Homili 25 Agustus 2021

Hari Rabu Pekan Biasa ke-XXI
1Tes. 2:9-13;
Mzm. 139:7-8,9-10,11-12ab;
Mat. 23:27-32

Berani berbagi hidup

Saya sangat mengagumi sosok seorang misionaris. Beliau sudah puluhan tahun mengabdi di tanah misi. Ia senang bekerja di kebun untuk mendukung pelayanan misionernya di sana. Tanaman sayuran dan buah-buahan organik menjadi salah satu andalan untuk mendukung kemandirian di parokinya. Selain itu ia memelihara ternak-ternak tertentu yang juga turut mendukung pelayanan di parokinya. Pada hari-hari tertentu termasuk hari Minggu, ia mengadakan perjalanan untuk melayani di stasi-stasi misioner dengan menyeberangi sungai selama berjam-jam. Umat di pesisir sungai dikunjunginya. Selain mewartakan injil, ia juga membuat pelatihan tertentu untuk membantu para warga umat bercocok tanam.Semua kegiatan misioner ini membuatnya sangat dikagumi umat dan pemerintah setempat.

Saya mengagumi misionaris ini karena dia sungguh-sungguh dipanggil untuk menjadi penjala manusia. Menjadi penjala manusia berarti sang misionaris ini, sama seperti penugasan yang diberikan Yesus kepada para murid perdana yakni Simon, Andreas untuk membawa manusia kepada kehidupan. Artinya mereka tidak hanya tahu berdoa tetapi mereka juga harus tahu mengisi perutnya supaya bisa hidup. Misionaris itu seperti para murid yang menjala manusia karena dia berhasil mengedukasi dan membantu banyak orang untuk sejahtera secara jasmani dan rohani. Ini selalu menjadi semangat Gereja sepanjang zaman.

Pada hari ini kita mendengar sharing pengalaman misioner santo Paulus. Ia mengingatkan mereka bahwa tentu ingataan mereka masih sangat jelas akan usaha dan jeri payah, segala pekerjaan manual yang sudah mereka lakukan di tengah-tengah mereka. Sebagai misionaris, Paulus tidak hanya mewartakan Injil tetapi ia dan rekan-rekannya juga bekerja keras siang dan malam supaya tidak membebankan jemaat di Tesalonika. Ia mau menunjukkan bahwa sebagai misionaris, ia juga dapat hidup dari keringatnya sendiri. Maka di sini, bukan hanya Injil saja yang diwartakan tetapi hidup dan pengurbanan diri yang tulus juga menjadi kesaksian nyata di hadapan jemaat. Paulus juga mengingatkan jemaat bahwa Tuhan Allah dan mereka sebagai jemaat adalah saksi-saksi pewartaan Injil. Paulus dan rekan-rekannya menunjukkan kesalehan hidup, bersikap adil dan hidup tanpa cacat di hadapan jemaat dan Tuhan.

Paulus dan rekan-rekannya mewartakan Injil dengan hidupnya yang nyata. Mereka bersaksi dan memberi nasihat-nasihat yang penting untuk menguatkan hati, iman dan sebuah harapan bahwa dengan keteladanan hidup dan nasihat-nasihat yang mereka terima itu, tetap mendekatkan diri mereka dengan Tuhan. Mereka menjadi patuh pada kehendak Tuhan dan layak di dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya. Sikap penerimaan yang positif dari jemaat menjadi tanda syukur tersendiri dari pihak Paulus dan rekan-rekannya. Semua perkataan yang disampaikan kepada jemaat diyakini bukan semata-mata sebagai kata-kata manusia tetapi sebagai Sabda Allah yang tentunya bekerja giat dalam diri orang beriman.

Dari Paulus dan rekan-rekannya kita belajar semangat misioner mereka. Para misionaris ini menjiwai Gereja sepanjang zaman untuk tetap tekun mewartakan injil dengan sukacita. Mereka mewartakan Injil bukan semata-mata dengan kata-kata tetapi dengan hidup yang nyata. Hidup yang nyata adalah hidup yang kudus dan tanpa cela di hadirat Tuhan. Hanya dengan demikian jemaat akan terbuka untuk menerima pewartaan bukan sebagai kata-kata manusia melainkan sebagai Sabda Tuhan.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus melanjutkan kecaman-kecaman terhadap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena kemunafikan mereka. Mereka digambarkan seperti kubur yang di luarnya bersih dan rapih tetapi di dalamnya kotor dan amis. Hati mereka kotor, penuh dengan kebusukan, kejahatan. Kecaman-kecaman Yesus ini membantu kita untuk berbenah diri supaya hidup layak di hadirat Tuhan.

P. John Laba, SDB