Homili 21 Agustus 2018

Peringatan Wajib St. Pius X
Yeh. 28:1-10
MT Ul. 32:26-27ab,27cd-28,30,35cd-36ab
Mat. 19:23-30

Mawas diri itu perlu dan harus

Saya selalu mengingat sebuah dialog menarik antara seorang ayah dengan anaknya yang masih di remaja di sebuah restoran. Ketika itu saatnya makan siang. Semua orang memesan makanan sesuai kebutuhan dan kesukaannya. Anak itu memesan makanan yang menurut dugaan saya barusan pertama kali ia memesannya. Mungkin rasanya pedas sehingga ia mulai batuk dan keluar air matanya. Ia tidak melanjutkan makan siangnya. Ayahnya dengan nada guyonan berkata: “Makanya hati-hati memesan makanan. Jangan rakus makanan ya.” Anak itu hanya mengangguk dan duduk dengan tenang melihat ayahnya menyelesaikan sisa makakan di dalam piringnya. Saya sendiri merasa heran dengan perkataan ayahnya yakni jangan rakus makanan. Kedengaran memang kasar dan tidak elok juga tidak cocok dalam mendidik anaknya. Namun ini nada guyonan sang ayah yang mungkin langsung tepat sasaran. Mereka berdua masih tertawa sambil meninggalkan restoran menuju ke mobil mereka.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan pengajaran Yesus tentang sikap lepas bebas dalam Injil Matius. Seorang pemuda tanpa nama kembali dengan penyesalan yang besar setelah Yesus mengatakan kepadanya untuk pergi, menjual segala yang dimilikinya, memberikannya kepada kaum miskin dan kembali mengikuti Yesus. Ia takut menjadi miskin di hadapan manusia dan menjadi kaya di hadapan Allah. Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat 5:2). Orang-orang miskin adalah kaum anawim yang memiliki harapan dan penyerahan diri kepada penyelenggaraan ilahi dari Allah saja. Itulah sebabnya Yesus mengatakan bahwa sangat sulit bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan surga. Ia bahkan membandingkan seekor unta akan muda melewati lubang jarum.

Lubang jarum atau eye of the needle sebuah gerbang di Yerusalem yang selalu dibuka setelah gerbang utama ditutup pada malam hari. Semua unta sebagai pemikul beban hanya bisa melewati gerbang ini kalau ia bisa membungkuk serendah mungkin, dan semua bebannya juga sudah diturunkan terlebih dahulu. Orang kaya digambarkan sebagai pribadi yang merasa lebih dari Tuhan dan sesama. Mereka sulit untuk membungkuk, merendahkan diri karena kekayaan yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang yang takut menjadi miskin di hadapan Tuhan sang pencipta. Orang-orang seperti ini pasti sulit untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Perkataan Yesus menggemparkan komunitasnya. Mereka langsung bertanya-tanya: “Adakah keselamatan bagi kita?” Ini juga merupakan tanda kekerdilan iman kita di hadapan Tuhan. Banyak orang boleh mengakui diri sebagai orang katolik tetapi iman kepada Yesus sangat dangkal. Mereka tejebak dalam pertanyaan: “Adakah keeselamatan bagi kita?” Keselamatan hanya ada di dalam Tuhan. Ini adalah iman kita. Yesus berkata: “Bagi manusia hal itu tidaklah mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu adalah mungkin.” Artinya jaminan keselamatan selalu terbuka kepada setiap orang yang berani meninggalkan segalanya untuk mengabdikan diri bagi Tuhan dan sesama. Don Bosco mengatakan kepada para orang tua: “Apabila kamu mengijinkan anakmu untuk masuk ke dalam kongregasi Salesian Don Bosco maka Tuhan Yesuslah yang akan menjadi penggantinya di dalam keluargamu.”

Mari kita memeriksa batin kita masing-masing. Di hadapan Tuhan kita begitu rapuh karena harta kekayaan dan kuasa. Harta kekayaan dapat membelenggu orang untuk tidak bebas mengasihi Tuhan dan sesama. Orang takut untuk berbagi. Padahal kita hanyalah administrator yang membagikan kasih Tuhan kepada sesama manusia. Ketika kekayaan menguasai kita maka sikap lepas bebas adalah taruhannya. Sikap lepas bebas akan membantu kita untuk mengatasi godaan hati kita kepada harta duniawi. Mari kita mawas diri.

Kerendahan hati adalah bagian yang penting dalam hidup kita. John J. McCloy adalah seorang pengacara dari Amerika. Ia pernah berkata: “Kerendahan hati menuntun pada kekuatan bukan kelemahan. Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri.” Saya sepakat dengannya karena kerendahan hati memang menguatkan hidup kita bukan melemahkan. Kerendahan hati membuat kita layak berdiri di hadirat Tuhan. Tanpa kerendahan hati, kesombongan akan merajai diri kita. Padahal siapakah hidup kita di hadirat Tuhan? Bukankah kita ini hanya berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu?

Kekuasaan adalah sebuah anugerah dari Tuhan. Namun kesombongan akan mengubah anugerah menjadi dosa. Raja Tirus adalah salah satu contoh yang tepat bagi kita hari ini. Ia tinggi hati di hadirat Tuhan bahkan mengakui dirinya sebagai Allah. Ia menduduki takhta Allah yang Mahakudus di tengah lautan. Ia berpikir bahwa ia memiliki level yang sama dengan Tuhan Allah. Kenyataannya Raja Tirus tetaplah manusia biasa, hanya dia sendiri yang merasa diri sebagai Allah. Ia memiliki hikmat yang mendatangkan kekayaan berupa emas dan perak. Ia bukan hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai pedagang yang hebat. Tuhan melihat semua gerak gerik raja Tirus. Sebab itu ia berkata: “Karena hatimu menempatkan diri sama dengan Allah maka, sungguh, Aku membawa orang asing melawan engkau, yaitu bangsa yang paling ganas, yang akan menghunus pedang mereka, melawan hikmatmu yang terpuja; dan semarakmu dinajiskan.” (Yeh 28:6-7). Hukuman kepada raja yang tidak mau bertobat adalah liang kubur. Kematian tragis akan menjadi jaminan bagi orang yang hidupnya jauh dari Tuhan seperti raja Tirus. Ini hukuman bagi orang yang tidak mawas diri dan sombong di hadirat Tuhan.

St. Pius ke-X, doakanlah kami. bantulah kami untuk rendah hati seperti engkau sendiri rendah hati di hadirat Tuhan. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply