Food For Thought: Sepatu

Setia sampai tua

Pada hari Minggu tanggal 15 Juli 2018, saya memberikati sepasang suami dan istri di Gereja Santa Maria Tak Bernoda Surabaya. Sebelum memulai perayaan Ekaristi, saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang sahabat yang saya berkati pernikahannya tujuh tahun silam. Pesan singkat tersebut merupakan sebuah kutipan tentang sepatu yang kepanjangannnya adalah “setia sampai tua”. Dikatakan bahwa pasangan terbaik itu seperti sepasang sepatu, sebab: Pertama, bentuk sepatu itu tidak persis sama namun serasi. Kedua, saat berjalan tak pernah kompak tetapi tujuan sama. Ketiga, tidak pernah ganti posis, namun saling melengkapi. Keempat, selalu sederajat tak ada yang lebih rendah atau tinggi. Kelima, bila yang satu hilang mana yang lain tidak memiliki arti. Saya tersenyum sambil berkata dalam hati bahwa kutipan ini akan menginspirasikan saya untuk menyampaikannya dalam homili tentang pernikahan.

Pasangan suami istri memang ibarat sepasang sepatu. Ada banyak perbedaan di antara mereka sebagai individu, pria dan wanita. Ini adalah hal yang wajar saja maka keduanya memang tidak persis sama namun bisa serasi karena merupakan pribadi-pribadi yang sepadan atau cocok. Kadang-kadang pasangan suami istri itu berbeda pendapat, memiliki karakter yang berbeda satu sama lain namun tujuan hidup berkeluarganya tetap sama yakni menjadi pribadi yang bahagia karena kasih. Pasangan suami dan istri memang sebagai pribadi yang berbeda namun selalu berusaha untuk saling melengkapi satu sama lain. Pasangan suami istri itu sederajat. Di dalam Kitab Kejadian dikatakan bahwa Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk, bukan dari tulang kepala atau kaki. Pasangan suami istri itu berziarah sampai usia lanjut dan meninggal dunia. Menjadi janda atau duda adalah tanda bahwa kalau satunya hilang maka yang lain tidak memiliki arti.

Satu krisis keluarga zaman now adalah komunikasi satu sama lain. Pada zaman doeloe para suami dan istri suka berbicara empat mata. Pada zaman ini para suami istri lebih suka berbicara melalui dunia maya. Rasanya setiap orang mengurus dirinya sendiri meskipun hidup di dalam satu rumah dan memiliki ikatan perkawinan. Ada juga hal yang menyedihkan sebab pasangan yang dapat hidup bersama tetapi tidak memiliki dokumen yang mengikat dari catatan sipil atau gereja. Kadang-kadang adat kebiasaan menjadi alat untuk menjadikan mereka hidup demikian. Ada kalanya pasangan suami dan istri sudah hidup bersama bertahun-tahun namun akhirnya gagal karena pilihan-pilihan kenikmatan yang menyesatkan. Mungkin orang lupa bahwa tujuan hidup berkeluarga bukan untuk mencari kenikmatan melainkan untuk mencari dan menemukan kebahagiaan sebagai pasangan hidup di dalam Tuhan.

Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa komunikasi yang baik akan membantu kita untuk menjadi semakin dekat dan semakin mengenal satu sama lain, untuk hidup bersama dalam satu kesatuan yang lebih besar. Tembok-tembok yang menjadi pemisah hidup kita hanya dapat diatasi ketika kita memiliki kemampuan untuk saling mendengar satu sama lain dan saling belajar dari yang lain. Saya yakin bahwa perkataan yang sama berlaku umum dalam hidup kita setiap hari. Komunikasi memang mampu mengikat kita sebagai pribadi yang berbeda untuk menjadi saudara. Kita perlu membangun sebuah kultur perjumpaan. Mari kita melihat di dalam keluarga masing-masing. Apakah kultur perjumpaan ini sungguh nyata atau hanya berada di dunia maya saja? Seorang sahabat pernah berkomentar: “Ada orang yang memiliki seribuan orang di facebook, tetapi ia tidak memiliki seorang teman pun”. Ini adalah ironi kehidupan kita zaman ini.

Pada hari ini mata kita kembali tertuju pada keluarga. Pasangan suami dan istri dalam keluarga laksana sepatu dan hendaklah mereka berusaha untuk menjadi setia sampai tua. Setialah dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Tuhan pasti membuka jalan bagi pasutri yang setia dan berharap kepada-Nya.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply