Homili 27 Oktober 2017

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXIX
Rm. 7:18-25a
Mzm. 119:66,68,76,77,93.94
Luk. 12:54-59

Hanya Yesuslah Penyelamatku!

Ada seorang pemuda yang pernah memberi kesaksian tentang pengalaman pertobatannya dalam suatu retret bersama. Ia mengaku berasal dari keluarga yang baik secara material dan rohani. Orang tuanya sangat aktif dalam pelayanan di Gereja lokal. Para Romo di parokinya sering mengunjungi keluarganya, Romo-Romo dari luar kota pun sering menginap di rumahnya. Suasana keluarga seperti ini turut menguatkan kehidupan rohaninya. Namun ketika ia sudah jauh dari rumah karena alasan studi, hidup rohaninya berubah total. Kebiasaannya untuk menghadiri perayaan Ekaristi, menerima sakramen-sakramen tertentu di gereja bukan lagi menjadi bagian dari hidupnya. Ia selalu mencari alasan untuk membenarkan dirinya supaya tidak pergi ke Gereja, tidak berdoa dan tidak berniat untuk bersatu dengan Tuhan. Suasana ini berlangsung cukup lama dalam hidupnya.

Pada suatu hari ia mendengar kesaksian dari seorang pemuda non katolik. Pemuda itu bercerita bahwa ia selalu sakit sehingga sempat beberapa kali opname di rumah sakit. Ada sebuah pengalaman yang mengubah seluruh hidupnya. Konon ia bermimpi didatangi oleh seorang pria yang menggunakan jubah putih, tinggi, ganteng, wajahnya berseri-seri. Pria itu datang kepadanya dan berjanji untuk menyembuhkannya saat itu juga. Benar! Ia mengalami kesembuhan total. Ia membayangkan wajah orang berjubah putih sama persis dengan sebuah patung yang ia lihat di dalam sebuah Gereja. Orang Nazrani menyebutnya Yesus Kristus. Akhir kisah itu ditandai dengan pengakuan iman pemuda non katolik itu : “Tuhan Yesus menyembuhkanku. Sekarang saya bersaksi bahwa Yesus adalah Tuhan. Hanya Yesuslah Penyelamatku.” Pemuda itu bertanya: “Apakah anda percaya bahwa Yesus adalah satu-satunya Penyelamatmu?”. Ini adalah kesaksian pemuda non Katolik yang benar-benar mengubah seluruh hidupnya. Mukjizat menjadi nyata karena kuasa Tuhan yang besar bagi kita semua.

St. Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma berkata: “Saudara-saudara, aku tahu tiada sesuatu yang baik dalam diriku sebagai manusia. Sebab kehendak memang ada di dalam diriku, tetapi berbuat baik tidak ada.” Ia jujur mengatakan apa adanya tentang dirinya di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Sebagai akibat dosa asal maka semua orang ikut mengalami dampak dari dosa asal ini yakni memiliki hidup dalam dua kutub yang berbeda yakni adanya kebaikan dan kejahatan. Setiap kali orang berniat untuk berbuat baik, maka kejahatan selalu hadir untuk mengganggu perbuatan baik. St. Agustinus menamakan ini dengan istilah konkupisensa.

Katekismus Gereja Katolik mengajar kita: “Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, ‘siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota’ (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515). [KGK, 1264].

St. Paulus mengakui dalam dirinya seperti ini: “Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” (Rm 7: 21-23). Bagi saya ini adalah sebuah kejujuran Paulus di hadirat Tuhan. Ia tidak menutup-nutupi dosannya, tetapi dengan rendah hati mengakui dirinya sebagai orang berdosa. Paulus mengajar kita supaya memiliki perasaan bathin sebagai orang berdosa bukan menutup-nutupi dosa kita.

Satu tantangan yang besar bagi orang-orang modern adalah kehilangan perasaan bersalah. Para imam, biarawan dan biarawati, para aktivis di Gereja, para pelayan dan hamba Tuhan umumnya sering lupa bahwa mereka juga masih berada di dunia dan memiliki konkupisensa. Mereka juga orang berdosa. Tetapi mungkin mereka merasa dekat dengan Tuhan sehingga tidak mengakui dosa-dosanya. Padahal itu hanya perasaan mereka saja. Paulus yang mendapat penugasan khusus dari Allah Roh Kudus saja masih merasa diri sebagai orang berdosa, mengapa banyak di antara kita yang merasa diri sudah suci di dunia ini? Seharusnya kita rendah hati dan berkata seperti Paulus: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Rm 7:24-25). Paulus mempertegas misi Yesus sebagai satu-satunya Penyelamat orang berdosa.

Apa yang harus kita lakukan sepanjang hidup kita?

Tuhan Yesus mengingatkan kita dalam Injil untuk pandai membaca tanda-tanda zaman. Banyak orang pandai membaca tanda-tanda di alam seperti posisi awan, arah angin yang menyebabkan adanya perubahan cuaca. Semua tebakan itu benar adanya. Namun sayang sekali orang belum mampu membaca tanda-tanda zaman. Ini adalah sebuah kemunafikan manusia. Sikap batin yang perlu dibangun adalah bertobat, dengan menerima Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat kita. Menolak Yesus berarti menerima kematian kekal, menerima Yesus berarti menerima hidup kekal. Kita juga membutuhkan damai. Damai yang benar berasal dari Tuhan dan bertumbuh dari dalam hati kita. Tugas kita adalah membawa damai kepada sesama dan dengan demikian menjadi anak-anak Allah.

Pada hari ini kita perlu bersyukur kepada Tuhan sebab sabda-Nya selalu memiliki kekuatan untuk membaharui hidup kita. Semoga sabda-Nya membaharui kita dari hidup lama yang penuh dengan konkupisensa, dengan hidup baru dalam Yesus Kristus.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply