Homili 6 Juni 2019

Hari Kamis, Pekan Paskah ke-VII
Kis. 22:30; 23:6-11
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11
Yoh. 17:20-26

Berani bersaksi dengan benar

Apakah anda pernah menjadi saksi dalam sebuah perkara atau sengketa? Biasanya para saksi itu diambil sumpahnya dengan meletakkan tangannya di atas Kitab Suci, disaksikan oleh pemimpin agama yang dianutnya. Mengapa demikian? Sebab para saksi diharapkan akan memberikan kesaksian yang jujur, benar dan adil. Nah, apakah dengan bersumpah dan meletakkan tangan di atas Kitab Suci sudah menjamin adanya kesaksian yang jujur, benar dan adil dari para saksi? Menurut saya, belum merupakan sebuah jaminan bahwa kesaksian itu benar, jujur dan adil. Para saksi juga manusia yang memiliki kelemahan. Mungkin saja kasus itu berhubungan dengan keluarga tertentu dari para saksi, mungkin juga saksi di bawah tekanan dan ancaman supaya tidak bersaksi dengan baik, benar dan jujur. Masih banyak kemungkinan yang terjadi dalam diri para saksi. Sebab itu banyak orang tertarik memberi kesaksian namun nilai kesaksian mereka dapatlah dipertanyakan keabsahannya. Ada kalanya kebohongan mewarnai kesaksian atau kesaksian palsu dan tanpa ada bukti.

Saya merasa yakin bahwa kita semua memiliki pengalaman-pengalaman yang mirip dalam kaitannya dengan kesaksian. Dari media sosial kita mengenal apa artinya kesaksian palsu, tanpa ada bukti yang otentik. Namun, sangatlah disayangkan karena banyak orang menyukai kesaksian palsu untuk menyudutkan, atau melakukan kekerasan fisik dan kekerasan verbal terhadap orang lain. Kesaksian palsu membuka pintu kebohongan pribadi dan kebohongan publik. Ketika orang sudah mengalami chaos dalam bathinnya maka kata dan tindakannya menjadi tidak waras. Nilai-nilai kasih, kemanusiaan, persekutuan dan lainnya diabaikan dan yang dioerjuangkan adalah kebencian, perpecahan dan lain sebagainya. Semua ini tidaklah mencerminkan nilai-nilai kristiani.

Kita mendengar kelanjutan kisah Paulus dalam tulisan Lukas yakni Kisah Para Rasul. Paulus meninggalkan tanah misi yakni Miletus dan hendak kembali ke Yerusalem sebagai tawanan roh (Kis 20:22). Ketika tiba di Yerusalem, beliau ditangkap dan dipenjarakan. Kepala pasukan bertanya-tanya tentang tuduhan yang diberikan kepada Paulus. Dia berharap agar Paulus dapat mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang diberikan kepadanya. Paulus pun dihadapkan pada para imam kepala dan Mahkamah Agama Yahudi untuk mempertanggungjawabkan imannya. Di antara mereka ada kaum Saduki dan Farisi yang berada di hadapannya. Ia berani berkata: “Hai saudara-saudaraku, aku adalah orang Farisi, keturunan orang Farisi; aku dihadapkan ke Mahkamah ini, karena aku mengharap akan kebangkitan orang mati.” (Kis 23:6).

Perkataan Paulus menimbulkan perpecahan yang besar. Kita mengingat kembali pengalaman Paulus di Athena ketika dia berbicara di Areopagus untuk menjelaskan Allah yang benar yang bagi orang Yunani belum mereka kenal. Namun ketika menjelaskan tentang orang mati dapat bangkit dengan mulia maka banyak di antara mereka mundur. Hanya Dionisius dan beberapa teman yang tetap setia kepada Paulus. Di Yerusalem pun demikian. Orang-orang Saduki yang tidak percaya kepada kebangkitan badan, malaikat dan roh tentu marah dengan pernyataan Paulus. Sementara di pihak kaum Farisi mereka percaya kepada kebangkitan badan, malaikat dan roh. Kita melihat posisi Paulus tentu lebih menguntungkan di pihak Farisi daripada Saduki. Perpecahan berupa keributan tak dapat dibendung sehingga Paulus mesti diselamatkan ke markas.

Pengalaman penderitaan Paulus karena keberaniannya untuk bersaksi ini membawa berkat tersendiri. Tuhan Yesus tidak pernah membiarkan dia berjuang sendiri. Tuhan bahkan menampakkan diri kepadanya dan berkata: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma.” (Kis 23:11). Paulus tidak pernah lemah dalam mewartakan Injil. Apapun kesulitannya ia tetap maju karena ia percaya akan penyertaan Tuhan Yesus. Tepatlah perkataan Tuhan ini: “Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil” (1Kor 9:16). Dia berani bersaksi karena kasih kepada Tuhan Yesus Kristus.

Tuhan Yesus dalam Injil melanjutkan doanya sebagai Imam Agung. Cara berdoanya merupakan ciri khas-Nya sebagai Anak yang bersaksi tentang Bapa yang Mahabaik. Ia menengadah ke langit dan berdoa bagi pengikut-Nya. Ini memang menarik perhatian kita. Ia berdoa dengan mengarahkan pandangan-Nya ke langit. Ia memandang dengan kasih dan bersatu dengan Bapa di Surga. Pada saat yang sama Ia berdoa bagi para pengikut-Nya supaya bersatu sama seperti Ia bersatu dengan Bapa. Yesus berdoa bukan hanya untuk para murid-Nya saja, tetapi Ia juga berdoa bagi semua orang yang percaya kepada perkataan para murid-Nya. Siapakah mereka itu? Anda dan saya yang sudah dibaptis sehingga menjadi ciptaan baru. Kita semua dikehendaki Tuhan untuk menjadi satu sehingga dapat bersaksi dengan baik, benar dan jujur tentang iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Maka intensi doa Yesus yang pertama adalah memohon persekutuan Gereja.

Persekutuan sebagai Gereja merupakan sebuah kemuliaan yang dianugerahkan dari Bapa kepada sang Putera. Dalam kemuliaan ada persatuan dan dalam persatuan ada kasih. Kasih Tuhan membuka pengenalan yang mendalam akan jati diri Allah sendiri. Allah sebagai Bapa yang kekal yang mengasihi menusia dalam diri Yesus Kristus Putera-Nya. Kasih yang besar adalah pengurbanan diri Yesus Kristus bagi manusia yang berdosa. Sungguh, satu harapan dari Tuhan Yesus adalah ‘supaya mereka sempurna menjadi satu’. Inilah inti pewartaan dan kesaksian kita di dalam Gereja masa kini.

Doa kita pada hari ini: “Jagalah aku ya Tuhan, sebab pada-Mu aku berlindung” (Mzm 16:1). Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply