Homili 6 Oktober 2014

Hari Senin, Pekan Biasa XXVII
Gal 1:6-12
Mzm 111: 1-2.7-8.9.10c
Luk 10:25-37

Mendambakan belas kasih Tuhan

Fr. JohnBeberapa hari yang lalu saya mengunjungi seorang sahabat yang sakit. Ketika masih muda ia memiliki fisik yang besar dan kuat tetapi belakangan ini ia mengalami sakit sehingga badannya kurus. Ketika melihat saya, ia menangis terharu dan mengatakan kepadaku bahwa ia membutuhkan belas kasih Tuhan. Saya bertanya apa maksudnya dan ia mengatakan niatnya untuk mengaku dosa. Setelah selesai pengakuan dosa ia mengatakan rasa syukurnya karena kerahiman dari Tuhan yang dirasakannya melalui sakramen tobat. Ia juga meminta saya untuk mendoakan sahabat-sahabatnya supaya dapat merasakan belas kasih Tuhan juga. Satu permintaannya lagi adalah supaya ia bisa berdamai dengan musuh-musuhnya. Saya kembali ke rumah dengan hati yang penuh sukacita karena sahabat ini sebelumnya jauh dari Tuhan, tetapi kini mau dekat dan merasakan kasih dan kerahiman Tuhan.

Pengalaman sederhana ini mengatakan banyak hal kepada kita. Kita semua merasa diteguhkan karena belas kasihan Tuhan itu universal. Kita semua mau memilikinya dan membagikan kepada semua orang tanpa memandang orang itu ada dipihak kita atau musuh-musuh kita. Berita tentang belas kasih dan kerahiman Tuhan ini merupakan khabar sukacita yang Tuhan bagikan kepada setiap orang.

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik. Tuhan Yesus memberi perumpamaan yang tentang orang Samaria yang baik hati. Dikisahkan bahwa ada seorang ahli Taurat yang mencobai Yesus. Ia mula-mula bertanya kepada Yesus, syarat untuk memperoleh hidup kekal. Yesus mengingatkannya tentang hukum kasih, dalam hal ini kasih kepada Tuhan dan sesama sebagaimana dikatakan dalam kitab Taurat (Ul 6:5 dan Im 19:18). Isi ringkasnya adalah mengasihi Tuhan dengan seluruh totalitas hidup dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Tentu saja ahli Taurat ini mengerti dengan baik Taurat maka ia kembali bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku?”

Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan ahli Taurat ini. Ia membuat sebuah kisah yang menarik. Pada saat itu orang-orang Yahudi dan Samaria masih bermusuhan karena warisan masa lalu. Konon ada seorang Yahudi mengalami nasib sial dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yeriko. Jarak Yerusalem ke Yerikho sekitar 46 km melewati padang yang menakutkan. Di pertengahan jalan ia dirampok habis-habisan bahkan dipukul hingga babak belur. Pada waktu itu ada seorang imam yang turun dari Yerusalem melewati jalan itu dengan keledainya tetapi tetap melewatinya begitu saja. Orang Lewi juga sama dengan imam. Mengapa kedua orang yang setiap hari melayani Tuhan di bait suci tidak menolong? Karena mereka berpegang pada perintah Taurat untuk tidak menyentuh jenasah atau orang yang berdarah-darah. Itu najis! Ada juga seorang Samaria yang melewati jalan itu. Ia berhenti dan melayani orang sekarat itu, membawanya ke penginapan bahkan berjanji untuk menambah biaya kalau memang diperlukan.

Setelah menyelesaikan kisah ini, Yesus bertanya kepada ahli Taurat itu, siapa yang menjadi sesama? Ahli Taurat itu menjawab, sesama adalah ia yang memiliki rasa belas kasih kepada sesamanya. Yesus berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.” (Luk 10:37). Saya teringat pada Martin Luther King yang pernah berkata: “Cinta kasih tidak hanya dipuaskan dengan menghibur mereka yang menderita. Pertama-tama kita harus menjadi seperti orang Samaria yang baik hati kepada mereka yang telah jatuh sepanjang jalan. Tetapi ini barulah permulaannya. Di kemudian hari kita haruslah menyadari bahwa jalan ke Yerikho haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga laki-laki dan perempuan janganlah terus menerus dipukuli, dirampok, diperkosa ketika mereka sedang melewati lorong-lorong kehidupan mereka.”

Kisah injil ini juga menarik perhatian kita karena Yesus membantu kita untuk melihat para pemimpin agama atau yang mengklaim dirinya dekat dengan Tuhan ternyata tidak mampu mengasihi. Orang-orang Yahudi sendiri merasa bahawa sesama adalah warga bangsa Israel, mereka yang memiliki ikatan daging dan darah dan merasa bermartabat karena sama-sama memiliki iman kepada yahwe. Orang Samaria dipandang sebelah mata karena dianggap bidaah oleh orang-orang Yahudi ternyata memiliki rasa belas kasih yang besar. Dialah yang menjadi sesama yang tepat. Dialah gambaran kehadiran Yesus sendiri yang mengasihi kita semua tanpa batasnya.

Kisah orang Samaria yang menjadi sesama ini merupakan sebuah Injil atau sebuah warta sukacita. Injil atau warta sukacita itu berasal dari Allah sendiri bukan berasal dari kata-kata manusia. Orang-orang Galatia pernah merasa khawatir karena sedang diadu domba oleh berita bahwa ada Injil lain selain Injil Yesus Kristus. Paulus menegaskan bahwa hanya ada satu Injil yang diwartakannya dan Injil itu berasal dari Kristus dan dari Allah sendiri. Injil inilah yang menguatkan kita menjadi sesama manusia. Jadilah pribadi yang memiliki rasa belas kasih seperti Tuhan.

Doa: Tuhan, ajarilah kami untuk memiliki rasa belas kasih kepada sesama. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply