Homili 24 Februari 2024

24 Februari 2024 – Hari Sabtu Pekan I Prapaskah
Ul. 26:16-19
Mzm. 119:1-2,4-5,7-8
Mat. 5:43-48

Jalan Kekudusan

Tuhan memanggil kita semua untuk menjadi kudus. Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah), menulis: “Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah: dalam diri orangtua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan. Sering kali hal tersebut merupakan kekudusan dari “pintu sebelah”, mereka yang hidup dekat dengan kita. Mereka mencerminkan kehadir- an Allah, atau dengan kata lain “tingkat menengah kekudusan” (GE, 7). Kekudusan tidak muluk-muluk. Kekudusan sungguh nyata.

Pada hari ini kita mendengar ajakan Tuhan melalui Musa kepada Bangsa Isarel supaya mereka bertumbuh dalam kekudusan. Apa yang harus mereka lakukan? Pertama, Mereka harus setia untuk melakukan perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan. Kedua, Mereka perlu mendengar suara Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai Allah bagi bangsanya. Ketiga, Bangsa Isarel menjadi umat kesayangan Tuhan karena bangsa ini setia melakukan perintah dan ketetapan-Nya. Kata kuncinya adalah bahwa jalan kekudusan bangsa ini ditempuh melalui kesetiaan untuk melakukan segala perintah dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan. Kekudusan adalah milik kita juga ketika kita mengikuti jalan-jalan Tuhan bukan jalan-jalan manusiawi kita.

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil menantang kita yang membaca Injil hari ini untuk mewujudkan kekudusan hidup dengan melewati semacam ‘pintu yang sempit’. Yang saya maskudkan dengan ‘pintu yang sempit’ adalah bahwa kita harus melakukan perintah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama dengan unik. Tuhan Yesus membuka jalan-jalan kekudusan kepada kita, misalnya ketika Ia berkata: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44). Kita mengasihi semua orang seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kasih kita kepada semua orang lintas batas. Musuh sekalipun kita harus mengasihinya. Ini memang sangat berat! Musuh kok dikasihi. Tuhan Yesus di sini tidak hanya berbicara tetapi Dia juga melakukannya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:24).

Beranikah kita melakukan perintah kasih ini di dalam hidup ini? Beranikah setiap pasangan hidup tidak hanya duduk dan menghitung-hitung kesalahan pasangannya tetapi saling mengampuni dan menerima apa adanya? Apakah para orang tua dapat mengasihi anak-anak dan anak-anak mengasihi orang tuanya yang rewel dan menjengkelkan atau hanya duduk dan saling membuat litani kesalahan orang tua, anak dan melupakan perbuatan kasihnya?

Doa: Tuhan, mampukan kami untuk mengampuni saudara dan saudari yang menyakiti hati kami. Amen.

P. John Laba, SDB