Renungan 15 Januari 2013

Hari Selasa, Pekan Biasa I

Ibr 2:5-12
Mzm 8:2a.5.6-7.8-9
Mrk 1:21b-28
Yesus sebagai saudaramu!
Ada seorang sopir yang berhenti di “lampu merah”. Seorang pengemis mengetuk-ngetuk pintu mobil sambil mengulurkan tangannya meminta uang. Sopir yang baik hati itu menurunkan kaca jendelanya, menyapa pengemis itu, “Saudaraku, saya hanyalah seorang sopir dan hari ini saya belum punya rejeki untukmu”. Pengemis itu berkata kepadanya, “Terima kasih om sopir”. Sopir berkata, “Saya tidak memberimu sesuatu tetapi mengapa engkau harus berterima kasih?” Pengemis itu berkata, “Karena tadi anda menyapa saya saudara”. Sebuah dialog yang sederhana tetapi sangat manusiawi. Pikirkanlah berapa kali kita marah atau kesal dengan para pengemis di “lampu merah” atau di tengah kemacetan jalan raya? Berapa kali kita memberi lima ratus rupiah atau seribu rupiah sambil marah atau mengeluarkan kata kotor terhadapnya atau membuang uang dan membiarkan si pengemis itu memungutnya di atas tanah?
Tuhan Yesus dalam kotbahNya tentang akhir zaman, Ia menegaskan bahwa kita semua akan diadili bukan berdasarkan berapa perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Ia justru akan mengadili kita berdasarkan perbuatan-perbuatan kasih yang pernah kita lakukan bagi saudara-saudari yang malang an paling hina: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Yesus memiliki perhatian yang istimewa kepada orang-orang yang miskin dan menderita. Ia adalah Anak Allah, sungguh menjadi saudara bagi manusia!
Penginjil Markus hari ini mengisahkan bagaimana Yesus menjadi saudara bagi banyak orang yang sakit. Di dalam rumah ibadat di Kapernaun, Ia menunjukkan diriNya sebagai Maestro atau Guru yang mengajar dengan kuasa dan juga sebagai Liberatore atau pembebas yang menyelamatkan manusia dari kuasa roh jahat. Roh jahat saja mengakui kuasa Yesus orang Nazaret (secara manusiawi) dan Yang Kudus dari Allah (keilahian Yesus). Semua orang yang menyaksikan mukjizat penyembuhan dan mendengar pengajaranNya merasa takjub dan memujiNya. Sikap Yesus yang solider dengan kaum penderita ini adalah hal yang positif dan inspiratif bagi kita. Ia meski pun Anak Allah rela merendahkan diri menjadi sama seperti kita kecuali dalam hal dosa, bahkan lebih dari itu menjadi seorang hamba bagi manusia yang berdosa untuk mengajar dan membebaskan dari segala kejahatan.
Penulis surat kepada umat Ibrani menegaskan bahwa Allah Bapa telah menyerahkan segala sesuatu ke dalam tangan Yesus sebagai satu-satunya Mesias kita. Dengan kuasa mutlak dari Bapa, Anak menjadi manusia dan Pengantara Bapa dengan manusia. Dialah Yesus (Ibr 2:9) yang menjadi satu dengan kita serta menjadi saudara kita (Ibr 2:11). Dia menunjukkan solidaritas Allah yang mutlak dengan manusia. Bagaimana wujud solidaritas Allah bagi manusia? Dalam Mazmur 8:6-7 yang dikutip surat kepada umat Ibrani tertulis, “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Atau apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun untuk waktu yang singkat Engkau telah membuatnya hampir setara dengan Allah dan memahkotai dia dengan kemuliaan dan semarak, segala-galanya telah Kautundukkan di bawah kakinya”.
Namun demikian sebelum segalanya takluk di bawah kakiNya, Yesus terlebih dahulu direndahkan sedikit di bawah malaikat-malaikat, tetapi oleh derita kematianNya Ia telah dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Atas kasih karunia Allah Yesus mengalami maut bagi semua orang. Allah Bapa menyempurnakan dan memuliakan Yesus PuteraNya. Maka baik Dia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan berasal dari Yang Satu. Ini menjadi dasar yang kuat bagaimana solidaritas Allah dalam diri Yesus menyatukan semua manusia denganNya sebagai saudara. Yesus sendiri berkata, “Kamu adalah sahabat-sahabatKu”. Menjadi sahabat bisa berati menjadi saudara!
Sabda Tuhan hari ini sungguh menggembirakan kita. Allah begitu solider dan empati dengan manusia sehingga rela menjadi manusia dalam diri Yesus, rela menderita, wafat dan bangkit sehingga dimuliakan Bapa di Surga. Dia menjadi saudara dengan kita. Tuhan saja bersaudara dengan kita, mengapa kita tidak mampu menjadi saudara bagi sesama? Yesus menjadi saudara bagi orang yang sakit dan menderita, mengapa kita belum menjadi saudara dengan mereka? Mengapa sulit membuka mata terhadap penderitaan sesama? Apakah lebih mudah  dan enak tertawa di atas penderitaan sesama daripada mengulurkan tangan dan menolong. Mari kita belajar dari Yesus, saudara kita se Bapa dan mengubah diri kita di hadiratNya.
Doa: Tuhan, semoga hari ini kami menjadi sama saudara. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply