Homili 8 Agustus 2017

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XVIII
Peringatan St. Dominikus de Guzman
Bil 12:1-13
Mzm 51: 3-4.5-6a.6bc-7.12-13
Mat 15: 1-2.10-14

Jangan Berburuk Prasangka (JBP)

Saya pernah melihat sebuah spanduk di depan sebuah rumah dengan tulisan ini: RM-JBP. Lalu ada juga gambar tikus, kodok, ular, biawak dan aneka hewan lainnya. Saya coba mendekati tempat itu dan bertanya kepada seorang petugas Satpam di depannya perihal tulisan dan gambar-gambar di spanduk itu. Petugas Satpam dengan ramah menjelaskan kepada saya bahwa RM-JBP itu kepanjangannya: “Rumah Makan Jangan Berburuk Prasangka”. Di rumah makan itu disediakan aneka hidangan dari berbagai jenis lauk dari hewan-hewan yang dilukis di spanduk tersebut. Saya mengangguk dan tersenyum sambil menjauh dari Rumah Makan itu. Tentu bukan karena saya berburuk prasangka tetapi kebetulan pada saat itu saya belum merasa lapar. Saya melanjutkan perjalanan dengan sebuah permenungan seperti ini: “Mengapa banyak orang cepat berburuk prasangka?” Mengapa banyak orang memiliki kebiasaan menilai seseorang dari sudut pandang “cashing” atau tampilan luarnya saja?

Pada hari ini kita berjumpa dengan keluarga Musa. Ia adalah seorang pemimpin sejati. Ia mengalami perlawanan yang datang dari kaum Israel dan juga dari dalam keluarganya sendiri khususnya dari Harun dan Miryam. Dikisahkan bahwa Miryam dan Harun menaruh syak terhadap Musa karena wanita Kush (dari Etiopia) yang menjadi istrinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Musa memiliki istri pertama bernama Zipora (Kel 2:21-22). Istri kedua adalah seorang wanita dari Kush (Etiopia) (Bil 12:1). Bersama Zipora, Musa mendapat dua anak yakni Gersom dan Eliezer (Kel 18:3-4). Harun adalah saudara Musa yang menjadi juru bicara Musa di hadapan orang Firaun ketika Musa hendak membebaskan orang Israel dari perbudakan Mesir. Di kemudian hari, Harun menjadi imam besar bangsa Israel. Ia memimpin bangsa Israel dalam ibadah di kemah suci. Miriam adalah seseorang yang memimpin kelompok Lewi dalam menaikkan puji-pujian kepada Tuhan selama berlangsungnya ibadah. Dia juga dikenal sebagai seorang wanita yang pandai menari.

Apa yang menjadi inti pemberontakan mereka terhadap Musa? Mulanya mereka tidak menyukai sikap Musa yang mengambil seorang wanita Etiopia (orang asing) menjadi istrinya. Mungkin maskud mereka adalah bahwa Musa sebagai pemimpin harusnya memilih wanita lain dari bangsanya bukan dari bangsa asing. Padahal soal poligami pada saat itu adalah hal yang biasa. Dari kasus istri baru Musa ini maka muncul pertanyaan tentang hidup pribadi Musa: “Benarkah Tuhan bersabda dengan perantaraan Musa saja? Bukankah Ia juga bersabda dengan perantaraan kita?” Lihatlah bagaimana dalam satu keluarga, saudari dan saudara juga bisa melakukan pemberontakan tertentu melawan saudaranya sendiri. Hal yang sangat mirip dengan keluarga tertentu masa kini yang bisa terpecah karena partai politik yang dianutnya berbeda.

Tuhan mengetahui situasi ini. Tuhan tentu menunjukkan kedekatan-Nya dengan Musa. Musa sendiri digambarkan sebagai pribadi yang lembut hati melebihi semua orang di atas bumi ini. Tuhan lalu memanggil Harun dan Miryam dan berkata: “Dengarkanlah Sabda-Ku ini, jika di antara kalian ada seorang nabi, maka Aku Tuhan menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan. Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.” Tuhan melanjutkan perkataan-Nya tentang Musa: “Dengan Musa, Aku berbicara berhadap-hadapan, terus terang, bukan dalam teka-teki. Ia sendiri telah melihat rupa Tuhan. Bagaimana sampai kalian menaruh syak terhadap hamba-Ku Musa?” Tuhan lalu menunjukkan amarah-Nya terhadap mereka.

Dampaknya adalah Miryam kena penyakit kusta sedangkan Harun tidak mengalami penderitaan apa pun. Harun lalu meminta Musa untuk memohonkan penyembuhan bagi Miryam. Inilah doa Musa bagi Miryam: “Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia”. Permohonan Harun dan doa Musa kepada Tuhan Allah menggambarkan hidup kita sebagai anak-anak Tuhan yang perlu berpasrah kepada Tuhan. Daud dalam Mazmur Miserere, berdoa: “Kasihanilah Aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, menurut besarnya rahmat-Mu hapuskanlah pelanggaranku. Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!” (Mzm 51: 3-4).

Dalam bacaan Injil, kita mendengar bagaimana orang-orang Farisi dan para ahli Taurat di Yerusalem mendatangi Yesus untuk mengatakan pikiran mereka tentang para murid-Nya. Mereka mengatakan bahwa para murid Yesus telah melanggar adat istiadat nenek moyang mereka dengan makan tanpa membasuh tangan sebelumnya. Mereka bersikap legalistis dan lupa pada hal-hal yang lebih mendasar dalam membangun relasi dengan Tuhan dan sesama. Sebab itu Yesus mengoreksi cara pandang mereka dengan mengatakan bahwa bukan yang masuk ke dalam mulut menajiskan orang, melainkan yang keluar dari dalam mulut yang menajiskan orang.

Perkataan Yesus ini membuka wawasan kita terutama bagaimana kita mengontrol kita terhadap sesama yang lain. Para ahli Taurat dan kaum Farisi bersikap legalistis, mudah berburuk prasangka terhadap para murid Yesus. Sebab itu Yesus membantu mereka untuk selalu berpikiran positif terhadap sesama yang lain. Kita jangan hanya pandai menilai orang dari luarnya saja tetapi seharusnya kita berusaha untuk mengagumi keunikan dan kekayaan hidup mereka di hadapan Tuhan dan sesama. Kita patut merenungkan perkataan Yesus ini: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di surga akan dicabut sampai akar-akarnya”. Tuhan tetap setia kepada para pilihan-Nya.

St. Dominikus, doakanlah kami. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply