Homili Hari Minggu Biasa ke-XXXI/B – 2018

Hari Minggu Biasa ke-XXXI
Ul. 6:2-6
Mzm. 18:2-3a,3bc-4,47,51ab
Ibr. 7:23-28
Mrk. 12:28b-34

Mengasihi adalah segalanya

Zeno dari Elea (490-430 SM) adalah seorang filsuf berkebangsaan Yunani. Filsuf Panteis ini pernah berkata: “Alam telah memberi kita satu lidah, namun saat yang sama alam juga memberi kita dua telinga, agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara.” Hal senada pernah diungkapkan oleh filsuf Romawi kuno bernama Epictetus (50-130M). Ia berkata: “Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, karena itu kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara.” Saya merasa yakin bahwa kedua filsuf ini sangat menyadari eksistensi manusia dari dahulu hingga sekarang, yakni banyak kali manusia itu lupa bahwa mereka memiliki dua telinga dan satu mulut. Manusia bisa mengubah tingkah lakunya seolah-olah ia memiliki dua mulut dan satu telinga. Orang seperti itu banyak berbicara dan sedikit mendengar. Seorang sahabatku mengatakan bahwa Tuhan itu sungguh baik sebab Ia menciptakan dua tangan kita supaya dapat menutup kedua telinga kita karena selalu ada dua mulut yang berbicara pada saat yang sama. Apakah kita pernah sadar diri bahwa sebenarnya ketika kedua daun telinga manusia disatukan akan membentuk pola hati? Ini berarti kita seharusnya banyak mendengar, dan ketika banyak mendengar kita akan patuh dan semakin kita patuh kita akan mampu mengasihi. Singkatnya, mendengar dengan baik berarti mengasihi dengan sepenuh hati.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini mambantu kita untuk memandang Allah sebagai kasih. St. Yohanes mengatakan dalam suratnya bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Karena Allah adalah kasih maka Ia lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4: 10). Jawaban kita akan kasih Allah adalah kita mengasihi Dia sebab Ia sudah lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4:19). Allah sudah mengasihi kita lebih dahulu pada saat kita diciptakan sesuai wajah-Nya sendiri. Ia memandang manusia dan menaruh kasih kepadanya. Ini adalah awal Tuhan menunjukkan diri-Nya mengasihi kita lebih dahulu. Cinta kasih-Nya yang lebih besar dianugerahkan-Nya melalui Yesus Kristus (Yoh 3:16).

Musa dalam bacaan pertama memahami makna kasih Allah yang tiada batasnya bagi manusia sehingga ia mengingatkan bangsa Israel dengan perkataannya ini: “Supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan Tuhan, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.” (Ul 6:2). Cinta kasih Allah dan cinta kasih kepada Allah harus lestari selama-lamanya. Selanjutnya, Musa menasihati kaum Israel untuk berpegang teguh pada satu perintah yang pertama dan utama dan harus diwariskan turun temurun. Perintah kasih kepada Tuhan Allah adalah yang pertama dan utama. Nasihat Musa yang di maksud adalah: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6:4-5). Musa tahu rahasia orang sebangsanya. Mereka sangat sulit untuk mendengar karena memiliki kebiasaan buruk yaitu bertegar hati. Hati yang keras seperti batu. Itu sebabnya Musa menyapa mereka supaya sebelum mengasihi, mereka harus banyak mendengar. Semakin banyak mendengar maka mereka akan mampu mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan mereka. Musa menambahkan supaya semua yang diperintahkan kepada mereka haruslah mereka lakukan.

Dalam bacaan Injil dikisahkan tentang seorang Ahli Taurat datang kepada Yesus dan bertanya tentang hukum yang pertama dan terutama. Tuhan Yesus tidak mengambil teori baru, tetapi mengambil semua perkataan Musa dalam Kitab Ulangan dan mengingatkan kembali mereka untuk melaksanakannya di dalam hidup mereka. Inilah perkataan Yesus: “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6:4-5; Mrk 12:29-30). Satu hal yang harus orang miliki adalah kemampuannya untuk mendengar (shema). Dengan kemampuan untuk mendengar maka membuka pintu untuk mengasihi dengan seluruh totalitas hidup sebagai manusia. Hati, jiwa dan akal budi adalah simbol totalitas hidup manusia. Maka manusia mengasihi Allah tidak bisa setengah-setengah tetapi mengasihi tanpa batas sebab Tuhan sendiri  sudah mengasihi kita dengan kasih yang agung dalam diri Yesus Putera-Nya.

Tuhan Yesus menambahkan perintah kedua yang sama dengan perintah pertama yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18; Mrk 12:31). Kita tidak hanya mengasihi Tuhan secara total lalu mengabaikan kasih kepada sesama. Sesama manusia juga diciptakan seturut gambar dan rupa Allah sendiri maka kita memiliki kewajiban untuk mengasihi mereka sama seperti kita mengasihi diri kita yang juga sesuai dengan gambar dan wajah Tuhan. St. Yohanes berkata: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20). Nasihat lain dari St. Yohanes bagi kita adalah: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18).

Dari semuanya ini, kasih bukan hanya sekedar kasih. Kasih adalah pengurbanan. Tuhan Allah mengasihi kita lebih dahulu dengan mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya. Kita mengasihi Allah dengan totalitas hidup kita juga merupakan sebuah pengurbanan. Seorang imam, biarawan dan biarawati mengorbankan seluruh hidupnya sebagai tanda kasihnya kepada Tuhan. Ia mengasihi dengan hati yang tidak terbagi. Para suami dan istri saling mengasihi dengan hati yang tidak terbagi sebagai wujud kasih mereka kepada Tuhan dan pasangannya. Cinta sejati penuh pengurbanan ditunjukkan sendiri oleh Tuhan Yesus sang Imam Agung sejati. Penulis surat kepada umat Ibrani melukiskannya seperti ini: “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” (Ibr 7:26-27). Tuhan Yesus mengasihi kita dengan mengurbankan diri-Nya, bukan mengurbankan orang lain atau hewan-hewan kurban. Dia mengasihi dengan mengurbankan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya. Inilah yang tetap kita renungkan setiap kali merayakan Ekaristi bersama.

Mari kita mengasihi Tuhan dan sesama kita karena mengasihi adalah segalanya.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply