bagi mereka. Orang benar adalah orang kudus yang hidup dan berada di sekitar kita. Dikatakan juga: “Kalaupun mereka disiksa menurut pandangan manusia, namun harapan mereka penuh kebakaan” (Keb 3:4). Bahwa mereka mengalami siksaan tertentu itu adalah hal yang biasa karena mereka sendiri akan menerima anugerah besar dari Tuhan. Mereka sendiri akan bercahaya pada hari penghakiman. Perlu kita ketahui bahwa di dalam kitab Amsal dan Kitab Pengkhotbah, terminologi “orang benar” digunakan sebanyak lima kali untuk menggambarkan seseorang yang setia kepada Tuhan, memiliki kehidupan ibadah yang kuat, dan menjadi orang tua yang baik. Pertanyaan bagi kita adalah apakah kita dapat menjadi orang benar? Apakah kita dapat mengisi hari-hari kehidupan ini sebagai orang benar?

Orang benar yang mengalami kebakaan itu hidup di dunia yang nyata. Mereka menunjukkan diri mereka sebagai hamba dan pelayan tulen dalam hidup bersama. Mereka tidak bersuara karena semangat pengabdian atau dedikasi mereka sangatlah bernilai di mata Tuhan. Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah yang diumpamakan Yesus. Ada hamba yang bekerja di ladang, kembali ke rumah majikannya akan melayani tuannya: menyiapkan makanan dan minuman, melayani sampai tuntas dan setelah semuanya beres maka ia sendiri akan melayani dirinya sendiri. Apakah majikannya berterima kasih kepada hambanya? Hampir pasti majikannya tidak berterima kasih. Majikan merasa bahwa memang itulah tugas seorang pelayan atau hamba. Bahkan prinsip yang paling penting adalah: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:30).

Perkataan Tuhan Yesus mengingatkan kita pada perkataan Tuhan Yesus di bagian lainnya: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:26-27). Lihatlah bahwa orang yang ingin menjadi besar haruslah menjadi pelayan, orang yang terkemuka menjadi hamba. Hal ini yang selalu dilupakan oleh banyak orang. Orang hanya pingin berkuasa tetapi lupa bahkan lalai dalam melayani dan menjadi hamba.

Saya mengakhiri homili dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus ini: “Kita semua dipanggil berdasarkan panggilan Kristiani kita untuk melakukan pelayanan yang benar-benar melayani, dan untuk membantu satu sama lain agar tidak tergoda oleh “pelayanan” yang benar-benar “melayani diri sendiri”. Kita semua diminta, bahkan didesak, oleh Yesus untuk saling memperhatikan satu sama lain berdasarkan kasih. Tanpa melihat ke satu sisi atau sisi lain untuk melihat apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh sesama kita. Yesus berkata: “Barangsiapa yang mau menjadi yang terdahulu di antara kamu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dan pelayan bagi semuanya”. Orang itu akan menjadi yang pertama. Yesus tidak berkata: jika sesamamu ingin menjadi yang pertama, biarlah ia menjadi pelayan! Kita harus berhati-hati untuk menghindari pandangan yang menghakimi dan memperbaharui keyakinan kita pada pandangan yang mengubahkan yang diundang oleh Yesus.”

Tuhan menyapa kita untuk menjadi diri kita sendiri. Tubuh kita bernilai karena langsung berhubungan dengan pribadi kita sendiri. Dan bahwa kita semakin bernilai karena mengabdi dan melayani sesama manusia di dalam Tuhan.

P. John Laba, SDB