Homili 19 Februari 2015

Hari Kamis, Setelah Rabu Abu
Ul. 30:15-20
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 9:22-25.

Mendengarkan Suara Tuhan!

Fr. JohnAda seorang sahabat membagi pengalaman kebersamaan dalam keluarganya. Dari banyak pengalaman, ia tetap mengingat kebiasaan baik dari orang tuanya yang memberi pesan-pesan tertentu kepadanya. Ibunya selalu mengingatkannya supaya banyak mendengar, sedikit berbicara. Pada saat ini ia menyadari bahwa rumusan ini mujarab dalam keluarganya. Ia bersyukur karena Tuhan sudah memberinya dua telinga supaya ia lebih banyak mendengar dan semakin banyak ia mendengar, ia mematuhi dan mengasihi. Dia sudah mencobanya dalam keluarganya saat ini, di mana ia banyak mendengar dan mengasihi keluarganya. Ini adalah sebuah sharing sederhana yang mungkin dirasakan oleh banyak orang. Pengalaman ini bisa kita wujudkan dalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.

Hari ini kita memasuki hari kedua dalam masa prapaskah. Tuhan menyadarkan kita supaya dalam masa prapaskah ini kita memiliki kemampuan untuk mendengar suaraNya. Dalam Kitab Ulangan, kita mendengar nasihat-nasihat Musa kepada bani Israel supaya dalam ziarah hidupnya ke tanah terjanji mereka selalu berjalan di dalam jalan Tuhan. Musa mengerti rencana Tuhan. Ia menjelaskannya kepada bani Israel bahwa di hadapan mereka pasti ada kehidupan, keberuntungan, kematian dan kecelakaan. Semua ini adalah pengalaman-pengalaman manusiawi yang selalu hadir dalam kehidupan setiap pribadi. Pengalaman-pengalaman ini menjadi berguna dalam hidup bani Israel kalau mereka berani untuk mengasihi Tuhan, mengikuti jalan dan perintah-perintahNya. Hanya dengan demikian mereka bisa bertambah banyak dan mendapat berkat di tanah yang sudah Tuhan janjikan kepada mereka (Ul 30:15-16).

Musa juga mengingatkan bani Israel bahwa apabila mereka tidak setia kepada Tuhan dengan menyembah berhala maka mereka akan binasa; tidak akan lanjut umurnya di tanah yang dijanjikan Tuhan dan menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya. Bani Israel dihadapkan pada pilihan: hidup berarti setia dan mengasihi Tuhan, mati berarti menjauh dari Tuhan, tidak setia dan tidak mengasihiNya. Apa yang harus bani Israel lakukan? Musa memberi syarat-syarat ini: bani Israel harus mengasihi Tuhan, mendengarkan suaraNya dan berpaut padaNya. Dengan demikian usia mereka akan panjang dan bisa menempati tanah yang dijanjikan Tuhan.

Peziarahan hidup umat Israel di padang gurun adalah peziarahan hidup kita semua. Hidup ini juga merupakan sebuah pilihan di hadirat Tuhan. Ketika kita setia dan mengasihi Tuhan berarti ada kehidupan. Ketika kita menjauh dari Tuhan, menyenangi dosa dan siap menerima kebinasaan yang ada di hadapan kita. Masa prapaskah menjadi kesempatan di mana kita mendengarkan Tuhan dalam hidup kita dengan tekun membaca, merenungkan dan melakukan sabdaNya. Kita bersatu dengan Tuhan, berusaha untuk menjadi serupa denganNya.

Pemazmur dengan sukacita berkata: “Bahagia kuterikat pada Yahwe, harapanku pada Allah Tuhanku.” Dalam masa prapaskah ini kita mau menunjukkan rasa bahagia dan bersekutu dengan Tuhan Allah. Bersekutu dengan Tuhan berarti mengasihiNya sehingga kita memperoleh kehidupan. Orang berdosa mengalami kematian rohani karena menjauhkan dirinya dari Tuhan. Pemazmur berkata: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah hukum Tuhan, dan siang malam merenungkannya.” (Mzm 1:1-2). Orang-orang benar yang bersatu dengan Tuhan disebut orang bahagia karena siang dan malam ada bersama Tuhan.

Orang-orang benar dikatakan berbahagia karena mendengar Sabda Tuhan dan melakukannya. Mereka itu seperti seperti pohon, yang di tanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. (Mzm 1:3). Bukan demikianlah orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiup angin. Sebab Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan. (Mzm 1:4.6). Dalam masa prapaskah ini, apakah kita bisa menjadi orang benar yang hidup sesuai kehendak Tuhan atau mengikuti orang fasik yang jatuh dalam kebinasaan?

Bersekutu dengan Tuhan berarti mau mengikutiNya dari dekat dan serupa denganNya. Tuhan Yesus dalam perikop Injil hari ini mengatakan terus terang tentang masa depanNya yakni “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Luk 9:22). Perkataan Yesus ini akan menjadi sempurna ketika Ia tiba di Yerusalem. Ia akan mengalami penderitaan, penolakan dan pembunuhan yang sadis tetapi pada hari ketiga akan dibangkitkan dengan mulia oleh Bapa dalam Roh Kudus. Ia berani mewartakanNya tetapi para muridNya belum mengerti karena mereka belum menerima Roh Kudus.

Tuhan Yesus memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya para muridNya memperoleh keselamatan yakni: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23). Syarat ini kelihatan sederhana tetapi sebenarnya sangat berat. Untuk menjadi pengikut Kristus, kita harus menjadi serupa denganNya. Kita harus berani menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti teladanNya dari dekat. Aspek pengorbanan diri memang sangat penting supaya menjadi serupa dengan Yesus.

Yesus berkata: “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” (Luk 9:24). Mengikuti Yesus Kristus berarti menjadi serupa denganNya dalam segala hal termasuk dalam mengurbankan diri kita untuk keselamatan diri dan sesama. Orang yang menyangkal dirinya harus berani mengalah dan menempatkan Tuhan dan sesama menjadi segalanya dalam diriya. Orang memikul salib berarti mengurbankan dirinya supaya orang lain bisa bahagia dan memperoleh keselamatan. Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia sungguh baik, menyiapkan diri kita untuk layak merasakan kebangkitanNya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply