Homili 5 September 2018 (Dari Bacaan Pertama)

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor. 3:1-9
Mzm. 33:12-13,14-15,20-21
Luk. 4:38-44

Menjadi manusia rohani

Ada sebuah pengalaman iman yang menarik dan tetap saya kenang. Dalam pertemuan untuk pendalaman iman di sebuah lingkungan, seorang umat berusaha untu menjelaskan tentang karakter manusia rohani dan manusia duniawi. Baginya, manusia rohani adalah manusia yang selalu mengarahkan dirinya kepada Tuhan, aktif dalam kegiatan doa untuk tetap bersatu dengan Tuhan, aktif dalam kegiatan hidup menggereja seperti membaca dan merenungan Sabda, berdevosi dan lain sebagainya. Manusia duniawi adalah pribadi-pribadi yang selalu mementingkan dirinya sendiri, tidak terlibat dalam hidup menggereja, kurang berdevosi, kalau ke gereja datangnya lambat, pulangnya lebih cepat. Di kepalanya hanyalah harta duniawi semata sementara Tuhan selalu menjadi nomor kedua. Kami semua mendengar semua perkataannya ini dengan penuh perhatian. Tentu saja tidak semuanya tepat tetapi ada banyak hal yang ikut menunjukkan karakter manusia rohani dan manusia duniawi.

Pada hari ini kita mendengar ungkapan pengalaman iman dari St. Paulus. Ia mengatakan: “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus.” (1Kor 3:1). Paulus menyadari saat-saat awal melakukan tugas pelayanannya sebagai misionaris. Orang-orang di Korintus belum menerimanya dengan sepenuh hati. Hati orang-orang Korintus masih terikat dengan dosa, maka layaklah ia menyamakan mereka sebagai manusia duniawi bukan manusia rohani. Denga memahami situasi ini, Paulus membuat strategi penting yaitu mengadaptasikan mereka, mendampingi dan mengantar mereka ke jalan yang benar. Inilah strategi Paulus: “Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya. Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?” (1Kor 3:2-3).

Pengalaman umat di Gereja Korintus adalah pengalaman hidup kita setiap hari saat ini. Kita membayangkan saat-saat awal mengenal Tuhan Yesus Kristus. Kita tidak lebih dari anak kecil yang perlu meminum susu supaya tubuh kita sehat. Iman kita masih lemah maka kita butuh pendampingan yang kontekstual sehingga dapat memantapkan pertumbuhan iman kita. Selain lemahnya iman kita, sikap hidup sebagai manusia juga menguasai diri kita: iri hati dan perselisihan. Rasa marah dan cemburu terhadap kebahagiaan dan keberhasilan orang lain. Ini benar-benar kelemahan manusiawi kita. Ada yang sifatnya suka mengkotak-kotakan sesamanya berdasarkan suku, bangsa, dan Bahasa. Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang, tanpa membedakan siapakah orang itu sesungguhnya. Manusia boleh saling membeda-bedakan tetapi Tuhan tidak pernah membedakan karena Dia adalah kasih.

Paulus lalu mengangkat polemik yang terjadi di Korintus, terutama antara orang-orang yang mengelompokkan dirinya di pihak Paulus dan yang lainnya di pihak Apolos. Padahal Tuhan tidak membedakan Paulus dan Apolos. Dengan tegas Paulus berkata: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri. Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah.” (1Kor 3:6-9).

Pengalaman Paulus adalah pengalaman Gereja masa kini. Masih banyak kalangan umat yang membedakan anggota gereja berdasarkan asal muasalnya, kongregasi atau Tarekat apa yang melayani mereka, tingkat keterlibatan dalam hidup menggereja. Semua ini memang memiliki makna positif tetapi ada juga pengaruh negatifnya. Kalau saja di dalam Gereja masih dikotak-kotakan seperti ini berarti Gereja tidak mengandalkan Roh Kudus yang sifatnya mempersatukan. Marilah kita berusaha supaya tidak membuat kotak-kotak di dalam hidup menggereja karena itu sikap manusia duniawi. Kita berusaha untuk menghadirkan Tuhan karena kita sungguh mengandalkan-Nya di dalam hidup kita. Kita harus menjadi manusia rohani yang mengandalkan persatuan, kerjasama demi kebaikan bukan manusia duniawi yang mengandalkan perpecahan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply