Homili 31 Oktober 2018

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXX
Ef. 6:1-9
Mzm. 145:10-11,12-13ab,13cd-14
Luk. 13:22-30

Tuhan setia dalam perkataan-Nya

Seneca dikenal sebagai salah seorang negarawan, filsuf dan dramawan dari Kerajaan Romawi kuno. Ia pernah berkata: “Kesetiaan adalah kekayaan termulia di dalam hati manusia.” Banyak di antara kita yang mudah memahami perkataan Seneca ini. Orang yang setia tentu memiliki hati yang menjadi tanda totalitas hidupnya di hadapan Tuhan dan sesama. Sebab itu orang yang memiliki hati, dianggap mampu mengasihi, setia dalam hidup, senang berdamai dengan diri dan sesamanya. Orang yang tidak setia dalam hidupnya dianggap tidak memiliki hati sehingga berkhianat. Maka hati benar-benar memiliki kekayaan termulia, salah satunya adalah kesetiaan.

Apakah anda setia dalam panggilan hidupmu? Ini adalah pertanyaan yang sering kita dengar dan menunjuk kepada diri kita sendiri. Seorang murid saya pernah bertanya kepadaku: “Apakah Romo setia sebagai gembala bagi banyak orang?” “Saya selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang setia”, demikian jawaban saya. Pertanyaan yang sama dapat ditujukan kepada anda sebagai orang tua, pendidik dan aneka profesi lainnya. Apakah anda adakah seorang ayah atau ibu yang setia? Atau pertanyaan kaum millenial: “EKS: Emang Kamu Setia?” Setiap pribadi perlu berusaha untuk menjawabnya karena ternyata Tuhan sendiri yang kita Imani, kasihi dan berharap kepada-Nya adalah setia adanya. Dalam Kitab Mazmur kita menemukan ekspresi ini: “Tuhan itu setia dalam segala perkataan-Nya” (Mzm 145:13c). Tuhan tidak pernah ingkar janji. Hanya manusia yang dapat tidak setia dan ingkar janji.

St. Paulus meneruskan wejangannya bagi setiap keluarga yang percaya kepada Kristus untuk setia dalam hidupnya. Ia mengingatkan anak-anak untuk mentaati orang tuanya dalam Tuhan, menghormati ayah dan ibunya karena dengan demikian anak-anak akan berbahagia dan panjang umur di bumi. Wejangan Paulus ini masih tetap aktual hingga saat ini. Banyak anak-anak yang tidak mampu mengurus orang tuanya yang sudah memasuki usia senja dan dititip di panti jompo. Banyak anak yang membiarkan saja orang tuanya hidup melarat, benar-benar anak yang serupa dengan kacang lupa kulit. Anak-anak lupa untuk menunjukkan kesetiaanya kepada orang tua. Ini benar-benar tantangan besar bagi anak-anak yang masih memiliki hati untuk belajar menjadi pribadi yang setia.

Para bapak juga dinasihati Paulus untuk setia dalam hidupnya dan hidup sebagai bapa yang baik. Bapak yang setia tidak akan membangkitkan amarah dalam hati anak-anaknya tetapi selalu berusaha untuk mendidik mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Tentu saja nasihat ini tidak hanya berlaku bagi para bapak tetapi juga para ibu untuk tidak mudah membangkitkan emosi kepada anak-anaknya. Memang tidaklah mudah bagi anak-anak untuk bersabar terhadap orang tuanya. Seringkali orang tua terutama yang memasuki usia senja keras kepala: tidak mau makan dan minum obat pada saat sakit, tidak mau berbicara atau mendadak ganas dan mudah tersinggung. Sebagai pasangan suami dan istri, kakek dan nenek juga saling marah. Ini dapatlah menjadi ujian kesetiaan sebagai pasangan hidup dan juga dalam hubungannya dengan anak-anak.

Paulus menasihati para hamba untuk setia dengan menunjukkan ketaatan mereka kepada tuan atau majikannya di dunia. Mereka taat dengan takut dan gentar dan dengan tulus hati bukan untuk menyenangkan hati sang majikan melainkan menunjukkan cinta dan kesetiaan kepadanya. Sikap sang hamba ini juga menunjukkan sikap yang paling tepat untuk mengasihi dan setia kepada Tuhan Yesus Kristus. Orang yang setia kepada Kristus akan mampu melakukan kehendak Allah sendiri. Kesetiaan ditunjukkan dengan memupuk semangat kerelaan untuk melayani secara terus menerus. Orang juga harus berpikir bahwa ia melayani Tuhan bukan melayani manusia. Apakah para pelayan atau pembantu melayani atau hanya sekedar mencari uang? Ia menuntut gaji tetapi malas bekerja. Ini merupakan hal-hal yang perlu dihindari dalam hidup ini.

Para majikan diingatkan untuk menunjukkan kesetiaannya kepada para hamba atau para pembantunya. Mereka menjauhkan diri dari kebiasaan mengancam atau meluapkan kekerasan fisik dan verbal bagi para hambanya. Mengapa para tuan atau majikan harus menunjukkan kesetiaan kepada para hambanya? Satu jawaban pasti dari Paulus adalah bahwa baik para hamba maupun tuan, sama-sama memiliki Tuhan yang satu dan sama di Surga. Tuhan mengasihi semua orang tanpa memilih atau memilah siapakah manusia. Apakah anda adalah majikan yang jujur dan adil kepada para pembantumu? Apakah anda membayar upah mereka tepat pada waktunya?

Penginjil Lukas menggambarkan kesetiaan Yesus dengan berkeliling dan berbuat baik. Ia mengisahkan bahwa Yesus berjalan keliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa sambil mengajar dan meneruskan perjalanan-Nya ke Yerusalem (Luk 13:22). Ia mengajak orang-orang untuk bertobat dan percaya kepada Injil. Semangat pertobatan merupakan ajakan kesetiaan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Hanya dengan demikian mereka yang setia ini akan duduk dan makan di dalam Kerajaan Allah. Mereka ini akan mengalami keselamatan abadi dalam Yesus. Hidup Kristiani akan semakin bermakna kalau ada kesetiaan dan pertobatan. Dengan kata lain, pertobatan dan kesetiaan adalah kunci untuk membuka pintu surga bagi orang-orang pilihan untuk duduk dan makan bersama Tunan. Apakah anda dan saya adalah salah satunya? Renungkanlah pertobatan dan kesetiaanmu di hadirat Tuhan dan anda akan menemukan jawabannya yang pasti.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply