Homili 13 Juli 2018

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIV
Hos. 14:2-10
Mzm. 51:3-4,8-9,12-13,14,17
Mat. 10:16-23

Sebuah Perutusan yang sulit!

Ada banyak orang yang berpikir bahwa dalam menjalani hidup sebagai imam, biarawan dan biarawati itu enak. Saya pernah dipancing dengan pernyataan semacam ini oleh seorang umat: “Hidup sebagai Romo itu enak ya sebab Tuhan pasti menepati janji-Nya untuk memberikan seratus kali lipat kepadamu.” Saya mendengar dan menyimak pernyataan ini. Selanjutnya saya mengometarinya seperti ini: “Apa yang enak dalam hidup seperti kami? Saya yang menjalani hidup semacam ini merasa luar biasa bukan karena enak dan tidak enaknya tetapi karena saya mau mengabdikan diri dengan tulus bagi Tuhan dan sesama.” Bagi saya, hidup dan pengabdian saya ini bukan semata-mata bergantung pada enak dan tidak enaknya pengalaman pribadi, namun sejauh mana saya membahagiakan orang lain, membantu orang untuk menemukan makna hidup yang sebenarnya. Ini memang butuh pengurbanan diri yang besar karena setiap orang selalu berbeda satu sama lain.

Tuhan Yesus mengetahui hidup pribadi para pillihan-Nya. Ia sudah memanggil dua belas orang untuk menjadi rekan-rekan kerja-Nya. Ketika mengutus mereka sebagai Rasul untuk melakukan semua pekerjaan-Nya, Ia mengingatkan mereka bahwa sebagai Rasul atau Utusan-Nya, mereka akan mengalami banyak pengalaman sulit dan berat yang nantinya dapat mendewasakan diri mereka sebagai menjadi Rasul. Kita mengenal para Rasul dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Petrus adalah tipe pribadi yang sulit dipegang sebab ia kelihatan tidak tetap pendiriannya. Ia menyangkal Yesus tiga kali. Yakobus dan Yohanes memiliki ambisi tertentu untuk memimpin. Thomas kurang percaya dan Yudas Iskhariot sebagai pengkhianat. Mereka yang lain memiliki cerita hidup tersendiri di hadapan Yesus. Tuhan Yesus tetap memanggil dan memilih serta mengutus mereka. Ia mengingatkan mereka dengan berkata: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat 10:16). Utusan yang benar harus berani beradaptasi, memperjuangkan kebenaran dan keadilan seperti diamanatkan oleh Yesus sendiri. Utusan yang benar itu seperti domba yang berada di tengah-tengah serigala maka ia hendaklah menjadi garam dan terang. Garam itu rela meleburkan dirinya ke dalam makanan dan memberi rasa terhadap makanan dari dalam makanan itu sendiri. Hanya dengan demikian sang Utusan dapat mengubah hidup orang lain dari dalam.

Sebuah perutusan yang sulit akan selalu dialami oleh para pengikut Yesus Kristus di dunia ini. Kita memahami realitas kita sebagai golongan minoritas. Label kafir, warga negara kelas dua, larangan untuk membangun rumah ibadah dan beribadah sedang dialami oleh banyak saudara-dan saudari kita di nusantara tercinta ini. Banyak di antara mereka bahkan menjadi martir zaman ini karena aneka kekerasan yang mereka alami. Tuhan Yesus sudah mengetahui semua ini, maka Ia mengatakan: “Waspadalah terhadap semua orang; karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah.” (Mat 10:17-18). Semua perkataan Yesus ini sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Untuk itu kita membutuhkan Yesus supaya mendampingi dan menguatkan kita dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup ini.

Menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah Tuhan Yesus membiarkan para murid-Nya menderita? Apakah Tuhan Yesus membiarkan Gereja-Nya hancur? Kata tidak adalah jawabannya. Tuhan Yesus sendiri sudah berjanji untuk menyertai Gereja-Nya hingga akhir zaman. Sebab itu dalam kesulitan apapun, Ia tetap menjanjikan Roh Kudus. Dialah Penghibur yang akan membuka pikiran kita, mengajarkan segala sesuatu untuk membela dan mempertahankan diri kita di hadapan para serigala. Semua anugerah Tuhan akan mengalir dalam diri kita dan keselamatan adalah jaminnannya. Hal terpenting adalah daya tahan terhadap berbagai kesulitan sebab gelombang penganiayaan akan datang mulai dalam keluarga dan juga dari luar keluarga. Daya tahan dan kepercayaan kepada Roh Kudus akan membawa berkat dan keselamatan. Tuhan Yesus berkata: “Sungguh, sebelum kaian selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang.” (Mat 10:23).

Apa yang harus kita lakukan?

Nabi Hosea dalam bacaan pertama mengajak kita supaya membangun semangat pertobatan. Sebuah pertobatan yang radikal dapatlah menguatkan hidup kita untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus sendiri. Ia berkata: “Bawalah sertamu kata-kata penyesalan, dan bertobatlah kepada Tuhan! Katakanlah kepada-Nya: “Ampunilah segala kesalahan, sehingga kami mendapat yang baik, maka kami akan mempersembahkan pengakuan kami.” (Hos 14:2). Semangat pertobatan akan membantu kita untuk memiliki pengalaman akan kerahiman Allah. Semangat pertobatan ini membantu kita untuk menjadi rasul yang tulus, tahan banting karena kasih setia kepada Tuhan Yesus.

Nabi Hosea juga membuka wawasan kita untuk semakin mengenal Allah sebagai kasih. Sebuah konsep luhur yang disampaikan oleh Yohanes (1Yoh 3:8.16). Hosea sendiri berkata: “Aku akan memulihkan mereka dari penyelewengan, Aku akan mengasihi mereka dengan sukarela, sebab murka-Ku telah surut dari pada mereka.” (Hos 14:4). Pengampunan Tuhan ini yang mendekatkan manusia berdosa dengan Tuhan sebagai sumber kebaikan. Dalam suasan menderita, aneka kesulitan yang berdatangan silih berganti maka baiklah kita kembali kepada Tuhan. Dialah yang mengampuni dan mengasihi kita. Dialah yang akan menjaga dan melindungi kita dari musuh-musuh.

Pada hari ini marilah kita berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan Yesus atas penyertaan-Nya bagi Gereja. Hiduplah dalam kasih dan pengampunan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply