Homili 20 November 2014

Hari Kamis, Pekan Biasa XXXIII
Why 5:1-10
Mzm 149: 1-2.3-4.5-6a.9b
Luk 19: 41-44

Damai itu butuh pengorbanan diri!

Fr. JohnKetika masih bertugas di Timor Leste, saya pernah mendapat kesempatan menyiapkan materi katekese untuk umat menyongsong proklamasi kemerdekaan Timor Leste bulan Mei 2002. Tema umumnya tentang memahami makna kemerdekaan. Ada juga pembahasan tentang membangun rasa damai sebagai manusia yang merdeka. Ada seorang guru agama yang berkomentar saat sosialisasi bahan-bahan katekese ini: “Romo, damai itu indah tetapi butuh pengorbanan yang besar selama 24 tahun untuk mewujudkannya. Namun damai tetaplah sebuah cita-cita yang masih dalam taraf perjuangan.” Saya merasa bahwa kata-kata guru agama ini ada benarnya. Saya membayangkan kembali Tuhan Yesus. Ia membawa damai, Ia harus mengorbankan diriNya, hingga wafat di kayu salib.

Manusia yang merdeka adalah pribadi yang merasakan kedamaian. Lebih khusus lagi, manusia yang dimerdekakan Kristus sang Kebenaran akan mengalami kedamaian sejati. Tuhan Yesus pernah berkata: “Kebenaran memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Di bagian lain Ia berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” (Yoh 14:27). Dan dalam Sabda Bahagia, Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mt 5:9).

Kata-kata Yesus ini sangat menarik perhatian kita. Dia adalah raja damai (Yes 9:6) yang mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera (Luk 1:79). Yesus raja damai, lahir ke dunia, membawa damai ke dalam hati setiap orang sebagaimana dikatakan para malaikat kepada gembala-gembala miskin: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk 2:14). Untuk mewujudkan damai, butuh pengorbanan yang luar biasa. Ia merendahkan diri sampai wafat di kayu salib.

Perikop Injil pada hari ini mengisahkan bagaimana Tuhan Yesus memasuki kota Yerusalem untuk mewujudkan kasih dan pengampunanNya tanpa batas. Dari atas bukit Zaitun, Ia melihat kota Yerusalem, kota damai. Ia menunjukkan sisi kemanusiaan dan keilahianNya dengan menangisi kota Yerusalem. Kota Yerusalem sebagai kota damai tetapi hanyalah sebuah nama tanpa makna karena manusia yang menghuninya masih keras hati. Mereka tidak merasakan sapaan Tuhan melalui para nabi, bahkan kehadiran Yesus yang membawa damai juga tidak disambut oleh mereka. Apa yang masih kurang dari kasih Allah?

Yesus menangisi kota Yerusalem dengan bersabda: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau.” (Luk 19:42-44).

Ungkapan hati Yesus ini menunjukan betapa lamban dan kerasnya hati para penghuni kota damai. Mereka belum sepenuhnya mengenal Yesus Kristus sehingga tida bisa mengerti apa artinya damai sejahtera. Karena belum mengenal Yesus maka mereka pun tidak bisa merasakan damai sejahtera yang dititipkan Yesus. Apa pengaruhnya? Yesus menubuatkan hancurnya kota Yerusalem, dan sungguh nubuat itu akan terjadi pada tahun 70M. Seluruh kota Yerusalem dihancurkan oleh orang Romawi. Tuhan boleh melawati mereka, tetapi mereka tidak sadar diri. Mereka hanya punya rasa bangga akan masa lalu sebagai bangsa terpilih, tetapi Tuhan sudah mengambil hak mereka dan memberikan kepada orang lain. Mereka yang terdahulu akan menjadi yang pertama.

Kisah Injil ini menarik perhatian kita. Tuhan menunjukkan kasih dan kuasaNya kepada manusia tetapi manusia kurang menanggapinya. Kita pun banyak kali merasa puas sebagai orang yang dibaptis tetapi hidup kita jauh dari Tuhan. Kita mengakui diri kita pengikut Kristus tetapi hidup kita tidak kristiani. Sikap memecah belah, brutal, penuh kekerasan fisik dan verbal masih menguasai banyak orang yang mengakui diri pengikut Yesus dari Nazareth. Hidup semacam ini tidaklah mendukung rasa damai dalam bathin kita.

Yohanes dalam Kitab Wahyu memiliki penglihatan baru: di tangan kanan Tuhan terdapat gulungan Kitab yang ditulis luar dan dalam dan dimeterai dengan tujuh meterai. Ada seorang malaikat yang berseru menanyakan kelayakan untuk membuka gulungan Kitab itu. Gulungan Kitab hanya bisa dibuka oleh Dia yang menang, singa Yehuda, yakni tunas Daud. Dialah yang berhak membuka gulungan kitab dan meterai itu. Dialah Anak domba yang disembeli.

Anak Domba dalam penglihatan Yohanes adalah Yesus Kristus sendiri. Inilah nyanyian pujian baginNya: “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.” (Why 5:9-10). Kidung ini menandakan bahwa damai sejati itu butuh pengorbanan yang besar. Kita bersyukur kepada Tuhan karena anugerah pengorbanan diri Yesus Kristus Putera Allah.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk setia kepadaMu, membangun damaiMu di dalam hati, keluarga dan bangsa kami. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply