Homili 18 Desember 2018

Tanggal 18 Desember 2018
Yer. 23:5-8
Mzm. 72:2,12-13,18-19
Mat. 1:18-24

Seorang ayah yang tulus hati

Saya tersentuh dengan sebuah kalimat dalam drama ‘Merchant of Venice’ karya William Shakespeare. Kalimat yang dimaksud di dalam drama itu adalah: “It is a wise father that knows his own child” (Ini adalah ayah bijaksana yang memahami anaknya sendiri). Saya mengatakan tersentuh karena setiap anak pasti mengalami kasih yang istimewa dari ayahnya sendiri. Ia pasti sadar bahwa sangatlah penting ia memahami anaknya sendiri. Anaknya tidak akan lupa akan kebajikan ayahnya. Ada seorang anak pernah bersaksi tentang kebajikan-kebajikan ayahnya dan pada akhir kesaksiannya itu ia mengatakan: “Ayahku itu bagaikan lilin di kala gelap, ia menerangi aku agar tak sendirian dalam kesunyian”. Seorang anak yang lain menulis dalam buku catatan hariannya: “Ayah, engkau tidak banyak menunjukkan ekspresi dalam ucapan. Tetapi tepukan ringan di pundakku atau jabat tangan erat dan kokoh sudah cukup memberi tahu, kau sangat bangga padaku, ayah. Aku sayang ayah!” Ungkapan-ungkapan penuh makna tentang ayah ini menunjukkan betapa ayah itu sosok istimewa dalam hidup ini.

Pada hari ini semua mata kita tertuju pada sosok seorang ayah yang tulus hatinya. Dialah Yusuf, suami Bunda Maria dan Bapak pemelihara Yesus Kristus. Kisah Injil Matius hari ini menceritakan tentang kehidupan St. Yusuf. Kisah santu Yusuf ini tidak terlepas dari kisah kelahiran Yesus Kristus. Maria adalah ibunda Yesus yang bertunangan dengan Yusuf. Ia mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus Puteranya. Pada waktu itu Maria dan Yusuf belum hidup bersama sebagai suami dan istri.. Yusuf mendengar tentang suasana hati dan hidup pribadi Bunda Maria maka ia berencana untuk menceraikannya diam-diam. Sebab itu ia tidak mau mencemarkan nama baik Maria di hadapan umum. Ini adalah sebuah tanda kekudusan St. Yusuf. Dia adalah seorang yang tulus hati, jujur dan penuh hormat kepada Maria.

Tuhan selalu datang tepat pada waktunya untuk menolong. Ia mengirim malaikat-Nya untuk mengingatkan Yusuf supaya tidak mudah terpengaruh oleh situasi Bunda Maria. Ia harus menerima Maria dan bayi Yesus yang akan dilahirkannya apa adanya. Malaikat juga meminta St. Yusuf  untuk memberi nama kepada bayi itu yakni Yesus. Ia sendiri akan menjadi satu-satunya penyelamat  bagi umat manusia. Kalau kita kembali ke belakang untuk merenung tentang kelahiran Yesus, kita akan sepakat menemukan bahwa kelahiran Yesus menjadi trend topic waktu saat itu. Semua orang merasakan sukacita kelahiran Yesus. Para gembala dan orang kebanyakan menjadi saksi sukacita kelahiran Yesus ini. Semua misteri ini dirasakan oleh Yusuf yang tulus hati. Baginya, kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia adalah prioritas utama. Hidupnya sungguh-sungguh sesuai dengan rencana Allah sendiri.

Kelahiran Yesus ini disertai oleh sosok Maria ibunda-Nya. Dialah perawan yang dikandung tanpa noda dosa. Dialah yang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” yang berarti: Allah menyertai kita.” (Yes 7:14; Mat 1:23). Maria dikenang sepanjang zaman karena kesediaannya untuk menerima undangan Tuhan sebagai ibunda bagi Yesus Putera Allah. Maria taat maka keselamatan menjadi milik semua orang yang percaya kepada Tuhan.

Sikap ketulusan hati Yusuf di hadapan Tuhan dan Bunda Maria menjadi nyata ketika Ia mengambil keputusan untuk menerima Maria dalam hidupnya. Dalam Injil Lukas dikatakan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.” (Mat 1:24). Kehebatan Yusuf adalah menerima Maria dan Yesus apa adanya. Ini benar-benar sosok seorang ayah yang ideal. Dalam suasana yang ekstrim sekalipun, Tuhan masih membuka pikiran manusia untuk mengambil keputusan yang tepat seperti yang dialami St. Yusuf.

Marilah kita memandang Yusuf, sambil memandang keluarga kita masing-masing. Pada zaman ini hanya ada sedikit pria yang menyerupai St. Yusuf. Mereka menjadi ayah yang tulus dan jujur di dalam keluarganya. Mereka memperhatikan anak-anaknya, bekerja dan melayani dengan diam-diam. Kita masih menemukan banyak ayah yang tidak setia dalam hidupnya. Ayah yang egois, ayah yang tidak berkarakter, ayah yang terombang ambing untuk meninggalkan keluarganya karena memiliki wanita idaman lain. Kita membutuhkan santu Yusuf untuk menjadikan para ayah, pribadi-pribadi yang ideal dengan mengasihi istrinya dan memahami anak-anaknya.

Hari ini kita memadang St. Yusuf dan berdoa supaya setiap ayah mendapat rahmat yang sama seperti St. Yusuf supaya setia adanya, dan tulus hati selamanya. Terima kasih ayahku. Terima kasih Tuhanku.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply