Homili 19 Agustus 2017

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIX
Yos. 24:14-29
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,11
Mat. 19:13-15

Pilihan ada di tangan anda!

Pada suatu kesempatan saya menyaksikan sebuah animasi permainan yang dilakukan oleh Event Organizer bersama sekelompok orang muda. Mereka menyebarkan biji-biji kelereng beraneka warna di atas lapangan berumput. Para peserta diberikan kebebasan untuk memilih sebanyak mungkin kelereng yang ada sesuai dengan warna kesukaan mereka dan dalam batas waktu yang ditentukan. Para peserta pun melakukannya sesuai dengan instruksi yang ada. Setelah selesai mengumpulkan biji-biji kelereng, para peserta diarahkan untuk memahami permainan, dan bagaimana permainan itu menjadi sarana untuk mengungkapkan diri sesuai warna pilihan mereka. Panitia yang menganimasi permainan ini berulang kali mengatakan kepada para peserta kalimat-kalimat ini: “Hidupmu adalah pilihanmu. Pilihan-pilihan hidup itu ada di tanganmu sendiri. Pilihan-pilihan warna mencerminkan siapakah dirimu di hadapan Tuhan dan sesama” Kalimat-kalimat ini menjadi bahan refleksi para peserta selama pertemuan kaum muda pada akhir pekan itu.

Saya sendiri menikmati permainan seperti ini karena sangat mendidik dan membantu anak-anak muda untuk berefleksi. Ada nilai-nilai edukasi tertentu yang sangat membantu anak-anak muda untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya. Panitia memberi apresiasi dan penilaian tertentu kepada mereka yang mengumpulkan kelereng paling banyak. Pantia juga dapat menilai langsung di tempat, peserta yang rajin dan malas, peserta yang kreatif dan tidak kreatif, peserta yang benar-benar memilih dan yang sekedar memilih. Para peserta sendiri menunjukkan sebagian dari keasilian hidup mereka melalui permainan ini. Ada yang mengakui bahwa melalui permainan sederhana ini, mereka dapat menemukan dirinya.

Bacaan pertama pada hari ini mengisahkan tentang wejangan terakhir Yosua kepada umat Israel sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yosua mengharapkan supaya bangsa Israel tetap bertakwa dan beribadah kepada Tuhan dengan tulus ikhlas dan setia. Mereka perlu mengambil sikap dengan menjauhkan dewa-dewa yang pernah disembah oleh nenek moyang mereka di seberang sungai Efrat dan Mesir, dan hanya memilih untuk beribadah kepada Tuhan Allah saja. Namun Yosua juga mengingatkan mereka bahwa apabila mereka menganggap tidak baik untuk beribadah kepada Tuhan maka pilihan ada di tangan mereka. Dalam hal ini, mereka boleh memilih untuk beribadah kepada Tuhan atau beribadah kepada dewa-dewa yang sudah disembah nenek moyang mereka di seberang sungai Efrat atau dewa-dewa orang Amori. Yosua sebagai pemimpin menawarkan kepada mereka dan diharapkan mereka dengan bebas memilih yang terbaik yakni Tuhan mana yang dapat mereka imani. Yosua sendiri dengan tegas mengakui di depan mereka: “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!” (Yos 24:15).

Reaksi spontan datang dari seluruh bangsa Israel setelah mendengar perkataan dan kesaksian Yosua. Mereka serentak mengaku akan menjauh dari dewa-dewa asing dan tetap teguh mengimani Tuhan Allah. Bagi mereka, Tuhan Allahlah yang menuntun bani Israel keluar dari perbudakan Mesir. Tuhan Allah sendiri telah membuat tanda-tanda dan mukjizat yang besar di depan mata mereka. Tuhan adalah pelindung yang setia bagi bani Israel dalam perjalanan menuju tanah terjanji. Tuhan sendiri sudah menghalau semua bangsa dan bangsa Amori di hadapan mereka. Pada akhirnya mereka juga menunjukkan pilihan hidup mereka dengan berkata: “Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita” (Yos 24:18).

Yosua menyimak semua jawaban mereka dan memahaminya. Tentu saja kita melihat bahwa jawaban bani Israel sangatlah tepat karena mereka mengenang kembali segala perbuatan baik yang dilakukan Tuhan bagi mereka. Yosua meneguhkan mereka dengan berkata: “Tidaklah kamu sanggup beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah yang kudus, Dialah Allah yang cemburu. Ia tidak akan mengampuni kesalahan dan dosamu. Apabila kamu meninggalkan Tuhan dan beribadah kepada allah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu dan melakukan yang tidak baik kepada kamu serta membinasakan kamu, setelah Ia melakukan yang baik kepada kamu dahulu.” (Yos 24: 19-20). Di pihak Bani Israel, mereka sebulat hati menegaskan bahwa mereka akan tetap beribadah kepada Tuhan. Ini adalah satu-satunya pilihan mereka untuk tetap setia beribadah kepada Tuhan. Yosua juga mengharapkan agar sejak saat itu mereka berani untuk meninggalkan dewa-dewa asing dan mencondongkan hati dan pikiran mereka hanya kepada Tuhan Allah saja. Mereka berjanji untuk beribadah dan mendengarkan Sabda Tuhan Allah.

Puncak dari dialog Yosua dan bani Israel adalah ikatan perjanjian. Yosua mengikat perjanjian dengan bangsa Israel dan membuat ketetapan dan peraturan bagi mereka di Sikhem. Ia juga menempatkan sebuah batu sebagai tanda perjanjian antara Bani Israel dengan Tuhan Allah. Bangsa Isarel lalu menempati lokasi-lokasi sesuai dengan pembagian berdasarkan suku-suku Israel. Mereka semua bersukacita menempati tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Yosua, sang pemimpin yang mengantar mereka untuk masuk ke tanah terjanji menghembuskan nafasnya di usia seratus sepuluh tahun.

Kisah Yosua bersama bangsa Israel di Sikhem ini memang menarik perhatian kita semua. Bangsa Israel sudah masuk dan menduduki tanah terjanji sesuai dengan suku-suku mereka. Satu hal penting yang tidak boleh mereka lupakan adalah tetap membangun relasi dengan Tuhan. Tuhan menganugerahkan martabat kebebasan kepada mereka. Maka mereka pun bebas untuk memilih beribadah kepada Tuhan. Tuhan memperhatikan kebebasan mereka sebagai anak-anak Allah.

Hidup adalah pilihan dan kita diharapkan untuk menghidupi pilihan kita sebagai orang merdeka. Tantangan yang selalu kita hadapi adalah adanya kecenderungan untuk menghalangi sesama supaya berelasi dengan Tuhan. Dalam bacaan Injil misalnya, para murid Yesus menghalangi anak-anak kecil yang di antar orang tuanya untuk mendapatkan berkat dari Yesus. Para murid menghalangi dengan memarahi para orang tua itu. Tuhan Yesus sangat tanggap dengan situasi ini. Ia berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14). Tuhan Yesus lalu memberkati anak-anak itu.

Banyak kali kita mungkin lebih serupa dengan para murid Yesus yang sadar dan senang untuk memarahi orang lain yang hendak berjumpa dengan Tuhan. Mungkin kita adalah penghalang-penghalang perjumpaan sesama dengan Tuhan. Hal ini bisa kita lakukan melalui tutur kata, dan perilaku tertentu. Misalnya, ada yang suka bercerita dan isi ceritanya tendensius menjatuhkan orang ke dalam dosa. Kita sebaiknya belajar dari Yosua yang sabar untuk membimbing bani Israel supaya setia beribadah kepada Tuhan Allah. Kita belajar untuk loyal kepada Tuhan seperti Bani Israel di tanah Sikhem. Kita juga belajar untuk menjadi serupa dengan Yesus yang siap memberkati sesama di sekitar kita. Pada hari ini kita mengganti marah yang menghalangi sesama untuk bertemu dengan Tuhan dan menggantinya dengan berkat yang mempersatukan kita semua dengan Tuhan. Pilihan tetap ada di tanganmu maka jalanilah pilihanmu itu.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply