Homili 20 Agustus 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XX
St. Bernardus van Clairvaux
Rut 1: 1.3-6.14b-16.22
Mzm 146:5-6.8-9a.9bc-10
Mat 22:34-40

Cinta kasih mempersatukan segalanya

Saya pernah diundang untuk duduk bersama di dalam menyelesaikan sebuah persoalan di dalam sebuah keluarga. Pada saat itu saya sangat terinspirasi oleh perkataan dari perwakilan salah satu pihak keluarga yang mengatakan bahwa sebuah pernikahan itu bukan hanya pernikahan antara dua pribadi yang menjadi suami dan istri saja melainkan sebuah pernikahan antara dua keluarga besar yang berbeda menjadi satu keluarga baru dalam berelasi. Saya sepakat dengan perkataan ini. Banyak kali orang sering lupa dan hanya berpikir bahwa yang pernikahan itu hanya mengikat pasangan suami dan istri saja, padahal pada kenyataannya mengikat kedua keluarga besar. Cara menyapa di antara mereka berubah untuk beberapa keturunan di masa depan. Sebenarnya ini adalah pengaruh dari cinta kasih antara dua pribadi yang menyatukan banyak insan atau banyak keluarga. Relasi antar pribadi akibat pernikahan semakin besar dan luas, lintas batas suku, agama dan ras. Tentu saja semua ini karena rencana Tuhan bukan hanya hasrat dan keinginan manusia.

Pada hari ini Tuhan melalui Sabda-Nya menyapa kita dan mengingatkan kita semua bahwa cinta kasih itu dapat mempersatukan segalanya dan semua orang. Itulah yang ditegaskan Tuhan bagi bangsa Israel melalui Musa dalam Kitab Ulangan: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6:4-5). Tuhan juga mengingatkan bangsa Israel: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18). Kedua hal ini diingat oleh bangsa Israel secara turun temurun sebagai bagian yang hakiki dalam hidup pribadi mereka. Relasi cinta kasih mereka bukan hanya secara vertikal tetapi juga secara horisontal. Sebab itu kalau seorang mengatakan bahwa ia mengasihi Tuhan tetapi membenci saudaranya maka dia adalah seorang pendusta. St. Yohanes menulis: “Kalau seorang berkata, “Saya mengasihi Allah,” tetapi ia tidak mengasihi saudaranya, orang itu pendusta. Sebab orang yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20).

Dalam bacaan Injil kita mendengar dalam bacaan Injil, seorang ahli Taurat, orang pintar mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan untuk mencobai-Nya. Inilah pertanyaan itu: “Guru, hukum manakah yang terbesar dalam hukum Taurat?” Meskipun pertanyaan ini hanya untuk mencobai Yesus dan Yesus mengetahuinya, Dia yang adalah kasih sangat serius menanggapinya. Tanggapan Yesus juga bukanlah hal yang baru. Ia mengambil ajaran yang sudah ada dalam Kitab Taurat untuk mengingatkan mereka. Bagi Yesus hukum yang pertama dan utama adalah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37). Yesus melanjutkan hukum yang kedua yang sama dengan hukum yang pertama: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:39). Dia bahkan menegaskan: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:40). Tentu saja jawaban Tuhan Yesus ini sangatlah tepat dan membungkam ahli Taurat dan rekan-rekannya. Mengapa jawaban yang membungkam? Karena Tuhan Yesus tidak mengambil suatu hal yang baru, tetapi hal lama yang sudah mereka ketahui dan ajarkan supaya dilakukan kembali dengan cara baru. Orang tidak hanya mengetahuinya secara teoretis tetapi melakukannnya juga dalam hidup yang nyata.

St. Paulus mengatakan: “Dengan yang demikian tinggallah iman, dan pengharapan, dan kasih, ketiga perkara ini, tetapi di dalam ketiganya itu yang terlebih besar, ialah kasih.” (1Kor 13:13). Ini merupakan perkataan terakhir dari himne kasih dalam suratnya ini. Maka sungguh kasih adalah segalanya dan yang terbesar dari kedua kebajikan ilahi yang lainnya yaitu iman dan harapan. Mengapa karena jati diri Allah sendiri adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Kasih itu bukan sebuah teori tetapi sebuah pengalamann hidup. Kita dapat mengasihi Tuhan dan sesama kalau kita sendiri mengalaminya dalam hari-hari hidup kita.

Pengalaman kasih adalah segalanya kita temukan dalam bacaan pertama, di dalam kisah keluarga Naomi dan Elimelekh. Akibat kelaparan di tanah Israel maka keluarga ini bereksodus dari Bethlehem ke daerah asing yaitu Moab. Elimelekh meninggal dunia di Moab sehingga tinggallah Naomi dan kedua anak laki-lakinya. Kedua anak laki-laki menikah dengan orang setempat dan meninggal dunia tanpa keturunan. Anak pertama menikah dengan wanita Moab bernama Orpa dan wanita kedua bernama Rut. Kalau situasi di Bethlehem sudah membaik maka Naomi berniat untuk kembali. Dia sendiri menghendaki agar Orpa dan Rut yang sudah menjanda boleh tinggal di Moab sedangkan dia kembali ke Bethlehem. Orpa memilih untuk tetap tinggal di Moab sedangkan Rut memilih untuk mengikuti Naomi mertuanya ke Bethlehem. Perkataan Rut ini menunjukkan cintanya yang total kepada keluarga mertuanya Naomi: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan.” (Rut 1:1-17). Inilah cinta yang total tanpa tawar menawar. Perkawinan yang terjadi benar-benar bagi dua keluarga besar bukan hanya oleh dua pribadi yang menjadi pasangan hidup. Rut tidak hanya berkata tetapi membuktikannya dalam hidup yang nyata. Kasih adalah yang terbesar dan segalanya.

Pada hari ini kita juga mengenang St. Bernardus van Clairvaux. Beliau adalah seorang Abbot dari Prancis (1090-1153). Ia pernah berkata: “Kita menemukan peristirahatan pada orang-orang yang kita cintai, dan kita menyediakan tempat bagi orang-orang yang mencintai kita.” Di tempat lain orang kudus ini berkata: “Orang yang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap temannya sendiri telah kehilangan rasa takut akan Tuhan.” Maka mengikuti St. Yohanes: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan kata-kata atau lidah, melainkan dengan perbuatan dan kebenaran.” (1Yoh 3::18). St.. Bernardus, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB