Homili 14 Oktober 2015

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXVIII
Rm. 2:1-11
Mzm. 62:2-3.6-7.9
Luk. 11:42-46

Tuhan membalas setiap orang menurut perbuatannya

imageAda seorang sahabat yang memberi kesaksian tentang kebaikan-kebaikan ayahnya pada peringatan lima tahun meninggalnya sang ayah. Ia mengakui bahwa ayahnya adalah orang baik. Dari semua pengalaman indah bersamanya, ia tetap mengingat nasihat harian ayahnya supaya ia selalu berbuat baik kepada siapa saja dan di mana pun ia berada. Pada suatu hari ia bertanya kepada ayahnya mengapa ia selalu mengulangi nasihat yang sama yakni supaya selalu berbuat baik. Ayahnya mengatakan kepadanya bahwa sebagai ayah ia tidak pernah berlaku jahat terhadap orang lain dan bahwa Tuhan sendiri akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. Artinya kalau kita berbuat baik maka perbuatan baik itu seperti bumerang bagi diri kita sendiri. Ayat kitab suci yang sering dikutip sang ayah adalah: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka.” (Mat 7:12).

Sharing sederhana ini menggugah hidup banyak ayah pada malam itu. Semua sahabat yang hadir menganggukkan kepala sambil mengenang segala kebaikan orang tua itu. Pendidikan nilai dimulai dari dalam keluarga sendiri. Orang tua dengan caranya sendiri mendidik anak-anak untuk bertumbuh sesuai dengan kehendak Tuhan. Semangat untuk saling menghormati sebagai saudara, tidak berhenti berbuat baik kepada siapa saja, membangun sikap hidup yang jujur dan tekun, setia dalam komitmen pribadi merupakan nilai-nilai universal yang patut dilakukan oleh setiap orang.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutaan pengajaran St. Paulus kepada jemaat di Roma. Kali ini Paulus mengajak jemaat di Roma untuk tidak menghakimi sesamanya. Kita semua adalah pribadi-pribadi yang rapuh, mudah dikuasai oleh salah dan dosa. Inilah perkataan Paulus: “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” (Rm 2:1). Perkataan Paulus ini masih aktual dalam upaya untuk membangun kebersamaan dalam Gereja dan masyarakat. Hampir setiap hari kita berlaku sebagai hakim bagi sesama, mengadili mereka di dalam hati, merasa diri lebih baik dari sesama. Padahal hidup kita juga penuh dengan kerapuhan hidup. Hukuman dari Allah selalu jujur bagi mereka yang selalu jatuh dalam dosa.

Akibat dosa asal kita semua telah jatuh dalam dosa-dosa yang berlawanan dengan kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Kita juga memiliki kecendrungan untuk mengulangi dosa-dosa yang sama padahal sudah ada niat baik dan kemauan keras. Kita memiliki kecenderungan lain yakni suka menghakimi orang lain padahal kita sendiri melakukannya di dalam diri kita dan mungkin lebih jahat dari orang lain. Allah kita murah hati dan kita percaya bahwa mukjizat itu nyata. Pertobatan adalah jalan untuk mengalami Allah hari demi hari.

Selanjutnya, apa yang Tuhan lakukan bagi manusia? Paulus mengatakan bahwa Tuhan sendiri akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. Pembalasan dari Tuhan adalah: “Hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani. Sebab Allah tidak memandang bulu.” (Rm 2: 6-11).

Pengajaran Paulus ini masih sangat relevan dengan kehidupan kita pada masa ini. Kita semua adalah makluk sosial. Ini berarti kita membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidup kita. Maka relasi sosial memang harus kita bangun bersama. Prinsip kasih dan keadilan harus tetap ada di dalam hidup kita secara pribadi dalam berelasi dengan sesama yang lain. Ketulusan hati merupakan senjata yang ampuh untuk membasmi segala kesombongan manusiawi.

Tuhan Yesus dalam Injil mengecam kaum Farisi yang menyukai hidup penuh kemunafikan. Mereka layak dikecam Yesus dengan menggunakan kata “celakalah” karena sikap mereka sangat legalis. Mereka mau melakukan hukum Taurat secara murni dan konsekuen tetapi prinsip-prinsip keadilan dan kasih Allah diabaikan begitu saja. Tuhan Yesus juga mengecam mereka karena menyukai popularitas, suka dihormati dan dibanggakan orang lain. Sikap sombong dan egois masih menguasai seluruh hidup kita. Tuhan Yesus menambah kecamannya kepada kaum Farisi karena mereka sama seperti kubur yang tidak memakai tanda. Di dalam kubur itu penuh tulang belulang dan kotoran yang menjijikan sementara di luar kubur penuh keindahan palsu. Yesus juga mengecam para ahli Taurat karena kemunafikan mereka. Ia berkata: “Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.” (Luk 11:46).

Apa yang Tuhan Yesus kehendaki dari kita semua? Tuhan Yesus menghendaki supaya kita semua bisa menjadi orang yang hidup tak bercacat di hadirat-Nya. Untuk itu kita perlu menghindari sikap munafik dan kalau ada sikap ini, sedapat mungkin kita jauhkan dalam seluruh kehidupan kita. Tuhan Allah sendiri melihat dan membalas semua perbuatan kita kepada-Nya dan kepada sesama kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply