Homili 11 April 2014

Hari Jumat, Pekan Prapaskah V

Yer 20:10-13

Mzm 18:2-3a.3bc-4, 5-6.7

Yoh 10:31-42

Menderita untuk bahagia!

Fr. John“Penderitaan itu datang bertubi-tubi”. Demikian ungkapan hati seorang sahabat kepadaku. Saya menanyakan alasan mengapa ia berkata demikian. Ia menjawab: “Saya sedang berada di tengah badai. Bapa dan ibuku sedang sakit keras. Bapa saya menderita prostat dan mengalami perawatan intensif, ibu saya berada di ICU. Saya anak tunggal dan belum berkeluarga karena mau memperhatikan orang tua saya. Saudara-saudari dari kedua orang tuaku apatis bahkan ada yang terang-terang mengatakan kepada saya untuk membiarkan mereka berdua menderita sakit dan mati. Saya tidak tega berkhianat terhadap orang tua saya.” Dia bercerita kepadaku sambil menangis sehingga suasana kebersamaan kami menjadi sedih. Saya mengatakan kepadanya bahwa badai itu pasti berlalu. Tuhan kita jauh lebih berkuasa daripada penyakit. Tuhan akan menjamah dan menyembuhkan mereka asal kita yang sehat percaya bahwa Tuhan pasti akan melakukannya. Ia mengatakan kepadaku bahwa Ia sangat percaya. Tuhan mendengar doa-doanya dan doa banyak orang. Kedua orang tuanya dipulihkan dan sembuh total.

Ada dua kelompok orang di dalam curhatnya sahabatku ini. Orang pertama adalah anaknya sendiri yang rela memilih untuk tidak menikah untuk sementara demi memperhatikan kedua orang tuanya. Ia bekerja keras, semua uang di deposito dikuras demi kesembuhan kedua orang tuanya. Tuhan memperhatikan usaha-usaha dan kemauan baiknya maka orang tuanya sembuh total. Ini adalah salib baginya. Artinya, ia berkorban dan kebahagiaan dinikmati oleh ayah dan ibunya. Orang kedua adalah saudara dan saudari orang tuanya. Mereka mempengaruhi anaknya untuk tidak perlu berkorban atau memperhatikan orang tuanya. Biarkan mereka sakit dan mati. Tujuan di balik semua ini adalah semua aset orang tuanya bisa dirampas oleh mereka. Nah, tidak semua saudara itu betul-betul menjadi saudara. Hanya karena harta duniawi, saudara bisa menjadi musuh.

Pada hari ini kita berjumpa dengan dua figur yakni Yeremia dan Yesus Kristus. Kedua-duanya menderita di tengah saudara-saudara mereka. Nabi Yeremia terkenal sebagai pejuang kasih dan keadilan. Ia bercita-cita agar nama Tuhan benar-benar dimuliakan di atas bumi ini ketika semua orang merasakan kasih dan keadilan. Nabi melihat bahwa para pemimpin memiliki kelemahan yakni terlampau memperhatikan dirinya sendiri dan lupa untuk mengabdi kepada manusia. Ini tentu berlawanan dengan kasih Tuhan. Tuhan mau mengabdi kepada menusia. Di dalam Kitab Perjanjian Baru kita mengingat bahwa Tuhan Allah sendiri rela melupakan puteraNya dengan mengorbankanNya di atas kayu salib. Ia menebus manusia melalui penderitaan dan kematian. Ketika bangkit dari alam maut semua orang bersukacita karena penebusan yang berlimpah dialami bersama.

Perjuangan Yeremia mengalami tantangan besar dari pihak keluarganya. Ia dianiaya secara fisik dan verbal dan merasa sendirian. Ia ditinggalkan oleh semua orang yang pernah dekat dengannya. Perhatikan bagaimana sikap sanak saudara memperlakukannya: “Aku telah mendengar bisikan banyak orang: ‘Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Kita mau mengadukan dia!’ Semua orang sahabat karibku mengintai apakah aku tersandung jatuh: ‘Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” (Yer 20:10). Rencana busuk untuk menghancurkan Yeremia datang dari orang-orang yang dekat dengannya. Kita pun memiliki pengalaman tertentu. Rahasia kehidupan kita bisa masuk ke dalam Flashdisk kemudian disebarkan oleh saudara Google di dunia maya. Itu ulah orang-orang yang dekat dengan kita. Maka tidak semua saudara adalah saudara yang baik. Kita memiliki banyak teman dan kawan tetapi hanya sedikit yang menjadi sahabat sejati.

Yeremia hanya mempunyai satu harapan yaitu Tuhan. Dia sendiri adalah utusan Tuhan yang sekaligus memberi teladan beriman secara radikal. Pada saat ada badai yang menghadang, Tuhan adalah andalan hidup kita. Terlepas dari Tuhan kita tidak bisa berbuat apa-apa (Yoh 15:5). Perhatikan bagaimana ungkapan iman Yeremia: “Tetapi Tuhan menyertai aku seperti pahlawan yang gagah, sebab itu orang-orang yang mengejar aku akan tersandung jatuh dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan menjadi malu sekali, sebab mereka tidak berhasil, suatu noda yang selama-lamanya tidak terlupakan!” (Yer 20:11). Orang yang berharap kepada Tuhan mengalami kelimpahan rahmat meskipun penderitaan selalu ada di depan mata mereka. Yeremia merasakannya ketika para musuhnya ditaklukan oleh Tuhan.

Reaksi akhir dari Yeremia adalah ia bersyukur kepada Tuhan. Ia merasakan penderitaan dan kemalangan tetapi Tuhan menjadi satu-satunya penolong di saat yang tepat. Oleh karena itu ia mengungkapkan rasa syukurnya: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku. Menyanyilah untuk Tuhan, pujilah Tuhan! Sebab ia telah melepaskan nyawa orang miskin dari tangan orang-orang yang berbuat jahat.” (Yer 20:12-13). Yeremia masih tahu bersyukur kepada Tuhan. Ini yang berbeda dengan kita. Kita lupa bersyukur kepada Tuhan. Banyak di antara kita yang ingat Tuhan hanya pada saat ada pergumulan hidup saja, setelah badai pergumulan berlalu maka Tuhan juga tidak perlu lagi.

Pengalaman nabi Yeremia adalah pengalaman Yesus Kristus sendiri. Tuhan Yesus datang ke dunia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa tetapi orang-orang Yahudi saat itu tidak menerima Dia. Orang-orang Yahudi saat itu mengatakan bahwa Yesus memiliki kesalahan besar yaitu meniadakan hari Sabat dan menganggap diriNya sebagai Allah. Ia mengklaim diriNya sebagai Anak Allah. Bagi orang Yahudi ini suatu hujatan kepada Tuhan kalau seorang manusia menyamakan dirinya dengan Allah. Hukumannya adalah kematian!

Tuhan Yesus berusaha untuk menjelaskannya demikian: “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” (Yoh 10:37-38). Tepat sekali penjelasan Yesus bahwa Dia datang ke dunia bukan atas kemauanNya sendiri melainkan kemauan dari Bapa di Surga. Oleh karena itu kalau orang-orang Yahudi tidak percaya kepadaNya sekurang-kurangnya mereka percaya kepada semua pekerjaan Yesus karena semua itu adalah pekerjaan Bapa sendiri. Dengan mengatakan demikian Yesus semakin di benci, hati orang saat itu semakin keras sehingga Ia pergi ke seberang sungai Yordan. Di sana semua pekerjaan Yesus diakui sebagaimana sudah dikatakan oleh Yohanes Pembaptis.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini memfokuskan perhatian kita pada nilai rohani dari penderitaan. Nabi Yeremia memperjuangkan kasih dan keadilan tetapi ia sendiri mengalami penderitaan karena orang-orang dekatnya bahkan mereka meninggalkannya seorang diri. Yesus melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa bahkan Ia menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang tetapi orang Yahudi tidak menerimaNya. Mereka bahkan berusaha untuk membunuhNya. Kita pun memiliki seribu satu kesulitan hidup, penderitaan yang datang silih berganti. Hanya dengan berharap kepada Tuhan seperti Yeremia dan Yesus Kristus kita dapat mengatasi segala persoalan hidup ini. Tuhan tidak akan membiarkan kita sendirian memikul salib, Dialah yang ikut memikul salib kita.

Doa: Tuhan, bantulah kami supaya boleh memahami penderitaan hidup kamisetiap hari dan kiranya semua pengalaman ini mendewasakan kami dalam iman. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply