Homili 19 Agustus 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XX
Hak. 11:29-39a;
Mzm. 40:5,7-8a,8b-9,10;
Mat. 22:1-14

Aku suka melakukan kehendak Allah

Saya merasa disapa oleh Tuhan pada saat menyiapkan perayaan Ekaristi harianku hari ini di depan altar Tuhan. Saya memulainya dengan Antifon Pembuka: “Lihatlah ya Tuhan, aku datang. Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku. Taurat-Mu ada di dalam dadaku.” (Mzm 40:8b.9). Antifon Pembuka ini juga sekaligus menjadi Refrain dalam Mazmur Tanggapan untuk bacaan pertama hari ini. Mengapa saya mengatakan bahwa saya merasa disapa oleh Tuhan di depan altar saat mengawali perayaan Ekaristi harianku ini? Pertama-tama saya harus mengakui satu hal yang sangat manusiawi bahwa selama lebih dari dua puluh tahun sebagai imam, banyak kali saya juga merasa bahwa saya merayakan misa karena tugas yang harus saya lakukan setiap hari. Padahal saya seharusnya tidak boleh berpikir seperti itu. Saya seharusnya berpikir bahwa saya merayakan misa karena saya sedang mengalami dan merasakan kasih Allah yang berlimpah-limpah melalui panggilan imamatku ini. Sebab itu saya mensyukurinya atau saya berekaristi karena sebuah pengalaman kasih yang sangat pribadi. Pengalaman kasih inilah yang mendorong saya untuk ‘suka melakukan kehendak Allah’ sebagai seorang imam dan mengabdi-Nya. Hal kedua adalah pikiran saya tertuju pada sosok Raja Daud yang hebat. Ia adalah Raja yang besar di Israel, yang memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Namun satu hal yang selalu menginspirasi dari hidupnya adalah bahwa dia suka melakukan kehendak Allah dan bahwa Taurat atau hukum Tuhan ada di dadanya. Seorang itu hebat kalau ia patuh dan setia pada kehendak Tuhan.

Tuhan mengarahkan kita semua pada hari ini untuk terbuka kepada-Nya dan siap untuk menyukai dan melakukan kehendak-Nya di dalam hidup setiap hari. Kehendak Allah adalah harga mati bagi orang yang sungguh mengimani-Nya. Dalam bacaan pertama dari Kitab Hakim-Hakim kita menjumpai sosok Yefta. Nama Yefta (bahasa Ibrani: יפתח‎, Yifthaḥ; bahasa Yunani: Ιεφθάε, Iephtae) berarti ‘semoga Allah memberi kebebasan’. Ia tiba-tiba dihinggapi oleh Roh Tuhan dan melakukan perjalanan yang panjang dan sulit yakni melalui daerah Gilead dan daerah Manasye, kemudian melalui Mizpa di Gilead, dan dari Mizpa di Gilead ia berjalan terus ke daerah bani Amon. Dalam perjalanan ini ia bernazar kepada Tuhan: “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” (Hak 11:30-31).

Perjalanan panjang dan pertempuran yang dilakukan Yefta boleh dibilang sangat berhasil karena campur tangan Tuhan. Ada dua puluh kota yang ditaklukan Yefta karena campur tangan Tuhan. Setelah memenangkan segalanya, dia kembali ke rumahnya di Mizpa, dan yang keluar untuk menyongsongnya dengan memukul rebana dan menari kegirangan adalah anak perempuannya sendiri. Anak perempuannya tunggal. Yefta merasa kaget tetapi karena dia sudah bernazar kepada Tuhan maka dia patuh pada nazarnya itu. Ia berkata: “Ah, anakku, engkau membuat hatiku hancur luluh dan engkaulah yang mencelakakan aku; aku telah membuka mulutku bernazar kepada Tuhan, dan tidak dapat aku mundur.” (Hak 11:35). Anak perempuannya juga melakukan kehendak Allah seperti ayahnya Yefta. Ia berkata: “Bapa, jika engkau telah membuka mulutmu bernazar kepada Tuhan, maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu, karena Tuhan telah mengadakan bagimu pembalasan terhadap musuhmu, yakni bani Amon itu. Hanya izinkanlah aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan lamanya, supaya aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku bersama-sama dengan teman-temanku.” (Hak 11:36-37).

Yefta adalah sosok ayah yang hebat dan takut akan Tuhan. Ia setia pada nazarnya kepada Tuhan. Ia membiarkan anak perempuannya pergi menyendiri di gunung dan ketika tiba waktunya, anak perempuannya itu kembali dan ia melakukan segala sesuatu yang dinazarkannya kepada Tuhan. Yefta benar-benar setia bukan hanya pada perbuatannya tetapi juga pada setiap perkataannya. Hamba yang setia adalah dia yang menyukai kehendak Tuhan dan melakukannya dengan setia pula. Pengurbanan Yefta adalah sebuah sukacita yang besar di hadirat Tuhan, laksana sebuah perjamuan besar yang menyukakan hati Tuhan.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus memberikan sebuah perumpamaan lain tentang Kerajaan Surga. Kerajaan Surga itu laksana seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya. Raja itu menyuruh para hamba untuk mengundang para undangan utama tetapi mereka tidak mau datang. Hamba-hamba lain pun diutus sang raja untuk menyampaikan undangan itu dengan lebih jelas lagi seperti ini: “Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini.” Sayang sekali karena para undangan ini tidak mengikuti undangan sang raja. Mereka masing-masing memiliki alasan sendiri yang sangat egois bahkan ada yang berlaku kasar dengan menyiksa serta membunuh para hamba sang raja. Tentu saja reaksi sang raja adalah ia menunjukkan kuasanya dengan murka yang besar kepada para undangan yang berlaku jahat. Ia membakar dan menghancurkan kota mereka.

Undangan raja yang kedua ditujukan kepada orang-orang di persimpangan-persimpangan jalan dan setiap orang yang dijumpai para hamba raja. Kali ini orang-orangnya majemuk, karena ada orang baik dan orang jahat. Prinsipnya adalah ruang pesta itu penuh. Sayang sekali karena di antara para undangan itu ada seorang yang tidak berpakaian pesta sehingga sekali lagi raja menunjukkan murkanya untuk kedua kalinya. Murkanya kali ini kelihatan lebih berat: “Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Mat 22:13).

Menjadi pertanyaan bagi kita adalah siapakah yang tidak berpakaian pesta itu? Orang yang tidak berpakaian pesta tentu tidak memperhatikan dirinya dan menjadi hinaan bagi sang raja yang mengundangnya. Orang tidak berpakaian pesta tentu saja orang yang tidak beriman dan tidak bertobat kepada Tuhan sehingga tempatnya adalah ghena atau neraka. Orang yang tidak berpakaian pesta adalah orang yang tidak mematuhi kehendak Allah. Namun lebih dari itu, orang yang tidak berpakaian pesta sebenarnya adalah mereka yang hanya berpikir bahwa sudah cukup mereka mendengar Sabda Tuhan. Padahal yang perlu dan lebih penting lagi adalah mereka juga harus melakukan sabda dalam hidup yang nyata melalui perbuatan-perbuatan yang baik, supaya nama Tuhan dimuliakan di surga. Pakaian pesta adalah perbuatan baik atau perbuatan kasih. Dan kita juga tahu bahwa kehendak Allah adalah keselamatan abadi di Surga karena jasa Yesus Kristus. Pada hari ini kita belajar untuk datang dan melakukan kehendak Allah seperti Raja Daud dan Yesus Kristus, Anak Daud, Anak Allah.

P. John Laba, SDB